|
KOMPAS,
02 Februari 2013
Faith
must be enforced by reason. When faith becomes blind, it dies. ( Mahatma
Gandhi )
Kata-kata itu saya
”potret” di sebuah sudut Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi, India, pada
Desember lalu. Saat itu saya diundang sebagai pembicara pada simposium internasional
Perhimpunan Pelajar Indonesia Sedunia.
Kata-kata
yang disampaikan seorang tokoh utama kemerdekaan India yang tidak sempat
berkuasa itu menegaskan, iman diukur berdasarkan seberapa besar
penghargaannya kepada nalar. Iman tanpa nalar sama dengan iman buta atau iman
yang membusuk mati.
Di
dalam Islam, seruan yang sama juga ada, ”Tidak ada agama kecuali bagi orang
yang berakal,” (hadist). Di dalam Al Quran juga ada tertera petunjuk,
”Katakanlah: ’apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?’ Maka apakah
kamu tidak memikirkan?” Begitupun dalam teologi Kristen, saya pernah
mendengar kata-kata hampir serupa, ”Fides quaerens intellectum (iman menuntut
nalar yang mendalam).”
Kenapa
kalimat-kalimat klasik di atas harus dimunculkan lagi? Tak lain karena ada
serangkaian kebijakan politik—terutama di daerah—yang didistorsi seolah- olah
inti agama atau panggilan iman meski kemudian diketahui kebijakan itu sangat
miskin argumentasi, daya nalar, dan kebaikan sosialnya. Atas dalih otonomi,
pemerintah daerah seolah dapat membuat kebijakan apa pun. Seolah-olah muncul
pembenaran, kebijakan tentang ”moral” dan ”iman” wajar bila tidak rasional
atau tidak partisipatif.
Kata-kata
itu sungguh mengandung kerancuan epistemologis akut. Islam selalu
mensyaratkan ”rasionalitas” (akal) sebagai syarat utama menjalankan syariat.
Syariat mana yang boleh membebankan kewajiban kepada orang tak waras?
Inilah
yang saya proyeksikan dalam tulisan ini ketika melihat kebijakan ”dilarang
ngangkang” Wali Kota Lhokseumawe, Aceh, beberapa waktu lalu. Kebijakan itu
memang tidak ada nalarnya, bahkan melawan nalar berkendaraan di jalanan
(karena lebih berisiko dan pihak asuransi tidak membayar klaim untuk
kecelakaan penumpang duduk menyamping). Akan tetapi, tidak ada kritik yang
bisa menembus pertimbangan pikir sang wali kota.
Di
luar motif pribadi wali kota (yang sifatnya sangat personal dan spekulatif),
kebijakan seperti ini hanya mungkin hadir di lingkungan fanatik dan miskin
nalar. Dalam agama, sikap fanatisme melahirkan kondisi ”seolah- olah”:
seolah-olah sakral, seolah- olah otentik religius, seolah-olah tanpa
kebijakan itu seluruh tatatan moral masyarakat akan ambruk”, dan hal-hal
hiperbolis lainnya.
Padahal,
fanatisme sering mengacaukan pesan orisinal agama sehingga agama ditafsir dan
dipraktikkan secara eksklusif dan totaliter. Kita bisa lihat, bukan saja pada
agama, fanatisme pada segala hal sesungguhnya sangat merusak. Seorang
simpatisan partai rela minum air bekas cucian kaki pemimpinnya, para
pendukung sepak bola tega menganiaya bahkan membunuh pendukung tim lawan.
Fanatisme
mengikis pelan-pelan rasio dari agama. Secara riil, agama yang diyakini
secara
Kebijakan
diskriminatif ini kerap digunakan untuk meningkatkan popularitas, tetapi di
sisi lain memperlihatkan sisi psikopatis akut sang pemimpinnya. Bayangkan, ia
rela menjadi sosok anti-demokrat setelah terpilih melalui pemilu yang
demokratis.
Fanatisme
membentuk delusi sehingga melahirkan kebijakan eksklusif dan menyakiti nalar.
Situasi ini jika berketerusan pun akan melahirkan masyarakat yang sakit
karena masyarakat dipaksa menerima sebuah produk hukum yang tidak boleh
dikritisi lagi. Alhasil, kebijakan pun menjadi sakral, menjadi ”agama” baru.
Dari
penelitian Komisi Nasional Perempuan, sejak pemberlakuan otonomi daerah
terdapat 282 peraturan daerah atau qanun diskriminatif yang dihasilkan. Perda
atau qanun itu dianggap diskriminatif karena diberlakukan hanya kepada kelas
sosial tertentu, yakni previlese bagi kelas sosial tertentu sekaligus
mengabaikan kelas sosial lain. Dari hasil penelitian itu diketahui, sebagian
besar perda diskriminatif tak dilahirkan melalui proses
demokratis-partisipatif.
Padahal,
di tingkat nasional sejumlah kebijakan telah dihasilkan—seperti UU No 25
Tahun 2004, PP No 8 Tahun 2008, dan Permendagri No 54 Tahun 2010—untuk
membantu pemerintah daerah menyusun rencana pembangunan dan kebijakan. Hal
itu agar jadi panduan pemerintah daerah saat menyusun rencana pembangunan
sehingga tidak terjebak pada arogansi dan autisme regulasi. Prinsip
demokrasi, kebersamaan, keadilan, kemandirian, keberlanjutan pembangunan,
keseimbangan kemajuan, dan kesatuan nasional harus diperhatikan ketika
bupati, wali kota, dan gubernur membuat kebijakan di tingkat lokal.
Kebijakan
”dilarang ngangkang” ini hanya jadi akrobat politik elite yang mengheningkan
publik dari kepentingan-kepentingan riilnya. Ini juga penanda, pemerintah
lokal telah mengalami disorientasi dalam mewujudkan amanat pembangunan.
Substansi
demokrasi elektoral seharusnya terpraksis ke dalam pembangunan dengan
mengupayakan kesejahteraan, keadilan, pencerdasan sosial, dan keadaban.
Sayangnya, itu hanya jadi retorika kosong. Imbasnya, lahirlah kebijakan
nyeleneh seperti dilarang ngangkang (Lhokseumawe), diwajibkan pakai rok (Aceh
Barat), dilarang memelihara jenggot (Aceh Selatan), dilarang keluar malam
(Tangerang).
Bagi
saya, itulah kejahatan moral terbesar ketika penguasa melupakan janji-janji
politiknya di saat kampanye dan mengubahnya dengan ”janji-janji politik” baru
di saat berkuasa. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar