GAGASAN pemilu secara serentak kembali
mencuat, menjadi pembicaraan hangat dalam parlemen dan media, seiring
dengan rencana DPR merevisi UU Nomor 42 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Presiden (Pilpres). Sebelumnya, isu ini juga menjadi debat publik ketika
pembahasan Revisi UU Pemilu tapi tidak mendapat tanggapan serius dari
berbagai fraksi di DPR.
Sebenarnya pemilu serentak mempunyai
kebaikan demi efisiensi proses demokrasi dan praksis demokrasi substansial.
Selain itu, rencana pembangunan dan implementasi bisa lebih sinkron.
Memang tak bisa dimungkiri penataan pemilu serentak itu memerlukan
pengorbanan dari kepala daerah yang berkurang masa jabatannya.
Terkait dengan wacana itu, muncul dua
pemikiran. Pertama; pileg dan pilpres dilakukan serentak secara nasional.
Kedua; dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah tingkat provinsi, dan
kabupaten/kota. Lantas apa manfaatnya, andai pemilu dilakukan
serentak?
Capres
Alternatif
Jika KPU menyelenggarakan pemilu serentak,
ada dua keuntungan ganda yang bisa diraih sekaligus. Pertama; dalam kaitan
pilpres akan muncul tokoh alternatif. Kedua; dapat menghemat anggaran
hingga triliunan rupiah, efisien waktu, tenaga, dan keefisienan proses
demokrasi.
Meminjam bahasa Jimly Asshiddiqie dan
Soegeng Sarjadi dalam diskusi di DPR, ’’Pemilu
serentak menjadi jawaban untuk memunculkan calon presiden alternatif. Ke
depan jika pileg dan pilpres dilakukan secara bersamaan maka syarat ambang
batas suara bagi partai atau gabungan parpol dalam pilpres, menjadi tidak
diperlukan lagi.’’
Dari substansi itu, kita bisa menyimpulkan
hal itu membuat partai politik besar dan kecil menjadi seimbang (equal).
Bagaimana bisa merealisasikan gagasan itu?
Tentu harus ada komponen masyarakat seperti LSM atau civil society, dan partai politik yang mengajukan yudicial
review UU Nomor 42 Tahun 2008 terkait Pilpres. Undang-Undang Pilpres
mengatur bahwa pemilihan presiden diselenggarakan setelah pemilu legislatif
dilaksanakan. Sementara Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan pasangan
capres-cawapres diusulkan partai atau gabungan partai peserta pemilu
sebelum pemilu digelar.
Argumen itu mengisyaratkan bahwa konstitusi
memperbolehkan pileg dan pilpres diselenggarakan serentak. Seandainya
uji materi dikabulkan, otomatis pilpres dapat diselenggarakan serentak
dengan pileg. Lewat pemilu serentak, syarat ambang batas parlemen mengusung
capres menjadi tidak diperlukan. Parpol peserta pemilu punya hak dan
kewajiban sama mengusung capres masing-masing dan berarti sistem pemilu
akan lebih murah, hemat biaya, efisien waktu, dan tenaga.
Untuk itu, ambang batas pencalonan presiden
layak direvisi karena penetapan syarat minimal kursi DPR atau perolehan
suara partai dan gabungan partai ketika mengajukan calon presiden menjadi
tidak adil. Pasalnya, partai besar cenderung mengusulkan ambang batas
tinggi, sementara partai kecil meminta persyaratan rendah. Dalam konteks
bernegara seharusnya semua partai punya hak sama, bisa memunculkan calon presiden
alternatif.
Efisien
Anggaran
Lantas bagaimana dengan hitungan anggaran?
Hitungan riil memang belum ada, masih sebatas teoritis. Tapi jika pemilu
diterapkan serentak, penyusutan anggaran pasti signifikan hingga triliunan
rupiah. Untuk biaya pemilu ada penyusutan anggaran pada honor penyelenggara
pemilu. Selama ini honor penyelenggara pemilu menjadi komponen terbesar
dari biaya pemilu, yang mencapai hampir 60% dari biaya pileg, pilpres, dan
pilkada.
Besar honor dapat dilihat dari jumlah TPS,
sekitar 600 ribu tempat pemungutan suara (TPS). Tiap TPS dijaga 6 orang
dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dengan total anggota
KPPS sekitar 2 juta orang, jika honor per anggota rata-rata Rp 300 ribu,
butuh biaya sekitar Rp 6 triliun. Itu belum biaya untuk pilpres dan
pilkada.
Jumlah itu pun masih ditambah honor anggota
Panitia Pemilihan Pemungutan Suara (PPS). Ada 3 anggota PPS di tiap
kelurahan, dan dengan 77.465 kelurahan sehingga ada 232.395 anggota PPS.
Kalau tiap anggota PPS berhonor Rp 500
ribu, butuh dana ratusan miliar untuk honor mereka, masih ditambah anggota
Panwas dan KPUD. Itu hanya pemilu legislatif, belum pilpres dan Pilkada
yang praktiknya bisa dua putaran.
Karena itu, jika pemerintah menggelar pesta
demokrasi itu secara serentak dengan model pemilu
nasional dan lokal,
efisiensi anggaran pasti signifikan saat pemerintah butuh dana untuk
pengentasan warga dari kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur.
Lebih dari itu, pemilu serentak akan
mendorong pemilih lebih rasional menggunakan hak politik. Artinya, pemilu
serentak tak hanya efisien anggaran, tenaga, dan waktu, tetapi lebih dari
itu, yakni mempercepat keterwujudan penataan demokrasi substansial.
Penataan demokrasi substansial ini terkait akses rakyat dalam menentukan
pilihan politik, penyederhanaan sistem kepartaian dan sistem pemilu, serta
penguatan sistem presidensial. Perlu secepatnya memikirkan wacana itu tapi
juga tidak boleh tergesa-gesa dan gegabah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar