Peristiwa berdarah di LP Cebongan, Sleman pada Sabtu
(23/3) lalu untuk kesekian kalinya membuktikan negara tidak hadir alias
tidak ada di tengah-tengah bangsa Indonesia.
“Di mana engkau gerangan, wahai
negaraku?!” Fungsi pokok negara
adalah to protect life and
property, melindungi nyawa rakyat dan harta bendanya. Jika nyawa rakyat
setiap saat bisa dengan mudah lenyap atau kepalanya copot maka negara
sungguh kehilangan fungsinya. Secara ekstrem dikatakan tidak ada lagi
negara; yang ada hukum rimba.
Bukti lain bahwa negara (baca: pemerintah) sudah
kehilangan eksistensinya ialah ketika semua petinggi keamanan di Republik
serempak mengeluarkan pernyataan yang sama dan sebangun: bahwa TNI tidak
terlibat dalam peristiwa berdarah di LP Cebongan.
Paling tidak tercatat empat petinggi keamanan secara
kilat mengeluarkan pernyataan seperti itu, yakni Panglima Kodam
IV/Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Sarojo; Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto; Kepala Staf Angkatan Darat
Jenderal Pramono Edhie dan Kepala Badan Intelijen Negara Letnan Jenderal
Marciano Norman.
Tanpa melakukan investigasi yang menyeluruh dan
mendalam, mereka serta-merta sudah mengeluarkan kesimpulan. Aneh, bukan?
Tapi, publik pasti tahu kenapa bantahan begitu kilat dikeluarkan.
Para petinggi keamanan seyogianya secara kilat
mengintsruksikan jajarannya untuk melakukan investigasi, sekaligus
menguak identitas pelaku penyerbuan yang begitu terampil dan profesional
serta motivasinya. Penyerbuan LP Cebongan tidak bedanya dengan kisah
hikayat Godfather.
Di Amerika sekali pun tidak pernah terjadi sebuah penjara
diberondong oleh orang-orang bersenjata bak tentara komando yang sangat
mahir menembak. Merampok bank dan memberondong orang-orang di dalam bank
sesekali memang terjadi di Amerika. Toh, kejadiannya tidak pernah
sedramatis kejadian LP Cebongan.
Para petinggi keamanan kita tidak cukup hanya
mendesak Polri mengusut dan menginvestasi insiden Cebongan. Polri pasti
tidak mampu. Sekali lagi, Polri pasti tidak mampu, bahkan tidak punya
keberanian. Polisi tentu akan berpikir 10 kali untuk melakukan investigasi,
sebab salah-salah si investigator pun akan “di-Cebongan-kan.”
Dipindahkannya keempat narapidana dari tahanan Polda
Jawa Tengah ke Cebongan pun dicurigai bermotifkan ketakutan polisi. Kalau
hari itu tidak segera dipindahkan, tidak mustahil markas besar Polda Jawa
Tengah yang diserbu dan diobrak-abrik dengan tujuan mengeksekusi keempat
tahanan yang memang diincar. Perhatikan waktu pemindahan narapidana yang
malam-buta menjelang pagi. Kalau penjara Polda Jawa Tengah sudah penuh,
kenapa harus pagi-pagi buta pemindahannya?
Motif Dendam
Dari tindakan yang begitu superkilat ala Godfather,
dari 30 butir peluru yang mencabik-cabik tubuh keempat korban, satu
kesimpulan bisa ditarik: bahwa penyerbuan Cebongan dan pembantaian
keempat narapidana dilatarbelakangi motif dendam menggebu-gebu pelaku
terhadap korban.
Apa sebab yang membuat mereka begitu dendam? Prinsip
sebab-akibat, tentu, berlaku bukan? Ada insiden apa beberapa hari sebelum
penyerbuan Cebongan? Kalau semua pihak mau jujur sejujurnya, insiden
Cebongan tidaklah susah untuk diungkap!
Presiden SBY harus bertindak cepat, memerintahkan
aparatnya untuk secepatnya membongkar insiden berdarah yang sangat
memalukan dan menarik perhatian dunia internasional ini. Untuk menjaga
kredibilitas pemerintahannya, SBY kali ini benar-benar harus punya
keberanian untuk menindak keras siapa pun pelakunya. Kalau tidak,
rontoklah wibawa Presiden SBY, rontok pula predikat Indonesia sebagai “negara maju yang disegani dunia
internasional”.
Sebuah negara omong kosong bisa dikategorikan maju
kalau hukumnya tidak berfungsi,dan hukum rimba (jungle law) yang bertakhta. Di semua negara yang diakui
“maju”, penegakan hukumnya pasti bagus; dalam arti rule of the law
dijunjung tinggi oleh semua pihak, termasuk presiden sekali pun.
Penegakan hukum di negara kita, jujur saja, semakin
lama memang semakin rusak. Hukum rimba dipertontonkan di mana-mana.
Lebih ngeri lagi, hukum rimba yang dilengkapi senjata api canggih.
Masih segar sekali ingatan kita ketika kantor Polres
Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, dua pekan lalu diserbu puluhan
anggota TNI bersenjata api dari satu batalion tertentu. Kantor Polres
diobrak-abrik, dibakar, dan sejumlah anggota polisi yang sedang bertugas
digebuki serta dianiaya. Presiden SBY terkejut, kesal, lalu memerintahkan
Panglima TNI dan Kapolri untuk mengusutnya segera.
Tapi, mana hasil pengusutan itu? Insidennya sudah
terang-benderang, kenapa sulit diusut, diungkap dan diseret ke pengadilan
para pelakunya? Apa pun motivasinya, tindakan penyerbuan ke kantor polisi
oleh anggota tentara mencerminkan tindakan yang mengobrak-abrik hukum;
seolah-olah Republik Indonesia sudah tidak mempunyai tatanan hukum yang
beradab.
Konflik bersenjata antaranggota TNI dan Polri sungguh
memprihatinkan kita semua. Penyelesaian konflik secara tuntas menjadi PR
penting dari Presiden SBY. Jangan ada kesan bahwa pemimpin kita cuma
pandai pidato di forum internasional, sedang menyelesaikan berbagai
masalah akut di dalam negeri saja tidak mampu.
Penegakan hukum memang salah satu titik paling lemah pembangunan
nasional. Hukum dan keadilan sering kali lebih ditentukan oleh uang,
kekuasaan dan jango-isme. Contoh kecil namun tidak kalah serius: massa
bisa menghentikan perjalanan kereta api. Berawal dari protes masyarakat
kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang menghapus operasi KRL kelas
ekonomi. Karena tidak ada solusi damai, anarkisme pun diterapkan begitu
saja. Puluhan orang pada 26 Maret pagi bergerak dan menduduki rel
kereta api di Bekasi.
Di Gorontalo tanggal 25 Maret lalu stasiun TVRI
Gorontalo diduduki massa secara paksa. Ketika itu TVRI Gorontalo tengah
menyiarkan talkshow secara live. Mendadak massa yang dipimpin Adhan
Dhambea dan Indrawanto Hassan menganiaya sejumlah wartawan TVRI.
Mereka memprotes pemberitaan TVRI yang mengutip Ketua
Panwaslu Gorontalo mengenai putusan PTUN soal keabsahan pencalonan
pasangan Adhan Dhambea-Indrawanto Hassan. Koordinator Liputan TVRI
Gorontalo, Bambang Ismadi dan Kepala LPP Irmansyah,
ditendang. Ichsan Nento dari divisi program dipukuli saat mencegat
massa.
Jika pelecehan dan penginjak-injakan hukum terus
dibiarkan, Indonesia akan semakin mundur, bukan semakin maju. Sekitar 200
tahun yang lalu Tzar Peter I yang berkuasa di Dinasti Rusia mengatakan
bahwa penataan negara harus dimulai dari penegakan hukum.
Semua warga negara harus tunduk dan menghormati hukum
yang berlaku. Aspek lain dari kehidupan seperti kesejahteraan, keadilan
dan penghayatan terhadap ajaran agama berada di posisi nomor 2, nomor 3,
dan seterusnya. Law is Number One,
titik. Lalu, di mana posisi law
enforcement di Republik Indonesia dewasa ini?! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar