Meski
dikenal dunia sebagai negara berpenduduk Muslim moderat, belakangan
Indonesia mengalami gelombang pasang in toleransi akibat radikalisme dan
terorisme. Fakta ini yang menjadikan ancaman teroris masih terus
menggelinding. Tindakan tegas oleh Densus 88 juga sudah dilakukan.
Bahkan, tindakan ini sempat menuai kritik karena dianggap terlalu keras
dengan menembak mati teroris, tanpa mempertimbangkan azas praduga tak
bersalah.
Tampaknya
antara kekalapan teroris dan ketegasan aparat berwajib akan terus saling
berhadapan. Seolah kekerasan dilawan dengan kekerasan. Secara lahiriah,
kekerasan memang perlu ditindak, tetapi tetap harus berada dalam koridor
hukum yang berlaku. Sementara, secara batiniah, perlu adanya
perlawanan dengan upaya untuk mengembalikan kesadaran keberagamaan pada
sisi esoteris, yakni kedalaman kalbu manusia dalam menangkap pesan-pesan
ilahiah. Dan, ini kita bisa menengok tentang sufisme.
Batiniah versus Lahiriah
Kumpulan
teroris lazimnya berpema- haman agama secara lahiriah. Mereka terhipnosis
oleh doktrin keagamaan yang lebih mementingkan aspek lahiriah atau harfi ah
dari ajaran agama. Ini akan menjadi semacam `api dalam sekam' yang akan
mudah tersulut manakala melihat perbedaan atau hal-hal yang dipandang
bertentangan dengan pemahaman mereka. Bila saat ini negeri kita dilihat
tengah `panen' radikalisme dan terorisme, sebenarnya kita perlu melihat
juga fakta lain.
Ya,
fakta bahwa negeri kita juga `panen' komunitas sufi . Indonesia boleh
dibilang surga sufi. Beragam aliran berkembang dengan berjuta-juta
pengikut.
Para pemerhati dan pelaku sufisme ini enggan bicara soal perbedaan mazhab
atau saling menyesatkan. Mereka lebih fokus memilih bercakap-cakap soal
cinta kasih sembari mencari titik-titik temu antarberagam keyakinan. Hal
ini mudah dipahami lantaran pengikut sufisme memang lebih mengedepankan
batin dalam mendekati Tuhan.
Dalam
pandangan sufistik, ketika seseorang mendalami dimensi batin agama, dia
akan `bertemu' dengan keyakinan-keyakinan lain. Dengan pemahaman isyari dan ta'wili itu, sufisme menjadi sangat toleran terhadap perbedaan
keyakinan karena sufisme lebih melihat pada dimensi batin agama. Begitulah,
kemudian sufisme melahirkan cara pandang yang inklusif.
Sementara,
kelompok-kelompok puritan-radikal fokusnya adalah pada hal-hal yang
lahiriah. Kewajiban melaksanakan hukum agama dipahami dalam bentuk yang
sangat lahiriah sehingga menghasilkan pikiran dan perilaku yang `kaku'.
Pemahaman keagamaan `distandardisasi' secara tekstual, tanpa hirau pada
hal-hal yang sifatnya batiniah. Karena itu, tidak heran mereka dengan
tegas menolak sufisme. Mereka beranggapan bahwa sufi sme sebagai bentuk
berlebihan dalam beragama. Bahkan, dalam ungkapan mereka, sufisme
dipandang sebagai bid'ah dan juga syirik. Fakta di lapangan menunjukkan
bagaimana kelompok-kelompok puritan ini kerap kali konflik dengan
masyarakat yang menjadi sasaran dakwah mereka.
Sejarah
Islam memang telah mengungkapkan betapa sufisme selalu berbenturan dengan
kelompok puritan dan radikal. Konflik berdarah-darah pun tak jarang
terjadi. Kelompok puritan dan radikal sangat antipati terhadap
sufisme.
Seturut itu, kelompok sufisme juga menentang kelompok puritan-radikal dengan
menganggapnya sebagai kelompok yang terlampau picik dalam memahami semesta
ajaran Islam. Ibnu Athaillah, seorang sufi kenamaan Mesir, menyebut Ibnu Taimiyah
sebagai `ulama lahiriah'. Kedua tokoh itu pernah melakukan dialog walau
akhirnya tetap pada pendirian masing-masing. Pandangan sufistik,
khususnya di negeri kita, tampaknya jarang terekspos di hadapan publik.
Padahal, sudah banyak pengikut sufisme atau minimal mereka yang punya cara
pandang sufistik. Potret yang mungkin tepat untuk menggambarkan
keadaan itu adalah pengikut sufi sme telah menjadi bagian dari silent majority di masyarakat
Muslim.
Bila
kita berhitung soal `risiko' dalam pemahaman keagamaan, sejatinya sufisme
sangat efektif untuk menandingi doktrin-doktrin di dalam Islam yang
bersifar ekstrem. Banyak pihak mengung- kapkan bahwa Islam masuk melalui
sufisme. Wali Songo ketika pertama kali memperkenalkan Islam lebih banyak
bicara soal nilai-nilai budi pekerti atau akhlak yang berbasiskan pada
nilai-nilai tasawuf.
Watak Sufistik
Kaum
sufi -kata Abul Husein al-Nuri- adalah manusia yang paling bijak di antara
seluruh umat manusia. Ketika banyak orang memburu karunia Tuhan, sang sufi
justru merindukan keintiman dengan Tuhan. Ketika banyak orang me nampilkan
kekuatannya, sang sufi menyendiri seraya berdoa, memohon kasih bagi mereka.
Ketika banyak orang berlomba untuk dipuji, sang sufi justru melahiriahkan
keburukan dirinya (malamatiyah).
Bagi
kaum sufi , tersinggung adalah sifat egosentris sedangkan sufi adalah
`tanpa ego'. Jadi, barang siapa yang kesal dan melakukan kekerasan, ia
mesti sadar bahwa identitas dirinya terpisah dari Tuhan. Lebih jauh, ia
malah orang yang menyekutukan yang lain dengan Tuhan, bukannya seorang yang
bertauhid. Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika
spiritual atau futuwwah, yakni
seperangkat kualitas positif dari kepribadian manusia, seperti kejujuran,
kesantunan, dan kejernihan pikiran. Etika ini tidak menyebabkan sakit hati,
membiarkan diri congkak, memandang orang lain hina, membuat hati jauh dari
kedengkian, tidak pernah merusak diri dengan perbuatan salah, serta berharap
dunia damai. Jelaslah, sufisme telah menunjukkan gerak aktivisme melawan
segala bentuk ekstremitas. Sufisme bergerak menandingi praktik-praktik
kepicikan pemahaman keagamaan yang berwujud pada peminggiran terhadap
kemanusiaan.
Walhasil,
watak sufisme perlu digalakkan kemasyarakat sebagai bagian dari transfer
pemahaman keagamaan yang toleran dan inklusif. Watak `lahiriah'
dalam pemahaman keagamaan kelompok puritan-radikal tidak lantas semata-mata
dilawan dengan `tindakan lahiriah', tetapi butuh penguatan pemahaman
batiniah. Maka, deradikalisasi sesungguhnya adalah mengembalikan
pemahaman keagamaan pada watak sufistik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar