Warga kota Los Angeles pada tahun 1980-an pernah merasa begitu marah
kepada orang tua dan wali kota-wali kota yang menjabat saat orangtua mereka
hidup.
Mereka menyesali mengapa pendahulu mereka setuju menghancurkan jalur
kereta listrik dan menggantinya dengan jalan tol. Sejarah mencatat, tahun
1930- 1970, Los Angeles (LA) sangat giat membangun jalan tol di seluruh
penjuru kota. Alhasil, Los Angeles menjadi kota yang penuh jalan tol. Dari
satu sudut kota ke sudut lainnya bisa dicapai dengan berkendaraan pribadi
di jalan tol.
Sebuah Pembelajaran
Peter Hall dalam bukunya, Cities
in Civilization (Phoenix Giant, 1999), menggambarkan Los Angeles
sebagai freeways city. Oleh Hall digambarkan bagaimana penduduk LA dulu
terpesona oleh dogma ”Impian Amerika” tentang rumah luas di pinggiran kota
dan mobil bermesin besar yang sanggup mengantar mereka ke mana saja.
Semua berawal dari pemikiran perancang kota LA sendiri. Gordon
Whitnall, sang kepala perencanaan kota LA, mengatakan, LA adalah kota
modern yang menyandarkan transportasinya pada kendaraan bermotor canggih.
Dengan alasan ekonomi dan rekayasa teknik, ia yakin kendaraan bermotor
mampu membuat kota ini tumbuh efisien. Untuk itulah, menurut Whitnall, LA
membutuhkan banyak jalan tol.
Dalam perkembangannya, semakin jalan tol dibangun semakin warga kota
LA terpacu menggunakan mobil pribadi sebagai sarana berpindah dari satu
tempat ke tempat lain. Kemacetan yang kemudian terjadi, karena jalan tol
tersebut penuh dengan kendaraan, dicarikan penyelesaiannya dengan membangun
jalan tol baru. Semua area kosong, jalur kereta listrik dan trem, taman,
dan pemakaman umum digusur dan dijadikan jalan tol. Ketika tak ada lagi
tanah tersisa, mereka membangun jalan tol layang.
Tahun 1950-1960 adalah masa puncak pembangunan tol. Biaya tol semakin
mahal
karena biaya konstruksi kian meningkat. Pada 1980, LA sudah punya
jaringan jalan bebas hambatan dalam kota sepanjang 2.505 kilometer!
Praktis, LA sudah tidak lagi berwujud sebuah kota, tetapi kumpulan jalan
bebas hambatan.
Kemudian LA tiba pada suatu titik di mana sudah tidak mungkin
membangun jalan tol lagi dan seluruh warga kota terjebak dalam kendaraan
pribadinya karena kemacetan yang mengular. Marah dalam keadaan terjebak
kemacetan berjam-jam, mereka kemudian menyesalkan mengapa orangtua mereka
tidak membangun jalur kereta dan trem, tapi malah membangun jalan tol.
Pada 1990, di tengah kesadaran perlunya jaringan kereta, mulailah
dibangun sebuah jaringan kereta sepanjang 35 km, menghubungkan LA dan Long
Beach. Ironisnya, jalur itu adalah jalur kereta listrik yang dulu pernah
ada dan kemudian dihancurkan tahun 1961 (Hall, 1999:841).
Siasat yang Menyesatkan
Saat ini Kota Jakarta juga ada pada titik ingin membangun jalan tol
baru di tengah kota. Inisiator pembangun jalan tol itu berkeyakinan jalan
tol mampu menyelesaikan masalah kemacetan yang mengakar di kota ini.
Sulitnya mendapat lahan kota untuk membangun jalan tol baru disiasati
dengan tol layang.
Betulkah siasat itu? Mari kita telaah satu per satu. Pertama,
pembangunan jalan tol baru di tengah kota berarti membangun pintu masuk dan
keluar baru. Kita lihat kini betapa pintu masuk dan keluar jalan tol dalam
kota yang sudah ada justru jadi sumber kemacetan. Awal dan akhir setiap
warga bertransportasi pasti rumah, kantor, sekolah, atau pusat perbelanjaan
yang letaknya bukan persis di sisi jalan tol. Jadi, jalan tol pasti
berujung pada jalan biasa yang kapasitasnya terbatas. Ketika semua warga
kota dipacu masuk jalan tol, pada akhirnya mereka akan terjebak di ”leher
botol” saat keluar.
Kedua, secara umum yang diperlukan warga kota dalam bertransportasi
sebenarnya adalah memindahkan tubuhnya, bukan kendaraan pribadinya. Dengan
mengingat hal dasar ini, tentu yang diperlukan di kota yang padat seperti
Jakarta adalah kereta, bus, dan monorel. Jakarta sudah memiliki modal dasar
itu dengan KRL Commuter Line, Transjakarta, dan beberapa moda lain seperti
yang sedang dalam penggodokan untuk segera terwujud.
Jalan tol tentu perlu, tetapi tidak untuk masuk langsung menghunjam
jantung kota sambil membawa puluhan ribu mobil pribadi. Jalan tol akan
lebih berfungsi bila dibangun antarkota atau melingkar melewati sebuah kota
untuk pengangkutan penumpang dari satu titik langsung ke titik lain.
Ketiga, secara estetika, pembangunan jalan tol layang akan
menghancurkan wajah kota. Ketika penulis mendapatkan data tentang rencana
pembangunan enam jalan tol layang di tengah kota tersebut, penulis cukup
terkejut betapa banyak ruas jalan yang akan terpotong dengan jalan layang
baru di atasnya.
Wajah beberapa ruas seperti Jalan Sudirman-Thamrin atau Jalan Rasuna
Said yang saat ini sudah tertata cukup baik akan rusak. Saat pembangunan
pasti debu beterbangan. Pada saat diroperasikan, bisa dibayangkan betapa
banyak polusi baru yang ditimbulkannya. Belum lagi kalau terjadi kemacetan
di tol itu. Kita akan melihat sebuah ular kemacetan yang bertumpuk-tumpuk
di tengah wajah kota.
Bahkan, pada ruas Pasar Minggu-Casablanca, jalan tol baru itu akan
berada tepat di samping Tugu Dirgantara, yang lebih kita kenal sebagai Tugu
Pancoran. Saat ini Tugu Pancoran sudah terjepit di antara jalan tol dan
jalan layang non-tol. Setengah badannya tenggelam.
Saat jalan tol baru yang digagas ini jadi, ia akan berada bersisian
dengan Tugu Pancoran. Bisa dibayangkan saat kita terjebak kemacetan di
jalan tol layang baru itu, lalu kita menolehkan kepala karena penat: kepala
Tugu Pancoran itu ada tepat di samping jendela mobil Anda.
Belajarlah dari Kesalahan
Itukah citra kota yang kita inginkan? Relakah kita melihat sebuah
tugu yang pernah menjadi kebanggaan kota kemudian semakin terjepit oleh kemacetan
yang mengular dan bertumpuk- tumpuk? Maukah kita melihat gambaran Kota
Jakarta di masa depan dengan semua warga kotanya terjebak dalam jalan tol
yang semakin banyak dan semakin menumpuk? Tak inginkah kita memiliki sebuah
kota yang beradab, yang sarana transportasi umumnya seperti bus dan kereta
menjadi sarana ampuh untuk bertransportasi, dan bukan jalan tol yang
menggurita?
LA telah mengajarkan kepada kita, pembangunan jalan tol di tengah
kota terus-menerus adalah kesalahan yang mengerikan. LA menunjukkan
keberadaan jalan tol dalam kota seperti candu yang mengisap kota untuk
terus membangun jalan tol lagi dan lagi sampai titik overdosis.
Kini semua kembali kepada warga Kota Jakarta: apakah ikhlas bila
nanti anak cucu warga kota ini menyesali keputusan orangtua mereka untuk
terus membangun enam jalan tol layang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar