Pada awal tulisan ini, saya menggunakan hasil
kajian International Food Policy
Research Institute (IFPRI) yang disampaikan dalam laporan "2012 Global Hunger Index".
Dengan menggunakan ukuran kelaparan sebagai indeks gabungan dari tiga
peubah utama, yaitu (1) persentase populasi dengan tingkat konsumsi kalori
kurang dari standar (menggambarkan proporsi populasi yang kekurangan
kalori); (2) persentase anak-anak berusia kurang dari 5 tahun yang berat
badannya kurang dari patokan/standar kesehatan (kontet, kurus-kering); dan
(3) tingkat kematian anak-anak dengan usia kurang dari 5 tahun, maka
Indonesia tergolong sebagai negara dengan tingkat kelaparan serius yang
lebih buruk daripada Lesotho, Mongolia, Republik Kongo, Vietnam, atau
Mauritania--lima negara yang secara berurutan berada di atas posisi
Indonesia (lihat Tabel 2.1 dalam Laporan IFPRI, 2012).
Informasi di atas itu tentu haruslah sangat
menggelisahkan kita semua. Mengapa terjadi? Dalam kesempatan ini, saya
tidak akan berargumentasi tentang validitas dari hasil kajian IFPRI
tersebut, melainkan ingin menyampaikan pandangan bahwa, memang untuk dapat
mengatasi permasalahan kelaparan tersebut, tidaklah sekadar meningkatkan
pendapatan atau memberikan lapangan pekerjaan. Kita memerlukan upaya yang lebih
besar lagi, yang saya namakan dalam tulisan ini adalah perubahan budaya.
Saya masih ingat sebuah hasil penelitian pada
1980-an awal yang menyatakan bahwa pola konsumsi pangan di Indonesia tidak
bergantung pada tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan. Apakah hasil
penelitian tersebut masih valid pada saat sekarang, saya belum memiliki
informasi mutakhir. Tapi, melalui pengamatan sekilas, hal tersebut
menunjukkan masih berlaku, apalagi dengan melihat seriusnya tingkat
kelaparan Indonesia menurut IFPRI ini.
Mengingat ukuran yang digunakan IFPRI ini cukup
substansial, faktor-faktor yang menyebabkan rendah-tingginya tingkat
kelaparan di suatu negara juga cukup substansial. Saya ingin menyoroti satu
hal penting yang kiranya memberikan kontribusi besar bagi terjadinya
pencapaian kinerja tingkat kelaparan yang digolongkan rendah oleh IFPRI,
yaitu tingkat kelaparan di bawah indeks 5,00, yang berlaku bagi kelompok 41
negara berkembang.
Substansi yang ingin saya jadikan bahan diskusi ini
adalah posisi pertanian, khususnya rasio nilai tambah pertanian per tenaga
kerja (sebagai indikator kesejahteraan petani) terhadap pendapatan
rata-rata nasional pada suatu negara. Rasio ini juga menggambarkan besaran
tingkat ketimpangan petani terhadap rata-rata nasional. Hipotesisnya
adalah, semakin besar rasio tersebut atau semakin tinggi pendapatan petani
relatif terhadap pendapatan rata-rata nasional pada suatu negara, maka
semakin kecil intensitas atau tingkat kelaparan pada negara tersebut.
Hipotesis ini pada umumnya sudah berlaku untuk kasus di negara maju.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya (Suara
Pembaruan, 14 Februari 2013), yaitu pertama, terdapat 12 negara atau 29
persen dari 41 negara dicirikan oleh rasio nilai tambah pertanian per
tenaga kerja dengan pendapatan per kapita nasional lebih besar daripada
1,0; kedua, 14 negara atau 34 persen dari negara-negara tergolong dalam
kelompok 41 negara tersebut memiliki nilai rasio berkisar antara 0,5 dan
sama dengan pendapatan rata-rata nasional. Jadi, 63 persen pendapatan per
petani di negara berkembang yang tingkat kelaparannya rendah berkisar
antara setengah dan lebih tinggi daripada rata-rata pendapatan nasional.
Sebagai gambaran, untuk Indonesia, nilai rasio yang dimaksud turun dari
0,35 pada 2007 menjadi 0,24 pada 2010, atau menurun 11 persen.
Hasil kajian di atas memberikan petunjuk penting,
yaitu negara dengan tingkat pendapatan yang masih belum memenuhi tingkat
pendapatan sebagai negara maju, tapi tetap menjaga pendapatan petaninya
relatif baik atau bahkan lebih baik daripada pendapatan rata-rata pada
umumnya, cenderung memiliki tingkat kelaparan yang rendah. Alasan
sederhananya adalah, sebagai ciri utama negara berkembang, sebagian besar
penduduknya masih bermukim di pedesaan. Dengan menjaga nilai tambah pertanian
yang relatif tinggi, sebagian besar penduduk yang bermukim di pedesaan juga
menikmati pendapatan tersebut.
Tingkat pendapatan yang relatif tinggi di pedesaan
juga menggambarkan kondisi atau tingkat pendidikan, kesehatan, kualitas
permukiman atau kualitas lingkungan yang relatif lebih baik juga di
pedesaan. Dengan perkataan lain, kesenjangan tingkat kehidupan antara
pedesaan dan perkotaan yang baik memberikan tingkat kehidupan bersama yang
lebih baik pula, satu di antaranya adalah rendahnya tingkat kelaparan.
Keseimbangan
tingkat kehidupan yang lebih baik itu hanya terjadi apabila budaya--cara
berpikir, cara merasa, dan cara meyakini--dari masyarakat bangsa yang
bersangkutan menempatkan petani atau pertanian bukan sebagai usaha manusia
atau sektor kehidupan yang sifatnya inferior. Karena itu, pertanian
dijadikan sebagai landasan peradaban. Petani makmur, bangsa dan negara akan
"enak tidur" dan tidak akan menghamba menggantungkan pangan dari
bangsa lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar