Bocornya dokumen surat
perintah penyidikan (sprindik) KPK, beberapa waktu lalu yang memuat status
tersangka Anas Urbaningrum sejatinya dapat dikenakan pidana informasi, dan
bukan dilupakan atau 'ditelantarkan'. Ada kesan kuat, siapa yang
bertanggung jawab terhadap pembocoran informasi sprindik mulai dijauhkan
dari ranah akuntabilitas yuridis. Titik tekan kasus ini terletak pada
rapuhnya birokrasi atau manajemen peradilan. Kalau manajemennya baik dan
mapan, kebocoran tidak akan sampai terjadi.
Kebocoran merupakan wajah lain
dari realitas negara yang aparat-aparatnya bermental lembek, mudah
melakukan by pass atau merekayasa regulasi. Aktivitas yang sudah ditentukan
garisnya oleh norma yuridis, dibuatnya menjadi kabur dan tidak punya
kepastian hukum, serta menimbulkan maraknya praduga bersalah (presumption of guilt).
Akibat lanjutannya,
antar-seseorang atau sekelompok orang satu dengan seseorang atau sekelompok
orang lainnya, rentan saling mencurigai dan menghakimi. Kedamaian dan
keharmonisan sosial terampas oleh para pelaku yang mengikuti madzhaby
Marthin Luther, bahwa di tengah kekacauan, hanya bajinganlah yang
mendapatkan keuntungan, sementara orang-orang yang bertahan dalam kejujuran
terancam tergusur atau terpinggirkan.
Di tengah masyarakat sekarang
sedang terjadi kekacauan hukum. Hukum yang oleh Lawrence Friedmen
mengandung tiga aspek: kemanfatan, keadilan, dan kepastian, sedang ditimpa
degradasi. Setidaknya dari aspek kepastian, hukum yang digunakan sebagai
instrumen untuk menjawab kasus Anas, justru mengalami ketidakpastian. Ini
tidak lepas dari sikap pimpinan KPK yang berselisih paham dan sikap
mengenai kedudukan Anas. Perselisihan yang tampaknya sudah berlangsung lama
ini akhirnya dimanfaatkan oleh kaum bajingan (meminjam Luther) dengan cara
menyebarluaskan bocoran sprindik.
Akibat terbitnya sprindik itu,
mulai dari Istana (SBY) hingga Anas menunjukkan suasana panas. Kubu Anas
merasa dirugikan dan langsung membuat pernyataan, bahwa ada konspirasi
jahat yang menyudutkannya, sementara SBY meminta pembocor sprindik bisa
ditangkap dan disanksi, karena jelas-jelas merugikan kepentingan partai dan
melanggar hukum.
Ketua Komisi Informasi Pusat
(KIP) Abdul Rahman Ma'mun, menyatakan, selain dikenai sanksi pelanggaran
kode etik, pembocor sprindik di internal KPK dapat dijerat dengan ancaman
hukuman dua tahun penjara. Ini diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informai Publik (UU KIP). UU KIP ini juga memuat ancaman pidana
bagi pihak-pihak yang mengakses dan menyebarluaskan secara tidak sah
informasi yang dikecualikan atau rahasia.
Dalam UU KIP itu juga diatur
perahasiaan atau pengecualian informasi. Seperti pada Pasal 17 huruf a yang
menyatakan setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon
Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: a. Informasi
Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu 1. menghambat proses
penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.
Dalam Pasal 54 ayat 1 UU KIP,
yang mengatur pidana informasi digariskan, bahwa setiap Orang yang dengan
sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan
informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a,
huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Dalam ketentuan tersebut sudah
jelas bahwa setiap pelaku pembocor informasi yang memang terlarang untuk
diinformasikan, kecuali ada perintah yang memintanya untuk menyampaikan
informasi, adalah pelaku tindak pidana. Siapa pun yang membocorkan
informasi yang terlarang diinformasikan ini, wajib 'menjabat' status
sebagai kriminal.
Pidana untuk pembocor
informasi (sprindik) itu memang wajib dikenai sanksi pidana. Ini bukan
semata demi menegakkan norma hukum yang mengatur soal kerahasiaan
informasi, tetapi juga untuk membuat jera pelaku, khususnya siapa pun yang
bermaksud mempermainkan informasi pada publik.
Mempermainkan informasi publik
identik dengan mempermainkan hukum. Mempermainkan hukum berarti
mempermainkan atau melecehkan negara hukum. Pelecehan negara hukum ini
merupakan pelecehan terhadap martabat manusia Indonesia, pasalnya norma
yuridis diproduk untuk melindungi atau memediasi kepentingan strategis
masyarakat.
Kalau norma yuridis menjadi
kehilangan kepastian atau tanpa daya manfaat akibat dijadikan objek
permainan oleh kekuatan jahat atau elemen mafia struktural seperti
birokrat-birokrat nakal, maka para pencari keadilan semakin banyak
kehilangan hak-haknya.
Terlepas status Anas menjadi
tersangka atau tidak, kasus pembocoran informasi sepenting sprindik wajib
diusut. Kasus ini harus dipisahkan dengan kasus tuduhan keterlibatan Anas
dalam kasus Hambalang. Kasus pembocoran merupakan kasus yang berdiri
sendiri, yang menguji kondisi manajemen peradilan KPK. Manajemen peradilan
di tangan KPK, masih tidak bedanya dengan manajemen peradilan konvensional
lainnya, yang rentan disusupi 'penyulap' atau tangan-tangan lihai yang
mempermainkannya.
Pembocor informasi sprindik memang
bisa saja beralasan dengan menggunakan logika 'peradilan tanpa pengadilan'
atau sudah bosan menyaksikan kinerja elemen peradilan yang lamban dalam
menangani kasus dugaan penyalahgunaan uang negara, sehingga menggunakan
cara instan dan anomali, namun cara itu tetap dikategorikan sebagai bentuk
kriminaisasi manajemen peradilan, yang tentu saja harus dibongkar tuntas.
Sekali masalah pembocor
informasi diabaikan atau dijadikan objek mainan dalam jagat peradilan,
apalagi dalam perkara sebesar sprindik dugaan kasus korupsi, maka ke depan,
sanksi pidana dalam rumusan norma hukum Indonesia hanya akan semakin
dijadikan objek dagelan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar