MENJELANG keramaian politik seperti pemilu, pilpres, atau pilkada,
peran media selalu dipertanyakan. Media senantiasa menjadi ajang perebutan
bagi para politikus untuk menyampaikan gagasan politiknya. Tak jarang para
politikus ikut menyeret media dalam percaturan politik.
Pemerintah
-yang berasal dari partai pemenang pemilu- merupakan pihak yang paling
sering menjadi sasaran tembak media, terutama yang dikendalikan kekuatan
politik yang berhasrat menggantikannya. Setiap kebijakan dikritik habis.
Keluhan melankolis kerap disampaikan Presiden SBY dalam berbagai
kesempatan. Seolah di mata pers pemerintah selalu salah. Prestasi hasil
kerja keras selama ini seolah tidak ada.
Menko Polhukam
Djoko Suyanto juga mengingatkan agar media tidak digunakan untuk
kepentingan politik tertentu, tapi untuk kepentingan rakyat. Untuk
membangun demokrasi di Indonesia, media jangan sampai dipolitisasi,
memelintir kebenaran. Mereka bekerja mengonstruksi peristiwa di masyarakat
untuk membentuk opini masyarakat yang sehat.
Berbagai
peristiwa itu dipotret untuk diletakkan pada frame dengan aneka sudut pandang dan
warna. Namun, media menampilkan realitas yang diinginkan dan menyingkirkan
realitas yang tidak disukai atau menyamarkannya. Dari situ terlihat untuk
kepentingan siapa berita tersebut ditampilkan. Meski demikian, menurut
survei Indo Barometer, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media masih
mencapai 77 persen dibanding kepercayaan kepada pemerintah yang hanya 47
persen. Hal itu menunjukkan besarnya peran pers dalam kehidupan masyarakat.
Perilaku media
yang menyimpang dari peran sebagai penjaga kebenaran dan pengawal demokrasi
memang memprihatinkan. Banyak pengalaman dari pihak yang mendapat perlakuan
yang kurang baik dari media. Keberpihakan kepada salah satu golongan dan
menyerang yang lain sesungguhnya sudah mencederai profesi awak media.
Ketua Dewan
Pers Bagir Manan mengingatkan bahwa media akan terhormat bila mampu menjaga
kebebasannya sebagai pelayan masyarakat yang dipercaya. Media harus
berprinsip hukum, mengembangkan demokrasi, nilai-nilai kemanusiaan, serta
berdisiplin dan berkode etik (konvensi media massa di Kupang, 2011). Namun,
pelanggaran kode etik melalui keberpihakan akan semakin meningkat sejalan
dengan semakin panasnya suhu politik.
Ada dua
kelompok politik yang menggunakan media sebagai ajang kampanye. Pertama,
politisi yang harus membayar media untuk bisa menyampaikan pandangan
politiknya kepada khalayak alias transaksi komersial iklan. Kedua, politisi
yang merangkap sebagai pemilik media. Ada tren politisi yang berperan ganda
sebagai pemilik media. Sebagai pemilik, tentu saja mereka bisa melakukan
apa saja sesuai dengan keinginan mengunggulkan kelompoknya dan merendahkan
kelompok lain.
Seperti kata
Gramschi dalam teori hegemoninya, media bisa menjadi sarana bagi satu
kelompok untuk mengukuhkan posisinya dan merendahkan yang lain. Para pelaku
peran ganda, politisi dan pemilik media, terlibat dalam perang berita untuk
mengunggulkan kelompoknya sendiri melalui porsi berita yang lebih besar
dengan materi penuh pujian dan promosi. Sebaliknya, lawan politiknya akan
diberitakan yang negatif dan disudutkan.
TVOne, misalnya,
dengan gencar memberitakan keluarnya Hary Tanoesoedibjo dari Nasdem.
Sebaliknya, Metro TV, yang dimiliki
bos Nasdem, memberikan porsi yang besar bagi pidato Presiden SBY yang
meminta Grup Bakrie segera melunasi kewajibannya terhadap korban lumpur
Lapindo. Belum lagi Hary Tanoesoedibjo yang kini berlabuh ke Partai Hanura
yang bisa saja menggunakan pengaruh MNC Grup miliknya untuk kepentingan
kelompoknya. Tren itu akan semakin meningkat sejalan dengan semakin
dekatnya pemilu dan pilpres.
Saling serang
melalui media sesungguhnya merupakan gejala yang tidak sehat bagi khalayak
maupun media itu sendiri. Harus ada upaya untuk menghilangkan atau
meminimalkannya agar tidak berlarut-larut. Masyarakat harus aktif. Sebagai
konsumen, mereka bisa memindahkan channel siaran melalui remote control atau tidak membeli produk media.
Bisa pula menjadi pemantau secara aktif. Pasal 17 UU Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers menyebutkan, masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang
diperlukan.
Masyarakat bisa
menjadi pengawas dan pemantau pers dengan jalan memantau serta melaporkan
analisis mengenai pelanggaran hukum dan kekeliruan teknis pemberitaan yang
dilakukan melalui pers. Hal itu bisa dilakukan dengan membentuk lembaga
pemantau media (media watch). Ketika UU ini diberlakukan, muncul beberapa media watch yang aktif
mengungkap pelanggaran media.
Kini bentuk media watch itu lebih menyebar lewat ekspresi
individu atau kelompok di aneka jejaring. Pemberitaan media teramat sering
dikritisi dan dikupas. Kadang bahkan dicurigai sebagai bagian dari
konspirasi atau permufakatan jahat. Untuk menjaga kepercayaan bahwa media
benar-benar berposisi sebagai medium (di tengah-tengah atau adil),
profesionalitas perlu selalu ditegakkan.
Media watch tidak bertujuan untuk menghambat
media, tapi justru menyelamatkan dari kehancuran karena ditinggal khalayak.
Keberpihakan politis media memang bisa menguntungkan dan memabukkan, tapi
hanya temporer. Masyarakat memiliki peran strategis untuk menempatkan media
pada posisinya sebagai pembawa kebenaran sekaligus mengawasinya. Lazimnya,
media disebut anjing penjaga, watchdog.
Sebagai anjing
penjaga, tuan sejatinya adalah masyarakat. Media harus menyalak keras bila
menemukan hal yang tidak benar dan mengganggu masyarakat. Jadilah anjing bulldog atau doberman yang galak dan menggigit siapa
pun yang layak digigit. Jangan jadi anjing pudel yang lucu untuk
dimain-mainkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar