Selintas demokrasi
Indonesia diklaim sebagai salah satu prestasi demokrasi kelas dunia.
Namun, ibarat pepatah Minang yang mengatakan bahwa demokrasi tak ubahnya
seperti adagium rancak di labuah, demokrasi kita begitu indah (rancak),
tetapi hanya terlihat di luar (di labuah).
Permulaan demokrasi elektoral yang dimulai
setelah lengsernya Soeharto telah membuka ruang yang begitu besar bagi
lahirnya partai politik sebagai instrumen utama pendukung demokrasi.
Partai politik sebetulnya telah menempuh “ujian” bagi pelaksanaan
demokrasi sejak Pemilihan Umum 1999, 2004, dan 2009. Hasilnya, partai
politik gagal menjadi aktor yang mengkonsolidasikan demokrasi yang
bekerja dan bermanfaat untuk rakyat. Partai politik seakan bekerja
sebagai institusi yang sama sekali lepas dari pengawasan publiknya
sendiri.
Dalam pemikiran Marxis, demokrasi memang
dirancang untuk membuat para pemilih (electorate)
merasa memiliki kekuasaan, tetapi sebenarnya mereka hanya memiliki
sedikit kekuasaan atau bahkan tidak memiliki kekuasaan sama sekali untuk
menentukan kebijakan negara (Etzioni-Halevy, 2011). Kekuasaan publik yang
diputuskan dalam bilik suara hanyalah prosedural demokrasi yang tidak
berikatan dengan terpilihnya seorang pejabat publik.
Aktor
Korupsi
Asumsi ini layak diperdebatkan ketika
partai politik justru menjadi aktor demokrasi (procedural) sekaligus sebagai aktor korupsi. Praktek korupsi
yang menjerat individu tidak lagi bisa dibaca sebagai tindakan oknum,
karena dari sisi jumlah pelaku sebagian besar berasal dari institusi
partai politik dengan berbagai latar belakang jabatan: dari kepala
daerah, anggota DPR/DPRD, hingga jabatan setingkat menteri. Partai
politik sebagai aktor korupsi dari sudut pandang hukum bukanlah hal yang
tidak mungkin. Partai adalah institusi yang keberadaannya diakui dan
memperoleh legitimasi hukum, maka sudah sepatutnya ia tunduk kepada hukum
itu sendiri.
Dalam banyak kasus korupsi, aktor yang
terlibat adalah individu-individu yang memegang jabatan strategis di
partai politik. Sebut saja sebagai bendahara umum, wakil bendahara,
anggota dewan pembina, bahkan sebagai pucuk pimpinan partai (ketua) dan
seterusnya. Posisi tersebut di atas adalah posisi yang secara
organisatoris bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan arah organisasi.
Jadi, bukan suatu hal yang mustahil jika perilaku individu-individu tersebut
mencerminkan perilaku organisasinya. Atau, dengan kata lain, partai
politik bisa dikategorikan sebagai pelaku korupsi yang dapat dijerat
dengan hukum pidana. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesungguhnya menganut
paham bahwa pelaku korupsi bukan hanya individu (natuurlijk persoon), tapi juga korporasi (recht persoon), baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Pendefinisian partai
politik sebagai subyek dalam tindak pidana korupsi adalah bagian dari
definisi korporasi, yang berarti adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum
(Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi). Hal ini dipertegas
kembali dalam pasal 20 ayat (2) UU Tipikor bahwa tidak pidana korupsi
dilakukan korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan berdasarkan
hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama.
Unsur ini sebetulnya sudah dipenuhi oleh
partai politik yang individu, pengurus, dan anggotanya terlibat secara
masif dalam berbagai kasus korupsi. Penjatuhan sanksi pun dimungkinkan
berupa denda, perampasan aset, pencabutan hak-hak tertentu, hingga penutupan
seluruh atau sebagian korporasi dalam jangka waktu maksimal 1 tahun.
Partai politik akan dipaksa untuk tidak
terlibat dalam kegiatan politik dalam jangka waktu tertentu, misalnya
tidak diperkenankan mengikuti pemilu atas dasar penjatuhan hukuman pidana
korupsi bagi partainya. Ini akan menjadi pintu masuk untuk memberi
pelajaran bagi partai agar tidak berlaku korup. Namun, sayangnya, fakta
hari ini menunjukkan bahwa penegak hukum tidak cukup mampu untuk menyeret
partai politik sebagai salah satu aktor korupsi.
Jalan
Buntu?
Penjatuhan pidana dalam konsep pemidanaan
adalah upaya terakhir dalam rangkaian penegakan hukum (ultimum remedium). Yaitu sebagai
usaha terakhir untuk memperbaiki tingkah laku manusia, terutama para
kriminal, serta memberikan tekanan psikologis bagi masyarakat untuk tidak
melakukan kejahatan serupa. Perilaku partai politik yang cenderung korup
praktis mengarahkan demokrasi menuju jalan buntu. Demokrasi akan stagnan,
terhenti pada satu lajur yang dibajak oleh kawanan koruptor.
Jalan buntu ini tentu saja masih
menyisakan harapan bagi partai politik untuk segera berbenah. Catatan
kelam para elite partai yang terseret arus korupsi seharusnya dijadikan
pelajaran di masa depan. Partai politik diharapkan lebih terbuka, lebih
akuntabel, dan tentunya akan menjadi lebih dipercaya publik. Organisasi
partai bukanlah milik para pengurus, anggota, maupun simpatisan,
melainkan milik publik sebagai pemilih.
Elitisme dan oligarki di tubuh partai juga
harus diberangus agar tidak mengembalikan partai ke jalan yang buntu.
Jalan yang kembali menyeret partai politik sebagai aktor korupsi
sekaligus membunuh cita-cita demokrasi yang diidamkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar