BELUM lama diberlakukan,
Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi--selanjutnya UU
Dikti-sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sekelompok akademisi dan
mahasiswa Universitas Andalas, Padang, mengajukan uji materi (judicial review) UU Dikti,
terutama Pasal 62-65 dan Pasal 83-87. Pasal-pasal tersebut mengatur dua
perkara penting, yakni 1) otonomi perguruan tinggi dan 2) pendanaan dan
pembiayaan pendidikan tinggi. Kedua pokok gugatan itu sangat fundamental
dalam konteks penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
University for Sale
Para penggugat membangun
argumen bahwa status otonomi akan membuka jalan bagi para pengelola
institusi perguruan tinggi untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai
barang dagangan. Mereka khawatir, dengan status otonomi, penyelenggaraan
pendidikan tinggi sepenuhnya akan diserahkan kepada pasar bebas dan harga
(baca: biaya kuliah) ditentukan melalui mekanisme pasar.
Perguruan tinggi dimanfaatkan untuk
berniaga dengan memasarkan produk dagangan yang sebenarnya berlabel public good, yakni pendidikan
tinggi. Layaknya sebuah praktik perniagaan di mana pun, motif utama yang
mendasarinya ialah pencarian keuntungan (profit seeking) dan penumpukan modal (capital accumulation). Tak pelak, layanan pendidikan tinggi
cenderung mahal terutama pada universitas-universitas dan
institut-institut ternama dengan reputasi menawan, serta pada program
studi-program studi yang laku di pasar kerja. Pendek kata, pemberian
otonomi kepada perguruan tinggi disepadankan dengan tendensi
komersialisasi pendidikan tinggi. Pandangan dan pendirian para penggugat
tersebut tidak sepenuhnya salah karena mereka merujuk pengalaman beberapa
tahun terakhir, ketika pemerintah bereksperimen dengan PT Badan Hukum
Milik Negara (BHMN)--UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang menjadi dasar
hukum telah dibatalkan MK 2010--untuk UI, UGM, ITB, IPB, dan lain-lain,
yang berakibat melambungnya biaya kuliah di perguruan tinggiperguruan
tinggi tersebut.
Kekhawatiran terhadap kecenderungan
komersialisasi di institusi-institusi akademis memang dapat dimaklumi.
Komersialisasi pendidikan tinggi bukan gejala khas Indonesia semata,
melainkan sudah menjadi fenomena mondial yang telah berlangsung sejak
awal 2000-an, seperti diulas dengan sangat baik oleh Derek Bok dalam Universities in the Market Place: The
Commercialization of Higher Education (Princeton, 2003). Menurut observasi Bok, komersialisasi
terjadi di universitas-universitas terbaik di Amerika Serikat dan Inggris
terkait dengan dua hal: layanan pendidikan dan kontrak risetriset terapan
untuk kepentingan bisnis/industri.
Kerisauan atas gejala komersialisasi itu
sangat terasa seperti terekam dalam pertanyaan, “Is everything in a university for sale if the price is right?“,
yang kerap mengemuka dalam perdebatan di kalangan akademisi di
kampus-kampus besar dunia. Berdasarkan pengamatan langsung, Bok--mantan
Presiden Universitas Harvard-membenarkan tendensi komersialisasi
pendidikan tinggi dan menengarai jawaban atas pertanyaan tersebut sering
kali `ya'.
Namun, validkah argumen bahwa otonomi
perguruan tinggi sama dengan atau selalu mengarah ke komersialisasi? Melalui
artikel ini, saya bermaksud membangun argumen bandingan untuk memberi
perspektif yang lebih seimbang dan utuh agar pemahaman linier otonomi =
komersialisasi tidak mendominasi perdebatan publik berkenaan dengan
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Otonomi jelas sangat
vital bagi setiap perguruan tinggi dalam dua konteks, yakni tata kelola
kelembagaan dan kebebasan akademik.
Tata
Kelola Kelembagaan
Pertama, tata kelola kelembagaan
berkenaan dengan manajemen organisasi sebuah institusi pendidikan tinggi,
yang mensyaratkan akuntabilitas dan transparansi. Dengan status otonomi,
perguruan tinggi dapat sepenuhnya menunaikan tugas dan tanggung jawab
sebagai the institution of
scholarship and learning tanpa ada intervensi dari penguasa terkait
dengan urusan domestik perguruan tinggi.
Dalam konteks itu, perguru an tinggi
harus steril dari aneka macam kepentingan politik yang dapat mengganggu
tugas utamanya di bidang pengajaran dan penelitian, yang bertujuan untuk
memajukan masyarakat dan bangsa. Meski demikian, pemimpin perguruan
tinggi dituntut untuk taat asas dan menjaga tata laksana dalam mengelola
organisasi di universitas/institut berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Di sini, universitas/institut
di jalankan dengan menggunakan pendekatan collegial self-governance,
suatu sistem pengendalian dalam pengelolaan organisasi yang diatur
melalui konsensus di kalangan para akademisi di perguruan tinggi
bersangkutan.
Lebih dari itu, sistem tersebut sangat demokratis dan terbuka dengan
pembagian peran dan tanggung jawab yang berbasis pada expertise in scholarship.
Penting dicatat pula, otonomi perguruan
tinggi diberikan atau diperoleh melalui mandat yang merujuk ketentuan
hukum yang berlaku (UU Dikti), dan karena itu pertanggungjawaban publik bersifat
mutlak. Pertanggungjawaban publik merupakan bagian dari mekanisme kontrol
yang dilakukan para pemangku kepentingan, berkenaan dengan bagaimana
sebuah perguruan tinggi seha rusnya beroperasi yang sesuai dengan
aspirasi publik.
Prinsip transparansi dan akuntabilitas
dimaksudkan untuk menutup peluang penyimpangan dalam tata kelola
perguruan tinggi dan menjamin hak-hak publik terkait de ngan layanan
pendidikan tinggi dapat terpenuhi. Dengan status otonomi, pengelola
perguruan t tinggi diharapkan lebih kreatif dalam mengembangkan aneka
program pengajaran, pendidikan, dan penelitian yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Selain itu, mengingat perguruan tinggi lebih
memiliki keleluasaan dalam manajemen organisasi, para manajer harus dapat
membangun dan mengembangkan kemitraan dengan pihak lain (misal
universitas-industri) yang dapat mendatangkan manfaat bagi peningkatan
kinerja dan mutu layanan pendidikan.
Kebebasan
Akademik
Kedua, kebebasan akademik terkait dengan
nilai-nilai esensial dalam aktivitas keilmuan bagi segenap sivitas
akademika di universitas/institut. Untuk itu, otonomi selalu dipahami sebagai the essence of academic
sovereignty yang menjadi persyaratan dasar bagi kerja-kerja
kesarjanaan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Kebebasan akademik sangat sentral karena memberi proteksi bagi ilmuwan
dan akademisi untuk melakukan riset riset ilmiah, mengemukakan pendapat
pendapat ilmiah, dan melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan
intelektual tanpa dibayangi rasa takut pada institutional censorship and political retaliation.
Riset-riset ilmiah dilakukan semata-mata untuk pencarian dan pengembangan
ilmu pengetahuan, yang didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan yang
objektif dan universal. Karena itu, aktivitas riset ilmiah dan diseminasi
hasil-hasil riset dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak boleh tunduk
pada sensor politik. Sensor politik jelas merupakan bentuk pelanggaran
kedaulatan akademik.
Dengan merujuk pengalaman sejarah
universitas-universitas di negara-negara Barat, bila kedaulatan
akademik--yang bertumpu pada otonomi--dibelenggu atau dikerdilkan,
kerja-kerja kesarjanaan menjadi mandul. Selain itu, aktivitas intelektual
tumpul dan penemuan ilmiah terhenti, yang berujung pada stagnasi
pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam situasi demikian, tidak mungkin
berharap ada scientific invention
and academic breakthrough yang muncul dari para ilmuwan di lembaga
ilmiah.
Padahal, semua itu merupakan tugas utama
dan pekerjaan esensial para akademisi di perguruan tinggi. Tanpa otonomi,
perguruan tinggi tidak akan mampu meraih pencapaian cemerlang dalam scientific development. Semua
universitas terbaik dunia di Amerika dan Eropa berstatus otonom,
bersandar pada charta yang
merupakan wujud pengakuan sebagai lembaga ilmiah. Dalam charta setiap
universitas disebutkan, pengelolaan universitas didasarkan pada prinsip
yang menegaskan autonomy is a
necessary--although not sufficient-condition for excellence.
Dalam konteks demikian, perguruan tinggi
di Indonesia ditantang untuk dapat membuktikan otonomi dapat menggerakkan
aktivitas keilmuan di kalangan sivitas akademika universitas/institut,
yang bermuara pada pencapaian tinggi di berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Jadi, sifat dasar yang melekat pada otonomi sejatinya berkenaan dengan
upaya membangun tradisi akademik unggul di lingkungan perguruan tinggi,
yang dalam tradisi Eropa (baca: Prancis) disebut sebagai maison des sciences de l'homme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar