Seorang guru yang bijak, Tukiman
Taruna, berkirim pesan kepada saya. Dia mengatakan, ranah politik yang
berlaku sekarang ini dipenuhi oleh politik keceklik (keseleo).
Hal itu bisa dilihat dari beberapa
kasus, seperti keseleonya Partai Demokrat (terjadi konflik internal antara
Susilo Bambang Yudhoyono dan Anas Urbaningrum) atau kasus korupsi impor
daging sapi yang melilit Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sejauh korupsi, pembelahan
internal di tubuh partai, politik dinasti, dan praktik saling mengunci
antarpartai masih berlangsung, bisa dipastikan Indonesia akan dipenuhi
politik keseleo. Misalnya, kekaburan presiden dalam menempatkan diri antara
sebagai kepala negara dan pemerintahan, pimpinan partai, dan kepala
keluarga. Adagium kesetiaan kepada partai berakhir begitu pengabdian kepada
negara dimulai tidak berlaku.
Mencermati gerak politik di Tanah
Air saat ini tampak bahwa setiap kekuatan politik secara sepihak sedang
menyanyikan lagu kejayaan. Padahal, mereka belum memenangi pertempuran apa
pun. Kontestasi politik baru akan terjadi pada April tahun depan untuk legislatif
dan Juli untuk pemilu presiden.
Di ladang Partai Demokrat,
nyanyian kejayaan itu didendangkan oleh dua pihak. Para pendukung SBY,
kalau kita bertemu, mereka pasti diliputi perasaan puas hati. Mereka merasa
berhasil melakukan penyelamatan partai sehingga konsolidasi internal segera
terwujud. Mereka juga yakin bahwa mundurnya beberapa kader partai tidak
akan membuat partai lumpuh, sejauh SBY masih turun tangan secara langsung.
Sebaliknya, loyalis Anas
Urbaningrum meyakini hal berbeda. Mereka percaya, tanpa Anas, kinerja
Partai Demokrat akan merosot. Selain Anas, sulit sekali mencari politisi
sejati dengan pengalaman berorganisasi panjang di partai berkuasa ini.
Dengan istilah lain, tanpa Anas, wajah Partai Demokrat tak lebih dari
sekadar SBY fans club.
Secara prediktif, bisa dipastikan
bahwa perolehan suara mereka pada pemilu mendatang akan merosot. Akan
tetapi, layaknya partai berkuasa, mereka tetap mempunyai sumber daya
politik kuat. Ini akan menjadi magnet untuk menggandeng partai-partai lain
yang perolehan suaranya sebatas lolos ambang batas parlemen (3,5 persen).
Partai Amanat Nasional, Partai
Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa pasti menjadi incaran
pertama mereka. Terlebih lagi ketiga partai tersebut sudah menjadi bagian
dari sekretariat gabungan partai koalisi pendukung pemerintahan SBY. Tidak
tertutup kemungkinan PKS dan Partai Nasional Demokrat akan menjadi bagian
dari koalisi baru di bawah kibaran bendera Partai Demokrat.
Meskipun tiap partai tersebut
sekarang lantang menyanyikan lagu kejayaan, pada saatnya nanti mereka harus
realistis secara politik. Sehubungan dengan hal itu, kewibawaan dan
keluwesan figur pengganti Anas sebagai ketua umum akan ikut menentukan
kekuatan medan magnet Partai Demokrat.
Fenomena mencolok lain terjadi di
kubu Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Masuknya Hary Tanoesoedibjo dan
rombongan ke partai tersebut membuncahkan optimisme baru. Hampir seluruh
kader Partai Hanura kini menyanyikan lagu kejayaan. Dengan jaringan media
massa yang kuat, mereka yakin bisa mengeruk suara dalam pemilu nanti.
Akan tetapi, sejarah politik kita
adalah sejarah figur. Sejauh ini belum ada figur di tubuh Hanura yang mampu
menembus alam bawah sadar rakyat yang untuk sementara ini dikuasai, merujuk
pada hasil jajak pendapat pada umumnya, oleh sosok Joko Widodo, Prabowo
Subianto, dan Mahfud MD. Hanya figur yang bisa menaklukkan karakter
melodramatik masyarakat (mudah lupa, mudah bosan, dan mudah kasihan) yang
mampu menggeser dominasi nama-nama itu. Wajah baru dengan ketegasan dan kebijakan
memesona adalah kuncinya.
Apabila Hanura tidak berhasil
memunculkan figur dengan ketegasan memesona tersebut, secara hipotesis,
partai ini kemungkinan akan membangun koalisi dengan Golkar. Kedekatan
Wiranto dengan Golkar karena pernah memenangi konvensi partai itu dan
mendekatnya Hary Tanoesoedibjo ke bisnis Bakrie. Jika benar, isu itu
menjadi indikasi awal peluang koalisi kedua partai tersebut pada pemilu
nanti.
Tak ubahnya dengan partai-partai
tersebut, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra) juga sedang menyanyikan tembang kejayaan.
Kemerosotan Partai Demokrat menjadi nada awal kemenangan yang mereka
yakini. Pemetaan terhadap nyanyian kejayaan tersebut mengarah pada
konfigurasi politik 2014. Kecenderungannya, apabila gerak politik berjalan
linier, akan muncul empat petak sawah politik, yaitu Golkar dan Hanura,
PDI-P, Gerindra, dan Partai Demokrat dengan seluruh aliansinya.
Dengan demikian, para tokoh yang
akan memainkan peran utama pada Pemilu 2014, terlepas mereka mau maju atau
tidak, adalah Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto,
dan Susilo Bambang Yudhoyono. Kecuali SBY, masing-masing tokoh itu sah
menyanyikan lagu kejayaan dan merebut kemenangan. Silakan jika Anda
jengkel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar