|
KOMPAS,
02 Februari 2013
Tidak menunggu lama, begitu
inisial LHI—salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat—dinyatakan sebagai
tersangka dalam kasus suap daging impor, sebagian masyarakat dengan cepat
memastikan: sang pemilik nama terang di balik inisial tersebut adalah Luthfi
Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera.
Salah satu alasan yang
memudahkan masyarakat menebak pemilik nama tersebut tidak lain karena bau
tengik di sekitar impor daging telah menyeruak sejak awal tahun lalu. Bahkan,
sebuah majalah mingguan Ibu Kota menjadikan isu ini sebagai headline dalam
dua terbitan berbeda. Tidak tanggung-tanggung, kongkalikong daging impor ini
mereka sebut dengan istilah yang sangat mudah untuk diingat: ”daging
berjanggut”.
Kalau masyarakat tidak
menunggu lama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tak kalah sigapnya.
Berkelebat ibarat pasukan elite, tanpa perlu menunggu pergantian hari, KPK
langsung menerbitkan surat perintah penangkapan bagi Luthfi. Tidak sebatas
itu, sejak Rabu (30/1) malam, (bekas) Presiden Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) itu resmi berada dalam ”pelukan” KPK. Bagi Luthfi (mungkin juga PKS),
waktu ke depan akan jadi hari-hari panjang nan melelahkan.
Apabila diikuti, semua
tokoh politik penting yang menjalani proses hukum di KPK, kejadian yang
menimpa Luthfi menorehkan banyak rekor. Meskipun bukan jabatan tertinggi di
PKS, Luthfi merupakan orang nomor satu pertama di jajaran partai politik yang
dijadikan tersangka oleh KPK. Buktinya, sampai sejauh ini beberapa petinggi
partai politik lain yang telah sejak lama diindikasikan terbelit kasus
korupsi belum menunjukkan arah yang jelas.
Selain itu, Luthfi sendiri
juga mencatatkan rekor baru, yaitu dengan memilih langkah cepat pula
mengundurkan diri sebagai Presiden PKS. Sebuah tindakan yang sulit ditemukan
pada sejumlah politisi di DPR yang dijadikan sebagai tersangka. Apa pun
motivasinya, dalam batas-batas tertentu, pilihan Luthfi hanya bisa
disandingkan dengan langkah serupa yang dilakukan bekas Menteri Pemuda dan
Olahraga Andi Alifian Mallarangeng.
Tiga Penjelasan
Sebagai sebuah bangsa yang
telah lama berada dalam kepungan praktik koruptif, kejadian yang menimpa
Luthfi dapat dibaca dari tiga penjelasan. Pertama, praktik korupsi sepertinya
jadi bagian tak mungkin terpisahkan dari partai politik. Meski sebagian pihak
yang berkarier di partai politik menolak pandangan ini, banyak bentangan
empirik yang sulit dinafikan. Biasanya, makin kuat posisi politik di lembaga
politik, kian terbuka pula kesempatan mengembangkan perilaku koruptif.
Menilik beberapa kasus
yang melibatkan politisi, misalnya: Agelina Sondakh (Partai Demokrat), Wa Ode
Nurhayati (Partai Amanat Nasional), Zulkarnaen Djabar (Partai Golkar), Emir
Moeis (PDI Perjuangan), dan Muhammad Nazaruddin (Partai Demokrat),
membuktikan betapa masifnya praktik korupsi. Bahkan, sekiranya para penegak
hukum mau dan mampu bergerak lebih cepat, hampir dapat dipastikan bentangan
fakta korupsi yang terjadi jauh lebih menyeramkan.
Kondisi yang terjadi akan
semakin mengerikan sekiranya proses politik dibangun di atas tautan
kepentingan tripartit: pengusaha-penguasa-politisi. Terkait dengan ini,
menarik menyimak sindiran politisi muda PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko,
bahwa siklus hidup partai politik: didirikan oleh para ideolog, dimenangkan
oleh para politisi, dan dimapankan oleh kalangan pebisnis. Meskipun belum
tentu semua orang setuju dengan pendapat itu, kejadian yang menimpa Luthfi
tidak terlalu berlebihan bila diletakkan dalam sindiran itu.
Kedua, maraknya praktik
koruptif di tubuh partai politik juga dapat dijelaskan dari biaya politik
yang sangat mahal. Saat ini, nyaris tak terbantah, ”ideo-money” meruntuhkan
ideologi partai politik. Dukungan pemilih hampir selalu diraih dengan taburan
uang. Karena itu, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya menjadi pilihan tak
terelakkan. Bagi mereka yang berada di lembaga-lembaga negara, cara paling
cepat untuk menumpuk uang menatap agenda pemilihan umum adalah mengoptimalkan
kuasa politik dengan cara ”menggoreng” uang negara alias merampok uang
rakyat.
Merujuk beberapa skandal
korupsi/suap yang terjadi, memang sulit membedakan apakah langkah merampok
uang rakyat itu dilakukan untuk kepentingan partai politik atau untuk
kepentingan pribadi. Namun, yang dapat dipastikan, kepentingan pribadi para
politisi bertemu dengan kepentingan partai politik, yaitu sama-sama memerlukan
uang demi upaya meraih dukungan masyarakat. Karena itu, setiap skandal
korupsi yang melibatkan politisi terkuak ke permukaan, partai politik menjadi
tak bernyali memberikan hukuman berat.
Ketiga, tidak adanya garis
pemisahan yang tegas di antara mereka yang memegang kekuasaan eksekutif dan
legislatif. Penjelasan ketiga ini memang tidak mampu menjelaskan semua partai
politik yang ada di DPR. Namun, bagi partai politik yang berkelindan di
antara yang berada di eksekutif dan sekaligus di legislatif dengan mudah
dapat dijelaskan bahwa tanpa pemisahan akan sangat mudah untuk melakukan
penyimpangan.
Misalnya, dari beberapa
politisi yang dicontohkan terlibat kasus korupsi terdahulu, mayoritas berada
di barisan koalisi kabinet Presiden Yudhoyono. Dengan menjadi bagian koalisi,
batas-batas relasi konstitusional eksekutif-legislatif menjadi buyar. Oleh
karena itu, eksekutif dan legislatif yang berada di barisan koalisi jadi
mudah ”bergandengan tangan” dalam mengelola keuangan negara. Bahkan, bila apa
yang dilakukan KPK dalam dugaan kasus suap impor daging sapi ini kelak
terbukti di pengadilan, kejadian yang menimpa Luthfi menunjukkan betapa
buyarnya batas-batas itu di Kementerian Pertanian yang dipimpin oleh kader
PKS.
Berhenti di Luthfi?
Setelah pemberian status
tersangka dan penangkapan Luthfi dalam kasus impor daging sapi ini,
pertanyaan besar yang di sebagian kalangan yang peduli terhadap meruyaknya
praktik korupsi: apakah kasus ini akan berhenti sampai pada bekas Presiden
PKS ini saja? Mestinya tidak!
Dengan menggunakan logika
yang sangat sederhana, seharusnya penangkapan Luthfi hanya menjadi anak
tangga untuk membongkar lebih jauh siapa saja yang sesungguhnya terlibat
dalam kongkalikong impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Rasanya,
menjadi sulit diterima akal sehat jika orang luar (seperti Luthfi) bisa
terlibat terlalu jauh seandainya tidak ada pihak internal yang memfasilitasi.
Langkah membongkar sampai ke akar-akarnya itu penting dilakukan karena daging
menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak.
Tak sebatas itu saja,
pembongkaran secara tuntas perlu dilakukan agar kementerian dapat mengambil
pelajaran berharga dari kejadian ini. Apalagi, saat menjelang pelaksanaan
pemilihan umum seperti sekarang, kita tidak ingin lembaga-lembaga negara
menjadi bancakan partai politik untuk membeli dukungan pemilih. Jika tidak,
masyarakat hanya bisa berdoa, semoga suatu saat mereka yang ”bermain” dalam
bisnis daging impor diseruduk sapi impor. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar