ADA yang menarik dari workshop bertajuk Tax Dissemination through Formal
Education: Understanding Opportunities and Challenges yang
diselenggarakan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, pada 20-22 Maret 2013.
Muncul sebuah kesadaran dan asumsi, jangan-jangan rendahnya minat
masyarakat untuk membayar pajak disebabkan dunia pendidikan selama ini
tak pernah diajak bekerja sama secara terpadu untuk mengampanyekan
manfaat pajak bagi pembangunan bangsa. Karena itu, ada keinginan dari
Dirjen Pajak Fuad Rahmany untuk memasukkan isu dan wacana tentang
perpajakan ke skema pembelajaran di ruang-ruang kelas.
Prof Arif Rahman, salah seorang
narasumber yang berbicara dalam workshop tersebut, sepakat dengan Dirjen
Pajak, bahkan secara provokatif menilai materi tentang pajak wajib
hukumnya untuk diketahui setiap siswa. Sebagai bagian dari tanggung jawab
warga negara, pajak harus dilihat sebagai sebuah attitude, yakni sikap
bertanggung jawab warga kepada negara. Karena itu Prof Arif menyarankan
kata pajak diubah menjadi `kontribusi' sehingga anak-anak akan lebih
mudah menyerap maksud yang terkandung di dalamnya.
Cukupkah
Sampai di Sini?
Saya kira masalahnya tak sesederhana itu.
Masalah pajak, terutama dalam situasi Indonesia saat ini, masih dipandang
secara negatif oleh sebagian masyarakat. Belum lagi masalah teknis yang
mengajarkan substansi perpajakan secara menyenangkan di ruang kelas,
pastilah tak mudah di tengah rigid-nya birokrasi pendidikan kita dalam
memandang fleksibilitas kurikulum. Guru, karena miskin kreativitas,
selalu menunggu petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis
(juknis) tentang kurikulum sehingga semua materi seolah tergantung dengan
juklak dan juknis. Pada sisi ini, substansi pajak pun dikhawatirkan akan
sulit dipahami siswa, kecuali dilakukan dulu semacam uji materi dalam
rentang waktu tertentu.
Saya sepenuhnya sepakat dengan hasil
temuan riset Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI, yakni masih
terdapat kesulitan dari siswa dalam memahami materi perpajakan. Padahal
yang diriset adalah anak-anak sekolah menengah atas, yang asumsinya
seharusnya mereka bisa lebih mudah memahami substansi perpajakan. Dalam
penelitian tersebut, baik siswa IPS dan IPA maupun kejuruan ditemukan
bahwa “...sebagian besar siswa
belum memahami urgensi pemungutan pajak. Siswa juga belum memahami bahwa
penerimaan yang berasal dari pajak dialokasikan untuk kepentingan
masyarakat termasuk manfaat tidak langsung yang dirasakan oleh siswa.“
(Titi Muswati Putrani dan Maria Tambunan: 2013).
Jika fakta ini benar adanya, assessment
yang lebih komprehensif tentang substansi perpajakan di dalam materi mata
ajar tertentu harus dianalisis secara benar dengan menggunakan, misalnya,
deep curriculum alignment process.
Prinsip keterkaitan antarmata ajar dengan substansi harus mendapat
perhatian secara saksama dalam mendesain sebuah kurikulum. Hal itu
diperlukan ketika kita akan memasukkan sebuah isu atau substansi semisal
perpajakan, baik sekolah maupun guru tidak lagi ragu dan mengambang dalam
memahami struktur dasar keterkaitan antarmata ajar. Caranya? Tentu saja
dengan skema pelatihan yang cermat dan berkesinambungan.
Penting untuk disadari bahwa sejarah
pendidikan di Indonesia amat lemah dalam meyakini dan mendistribusi
gagasan baru hingga ke tingkat akhir (selesai). Jangan sampai ketika kita
akan memasukkan gagasan soal perpajakan ke struktur kurikulum baru, malah
akan menambah beban derita guru dan anak didik. Sebab, sudah menjadi
rahasia umum bahwa sering kali gagasan kurikulum yang telah disosialisasi
dan ditatarkan kepada para guru malah tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
Miskinnya kreativitas guru serta
mentalitas `jawatan' yang selalu memosisikan guru sebagai abdi negara
malah sering menyesatkan anak didik. Guru seolah terbelenggu di `zona
aman' sebagai pegawai ketimbang sebagai pendidik.
Hormati
Kebebasan
Sepanjang sejarah kurikulum di negeri
ini, perubahan kurikulum tidak serta-merta menjadikan proses belajar
mengajar menjadi lebih menyenangkan untuk siswa dan guru. Proses belajar
mengajar tetap statis, stagnan, dan miskin inovasi, sehingga hasilnya
hampir dapat dipastikan tak ada keterkaitan (alignment) antara kurikulum yang tertulis dan sistem evaluasi
(test) yang dilakukan. Apalagi
dengan sistem evaluasi semacam ujian nasional yang jelas-jelas tak
menghormati kebebasan guru dalam melaksanakan desain kurikulum yang
mereka kehendaki. Jangan-jangan materi perpajakan juga hanya menjadi
seperangkat ilmu yang harus diujikan secara formal dan tak menumbuhkan
kesadaran siswa di kemudian hari agar menjadi warga negara yang sadar
untuk membayar pajak.
Mari kita terus mengkaji ulang sekaligus mengkritik
kebijakan perubahan desain kurikulum yang akan berganti lagi. Sebab
konsistensi dalam kebijakan soal kurikulum seharusnya akan membuat guru
dan siswa memiliki waktu yang cukup dalam menyelesaikan proses belajar
mengajar yang berorientasi pada kualitas. Dengan begitu, keterkaitan
antara kurikulum tertulis dan hasil yang baik (alignment of curriculum) menjadi lebih sepadan.
Pemerintah harus terus memacu manajemen
sekolah untuk mengembangkan prinsip dasar keterkaitan antarsubstansi di
dalam kurikulum baru melalui serangkaian kegiatan yang memungkinkan
sekolah merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihannya (school mapping), menentukan tujuan
pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan guru dan siswa (objectives and lesson design),
memperbaiki sistem pengelolaan pembelajaran yang berkelanjutan dan
efisien (scope and sequence),
dan membuat rangkaian sistem monitor serta evaluasi pembelajaran dan
manajemen sekolah secara efektif-komprehensif (Jackson: 1992).
Penting
untuk diajarkan ke setiap sekolah mengenai konsep dasar deep curriculum alignment. Di situ
para guru dalam melakukan proses belajar mengajar tidak hanya mengejar
target untuk ujian semata, tetapi mempersiapkan kemampuan siswa yang jauh
lebih dari itu. Salah satu keunggulan dari prinsip dasar deep curriculum alignment adalah
ketika dilakukan evaluasi, guru dapat memberikan gambaran secara utuh
tentang jarak (gap) antara
siswa yang satu dan siswa lainnya. Semoga saja materi pajak bisa
didesiminasi secara berkesinambungan melalui proses pembelajaran yang
baik dan menyenangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar