Akhirnya Kementerian
Kehutanan gencar membongkar vila-vila yang berdiri ilegal di Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (Koran
Tempo, 15 Maret). Adapun pemilik vila, yang terdiri atas para
pembesar dan orang yang mampu di Jakarta, terlebih dulu diminta
kesadarannya untuk membongkar sendiri
vila tersebut. Kalau tidak, dapat diancam
hukuman penjara 10 tahun karena
melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Taman nasional--seperti konsep awalnya di
seluruh dunia--sesungguhnya adalah sebuah kawasan warisan nasional.
Walaupun jenisnya hanya hutan belantara, nilai pentingnya sangat tinggi
karena banyak rahasia alam yang belum terungkap, dan alam--seperti kita
ketahui--mempunyai sejarah panjang selama jutaan tahun. Sekali unsur
alam, baik itu spesies, ekosistem, aspek estetika, maupun sumber daya
hidup dan tak hidup, punah, maka nilai ekonomi, budaya, ekologi, bahkan
nilai estetiknya, tidak akan tergantikan.
Hutan alam adalah ibarat gudang
pengetahuan atau laboratorium yang manfaatnya belum sepenuhnya dimengerti
oleh manusia. Karena itu, sebuah taman nasional adalah ibarat monumen
hidup warisan alam yang memang harus mendapat perhatian dan perawatan
oleh sebuah bangsa. Keunikan sebuah taman nasional kadang kala tidak ada
bandingannya dengan tempat-tempat lain di mana pun. Bahkan di belahan
bumi lain. Pendirian sebuah taman nasional diputuskan oleh pemerintah
atas dasar pertimbangan ilmiah, berbasis pengetahuan dan mempunyai visi jangka
panjang. Jadi, kawasan tersebut adalah milik publik dalam arti
menjadi sebuah warisan alam yang seharusnya tidak hanya dinikmati oleh
segelintir orang, atau juga dinikmati hanya masyarakat sekitar kawasan,
tetapi manfaatnya harus dirasakan oleh semua bangsa, dalam arti luas
mempunyai makna kemanusiaan--termasuk upaya mewariskan kepada anak-cucu
kita--untuk jangka panjang.
Manfaat taman nasional bukan menjadi
manfaat yang sempit, seperti mendirikan vila atau tempat rekreasi dan
“tetirah” semata, tetapi taman nasional menjadi tempat abadi yang harus
mendapat keistimewaan bagi semua makhluk Tuhan. Banyak satwa langka,
kehidupan yang unik, bahkan jasad renik yang belum teridentifikasi
namanya oleh pengetahuan manusia, ada di dalam kawasan tersebut. Karena itu,
dalam konsep trilogi konservasi klasik, sesungguhnya taman nasional
didefinisikan mempunyai tiga manfaat: pertama, manfaat perlindungan (protection); kedua, manfaat
pembelajaran; dan ketiga, manfaat untuk memanfaatkan (use).
Selama ini, banyak yang melihat kawasan
hutan, apalagi tempat seperti Gunung Halimun dan Salak, adalah sekadar
puncak gunung tempat mencari kedamaian dan kenyamanan. Melepas penat dan
kejenuhan Jakarta yang sumpek. Maka, jadilah hanya orang-orang yang
memiliki uang yang dapat ke tempat itu. Sedangkan masyarakat lain--yang
tidak punya uang--karena biaya untuk tetirah yang mahal, tidak mempunyai
kesempatan itu. Akibatnya, banyak terjadi kejenuhan tingkat stres yang
tinggi di perkotaan. Dampak lain dari tidak adanya akses untuk menyalurkan
kejenuhan ini bisa berakibat tingginya tingkat kriminalitas dan tingginya
risiko masyarakat yang sakit, baik dalam arti jiwa maupun fisiknya.
Dalam aspek manfaat, karena sejarah
pendirian taman nasional --di Indonesia-- merupakan hal yang baru, masyarakat
belum sepenuhnya memahami
manfaatnya. Berbeda dengan di Amerika,
negara itu menyediakan tempat tetirah sementara--bukan vila--yakni
disediakannya camping ground yang luas.
Akhir pekan, ribuan kepala keluarga
Amerika--kaya dan miskin--dapat dengan cuma-cuma mendirikan tenda di
tempat-tempat yang disediakan oleh taman nasional. Mereka bercengkerama
kembali ke alam, merenung. Mendengarkan gemericik air, mendengar burung
berkicau, mencium wangi bunga liar yang mekar, yang dapat mereduksi
kepenatan dan yang teramat penting mendekatkan diri kepada ciptaan Tuhan.
John Sehail, dalam National
Spectacle The World’s First National Park and Protected Places
(2010), mengutip Selincot yang menuliskan gambaran fungsi sebuah taman
nasional sebagai: “upaya menyaksikan
sebuah warisan nasional, di mana setiap orang mempunyai hak untuk
merasakan, melihat, dan menikmatinya.”
Seseorang yang mengenal alam dengan dekat
akan mendapatkan
spiritualitas, penemuan penting akan makna
hidup. Manusia merupakan bagian dari alam. Menyadari bentuk keterbatasan
dan kedekatan dengan alam akan menjadikan jiwa yang halus dan perasaan
sayang terhadap semua makhluk. Karena itu, EO Wilson (1993) menyebut
ketergantungan manusia pada alam sebagai biofilia (human bond to nature). Bahwa manusia terpatri secara genetik,
sangat perlu untuk dekat dengan alam, terutama untuk mengembalikan
semangat dan spiritualitas, merenungi unsur kehidupan, karena kaitan erat
akan asal-usul penciptaannya.
Dalam sebuah reality show beberapa minggu yang lalu, saya menyaksikan
Oprah Winfrey--yang populer di dunia
itu--sengaja memindahkan lokasi
syuting ke Taman Nasional Yosemite di
California. Dia camping dan
menikmati suasana alam, memasak di tenda,
menghirup udara segar, bangun
pagi. Dalam penutupnya, dia mengimbau masyarakat--Amerika--terutama
yang
berkulit hitam, untuk pergi camping ke Taman Nasional
Yosemite. Imbauan
itu tentu bukan tanpa alasan, banyak warga
kulit hitam yang tinggal
di perkotaan pada umumnya terlibat dalam
tindak kriminal dan kekerasan.
Mengunjungi taman nasional dapat kiranya
menjadi penawar, menghilangkan
stres, serta meninggikan kehalusan budi
dan pikiran. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar