Ratusan aktivis masyarakat sipil
dari beberapa negara akan berada di Bali, akhir Maret ini, dalam
Konferensi Agenda Pembangunan Pasca-2015.
Semenjak Konferensi Panel
Tingkat Tinggi (High-Level Panel/HLP)
di Busan, Korea, kelompok masyarakat sipil diberikan akses untuk
mengikuti pertemuan tingkat tinggi agenda pembangunan pasca-2015 Millenium Development Goals
(MDGs). Keterlibatan kelompok ini diakui telah memperkaya perdebatan
dalam persiapan perumusan dokumen MDGs pasca-2015. Masyarakat sipil juga
tidak mau mengulang rumusan MDGs sebelumnya, yang tidak memuat isu hak
asasi manusia, pekerjaan layak, skema pembiayaan pembangunan, tiadanya
target yang jelas pada isu lingkungan, dan mengabaikan keterlibatan
masyarakat sipil.
Tinggal tersisa tiga tahun untuk
merealisasikan capaian MDGs. Terdapat beberapa target yang telah tercapai
atau setidaknya akan tercapai, tetapi terdapat juga beberapa target yang
tidak akan bisa dipenuhi pada tahun 2015. Untuk Indonesia, beberapa
target yang menjadi agenda yang belum terselesaikan—antara lain—adalah
masih pesatnya laju deforestasi, target sanitasi di daerah perkotaan dan
pedesaan, dan upaya mengekang angka kematian ibu.
Menurut laporan Bappenas, pada
pencapaian MDGs 2010 angka kematian ibu adalah 228 per 100.000 kelahiran
hidup, sementara yang menjadi target MDGs adalah 102 per 100.000
kelahiran hidup. Masyarakat sipil pesimistis bahwa Indonesia dapat
mencapai target MDGs pada tahun 2015.
Harus Ubah Paradigma
Keterlibatan masyarakat sipil
dalam Konferensi Agenda Pembangunan Pasca-2015 merupakan sebuah
perjuangan perebutan konsep atau gagasan pembangunan. Inilah momentum
buat masyarakat sipil untuk mengubah paradigma model pembangunan yang
selama ini didominasi rezim pertumbuhan ekonomi. Masyarakat sipil sangat
perlu untuk dapat memperkuat argumentasi, memperbaiki strategi komunikasi
melalui riset, advokasi, dan kampanye yang lebih baik.
Dalam pertemuan konsultasi masyarakat
sipil pada Februari lalu disepakati perlunya menggugat prestasi ekonomi
yang sering kali dibanggakan Pemerintah Indonesia sebagai tolok ukur
keberhasilan pembangunan. Sebab, apa yang dimaksud sebagai prestasi
tersebut belum bisa menggambarkan situasi nyata yang ada di masyarakat.
Masyarakat sipil Indonesia tidak
menemukan bukti-bukti yang memadai bahwa pertumbuhan yang inklusif dan
menjamin pemerataan telah terjadi. Fakta-fakta peningkatan kesenjangan,
akses yang sulit untuk mendapatkan pendidikan murah, kelangkaan pekerjaan
yang layak, telah meyakinkan banyak pihak bahwa harus ada perubahan dalam
orientasi pembangunan.
Oleh karena itu, ke depan, semua
upaya dan langkah pembangunan di Indonesia dan dunia mesti dimaksudkan
untuk menghapus kemiskinan dengan menetapkan target dan indikator yang
jelas. Target ini dibuat dan diawasi melalui keterlibatan masyarakat
sipil.
Selama ini, Pemerintah Indonesia
selalu menyatakan optimisme mengenai pembangunan dengan
indikator-indikator kuantitatif. Keberhasilan Indonesia mempertahankan
pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat krisis finansial global diakui
oleh institusi keuangan internasional sebagai bentuk kokohnya fundamental
ekonomi Indonesia. Ditambah lagi dengan keberhasilan meningkatkan
investasi asing dalam dua tahun terakhir ini, membuat seolah telah
terjadi perbaikan kesejahteraan secara paralel. Akan tetapi, nyatanya
tidak memiliki korelasi langsung dengan kehidupan mayoritas rakyat
Indonesia.
Oleh karena itu, semua upaya dan
langkah pembangunan yang berorientasi pertumbuhan mesti beralih pada
pembangunan berkelanjutan untuk mengakhiri kemiskinan. Namun, tanpa
perubahan paradigma model pembangunan, Indonesia dan dunia tidak akan
mencapai target yang ditetapkan. Bahkan, hanya mengulang kesalahan yang sama.
Bank Dunia sendiri, yang selama
ini dianggap kampiun pendukung rezim pertumbuhan ekonomi, telah mengakui
kekurangan sistem itu. Dalam laporan Bank Dunia yang dirilis awal 2013
dikatakan, ”Pertumbuhan memang penting, tetapi tidak cukup untuk
pembangunan yang inklusif. Pembangunan laju ketenagakerjaan kunci yang
menjembatani antara pertumbuhan dan penurunan kemiskinan. Pekerjaan yang
banyak dan berkualitas tidak mungkin dicapai hanya melalui satu dimensi
tunggal, yaitu agenda pertumbuhan.”
Dari pertemuan masyarakat sipil
di Istanbul, Turki, tahun 2010, masyarakat sipil juga telah menyepakati
prinsip yang akan jadi pegangan masyarakat sipil di seluruh dunia dalam
rangka menghadapi kerja sama agenda pembangunan. Agenda itu dikenal
sebagai Istanbul CSO Development
Effectiveness Principles. Berisi delapan hal, yaitu; (1) memajukan
HAM dan keadilan sosial; (2) memperhatikan dimensi gender dalam memajukan
hak-hak perempuan; (3) fokus pada kekuatan rakyat, kepemilikan terhadap
demokrasi dan partisipasi; (4) memajukan lingkungan yang
berkesinambungan; (5) menerapkan praktik transparansi dan akuntabilitas;
(6) memacu pertumbuhan yang seimbang, kemitraan dan solidaritas; (7)
menciptakan pengetahuan dengan saling berbagi dan komit terhadap
pelajaran yang saling menguntungkan; dan (8) komit merealisasikan
perubahan positif yang berkelanjutan. Inilah delapan prinsip yang menjadi
pegangan masyarakat sipil dalam mengefektifkan kerja sama pembangunan
negara Utara-Selatan.
Perumusan Target
Terdapat beberapa tantangan yang
dihadapi dalam penyusunan kerangka kerja pasca-2015, antara lain tentang
kerangka kerja dan rumusan target yang sedang dipersiapkan saat ini.
Akibat situasi krisis ekonomi, terutama yang dialami negara-negara maju
dan ketersediaan sumber daya alam yang semakin terbatas di dunia pertama,
kekuatan global politik dan ekonomi dunia juga telah berubah dan tidak
lagi didominasi kelompok negara-negara maju. Pada sisi lain, peta
kemiskinan dan ketimpangan juga mulai berubah, tak lagi didominasi
negara-negara miskin, tetapi justru berada di negara-negara berpendapatan
menengah.
Mengacu pada tantangan-tantangan
tersebut, penyusunan kerangka kerja pasca-2015 menjadi sangat penting
bagi Indonesia. Hal ini terkait dengan beberapa alasan, di antaranya
bahwa Indonesia telah berkembang menjadi negara yang harus
diperhitungkan, mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan populasi
yang cukup besar. Indonesia juga merupakan pasar yang prospektif untuk
perdagangan barang dan jasa. Pengalaman Indonesia juga menunjukkan,
perbaikan-perbaikan dalam pembangunan di Indonesia dapat dipengaruhi dan
didukung kesepakatan-kesepakatan global.
Penunjukan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai ketua dalam Konferensi Panel Tingkat Tinggi
oleh Sekretaris Jenderal PBB kita pandang sebagai peristiwa istimewa.
Sebab, Indonesia berpeluang memasukkan perspektif masyarakat sipil yang
menghargai inklusivitas, kemitraan, kesetaraan, dan keadilan serta
penghargaan terhadap hak-hak kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda.
Semoga tekad Presiden SBY untuk menciptakan zero global poverty rate tidak hanya menjadi pernyataan
heroik tanpa capaian yang konkret dan terukur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar