''BUKAN kamar jenazah yang saya takuti, melainkan
ruang administrasi.'' Begitu yang diucapkan orang tua pasien sebuah rumah
sakit.
Kekhawatiran tersebut dijawab dengan lihai oleh
Gubernur DKI Jokowi dengan kartu jaminan kesehatan. Tetapi, luapan
harapan untuk mendapatkan jaminan kesehatan belum juga bisa diatasi.
Jumlah pasien tiba-tiba meledak. Kamar dan dokter tidak cukup. Pasien
harus pindah berkali-kali dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang
berarti ongkos. Ada kesan yang luas, rumah sakit enggan menerima pasien
miskin. Namun, dokter mengatakan rumah sakit kekurangan kamar dan tenaga
medis.
Era Low Cost
Di televisi, dalam sebuah wawancara, Tonny Fernandez, founder AirAsia, pernah ditanya apa
lagi gagasannya. Dia menjawab: low
cost hospital. Ya, rumah sakit berkualitas internasional
berbasis biaya yang rendah. Di dunia telco, cara yang ditempuh AirAsia
sudah sejak tujuh tahun ini diterapkan. Mulanya oleh XL Com yang saat itu
baru saja diambil alih Axiata dari Rajawali. Hasilnya, jumlah pelanggan
telco meningkat pesat, demikian pula frekuensi percakapan dan SMS.
Tetapi, bisakah metode itu dipakai di rumah sakit?
Sewaktu akan diterapkan, hampir semua penganut mazhab low cost sulit meyakinkan karyawan yang
menjadi pembuat cost. Logika
mereka tak masuk karena dua hal. Pertama, low cost berarti budaya kerjaan perilaku
sehari-hari juga harus berubah dan tentu saja menghapus banyak
kenikmatan.
Kedua, sedikit sekali yang percaya bahwa hasil riset
yang mereka pegang banyak mengandung kesalahan. Konsumen tidak
menghendaki tarif yang murah, melainkan tarif yang ''supermurah'' atau
bila perlu gratis, ditanggung pihak ketiga.
Para penganut mazhab low cost juga bertarung dengan banyak
akademisi yang percaya bahwa high quality hanya bisa ditawarkan dengan premium price seperti yang dilakukan premium brand. Bahkan, ada
yang mengkhawatirkan low cost juga bisa berarti ancaman
terhadap safety. Tak banyak
yang mengerti bahwa low cost berarti ''berbadan sehat'',
tertib administrasi, bebas korupsi, tak ada duplikasi, efisien, dan tata
kelola yang baik.
Demikianlah harga yang berlaku dalam industri fashion, travel
(hotel dan airlines), parfum,
properti, pendidikan, dan kesehatan. Harganya harus mahal karena
produsennya confused antara cost dan image (gengsi). Namun, di sisi lain,
kita juga menemui fakta sebaliknya: high cost-low quality atau poor service seperti kebanyakan rumah sakit
pemerintah. Sudah pelayanan buruk, sistemnya tak bekerja dengan baik.
Tingkat keborosannya amat tinggi, intervensinya banyak sekali. Namun,
terima kasih, 20 tahun belakangan, muncul rangkaian terobosan dengan
lahirnya fenomena freemium yang berhasil memadukan premium quality dengan harga yang ''almost free''.
Ketika metode low cost diterapkan, banyak orang yang
tak percaya bahwa mereka bisa melakukannya. Di XL Com ketika metode itu
diterapkan, pertanyaan serupa muncul. Pertanyaannya seputar bagaimana
merombak struktur biaya? Siapa yang biayanya harus dipangkas? Berapa
banyak orang yang harus dikurangi? Apakah respons pasar benar
elastis? Apakah biaya modal dan depresiasi dapat di-cover? Apakah
benar menguntungkan? Apakah konsumen tidak akan berpindah hati? Dan
seterusnya.
Faktanya, XL tidak hanya berhasil mendapatkan pasar
baru, mereka malah memperbarui industri, menjadi cracker.
Low cost method terutama dipakai untuk
mengorkestrasi sebuah kegiatan usaha berskala besar (untuk mendapat skala
ekonomis) dan untuk mengundang nonconsumers menjadi consumers.
Jadi, model itu sebenarnya cocok untuk industri
pelayanan kesehatan berskala besar, yaitu rumah sakit jaringan (franchised based atau chain hospital) atau rumah
sakit milik pemerintah yang memungkinkan pengelolaan dan pengadaannya
disatu-atapkan serta tata kelolanya diperbaiki. Model tersebut juga cocok
untuk menampung pasien-pasien baru yang datang dengan fasilitas jaminan
pemerintah yang dulu sama sekali tak terjangkau.
Sikap Dokter
Harus diakui, sikap dokter amat beragam. Ada dokter
yang terbiasa melayani pasien kelas atas, tetapi banyak pula dokter yang
dibesarkan di rumah sakit pemerintah yang melayani kaum miskin. Namun,
ada juga yang berada di tengah-tengahnya: memiliki status PNS dan
bertugas tetap di RS pemerintah, tetapi juga buka praktik di klinik atau
rumah sakit lain yang melayani kelas menengah atas.
Dualisme itu diakui banyak pimpinan rumah sakit sebagai
masalah besar karena suka atau tidak kesetiaan pada pelayanan untuk kaum
miskin akan terganggu. Ketika politisi mengalokasikan dana yang jauh
lebih besar untuk melayani kaum miskin, mau tak mau penghasilan rumah
sakit pun akan membaik dan rumah sakit tak bisa lagi mengeluh bahwa
pasien miskin menjadi beban. Pasien miskin adalah sumber penghasilan bagi
rumah sakit, yang berarti juga sumber peningkatan kesejahteraan bagi
dokter.
Namun, karena pada masa lalu sikap rumah sakit tidak
demikian, mereka pun menghadapi banyak kesulitan menata dirinya. Rumah
sakit milik pemerintah perlu menata diri, menerapkan transformasi dan change management; memperbarui
sikap dokter; memperbarui sikap terhadap pelayanan, budaya disiplin,
cara pandang terhadap pasien miskin; dan perlu membuang lemak-lemak yang
membelenggu struktur biayanya yang tak sehat. Jadi, low cost hospital adalah sebuah
peluang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar