Artikel
Khudori bejudul ”Ekonomi Rente Impor
Daging” (Kompas, 7/2) sungguh suatu analisis yang dapat menyesatkan
pikiran para pembacanya sehingga perlu dikritisi.
Pasalnya,
analisis bisnis daging impor tidak sesederhana seperti digambarkan dalam
artikel tersebut. Sebenarnya, impor daging sapi, menurut Permentan Nomor 50
Tahun 2011, hanya bagi pasar industri pengolahan daging dan daging
berkualitas bagi hotel, katering, dan restoran. Jadi tidak benar
seolah-olah daging impor tersebut masuk ke pasar umum.
Jika
dikaji lebih dalam, industri pengolahan ini hanya membeli daging-daging
berkualitas rendah, tetapi tentu dengan harga yang relatif murah bagi
industri ini. Sementara untuk daging-daging berkualitas harganya jauh lebih
mahal ketimbang daging lokal. Lebih-lebih bila yang dikehendaki bersertifikasi
halal.
Membandingkan
harga daging seharusnya tidak sembarangan. Maksudnya, harga daging di
Indonesia tidak bisa diperbandingkan dengan harga daging di India yang
masyarakatnya tidak mengonsumsi daging sapi dan negaranya pun belum
terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Demikian pula Malaysia dan
Jepang. Kedua negara ini pun belum terbebas dari PMK.
Mahalnya
harga daging di Indonesia sebenarnya merupakan insentif dari bebasnya
negeri ini terhadap penyakit PMK. Meskipun demikian, memang benar ada selisih
harga yang cukup signifikan. Namun, yang sangat berbahaya adalah pola
para pemburu rente yang memanfaatkan masuknya daging-daging dari negara
yang belum terbebas PMK yang selama ini selalu giat dipromosikan oleh para
pedagang daging dari India dan Brasil.
Para
pemburu rente mampu meyakinkan sementara pihak bahwa karut-marut swasembada
daging sapi saat ini bukan karena upaya peningkatan produksi daging sapi di
dalam negeri, tetapi justru disebabkan beberapa pasal dalam Undang-Undang
(UU) No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah
direvisi Mahkamah Konstitusi, yang melarang masuknya daging impor dari zona
negara yang belum bebas PMK.
Adapun
mengenai terjadinya ekonomi rente, menurut Khudori, disebabkan pemangkasan
kuota impor dari 35 persen pada tahun 2011 menjadi 15,5 persen pada 2012,
dan 13,4 persen di tahun 2013. Pemangkasan kuota tersebut sama artinya
memangkas kue importir dan pebisnis daging. Alhasil, Khudori menyimpulkan,
apakah pemangkasan ini by design agar kuota bisa diperjualbelikan?
Kesalahan
Persepsi
Kesimpulan
pernyataan ini sangat ”tendensius”. Pada kasus ini, penulis punya
persepsi lain. Benar pemangkasan tersebut adalah bagian dari rencana yang
tertuang dalam ”cetak biru swasembada daging”, yang dengan kata lain by design.
Pada
posisi ini harus dipahami, para pelaku bisnis, baik itu para pengusaha
penggemukan maupun pengelolaan daging sapi, segera membina dan menggunakan
produk bahan baku daging sapi ataupun sapi bakalan hasil produksi dalam
negeri. Tanpa kesadaran tersebut, sampai kapan pun negeri ini akan
bergantung pada bahan baku impor.
Para
pengusaha penggemukan sapi seharusnya melakukan kemitraan dengan peternakan
rakyat agar mendapatkan bakalan yang sesuai standar industri penggemukan
sapi potong. Demikian pula para pengusaha pengolahan daging seharusnya
melakukan pembinaan terhadap rumah potong hewan (RPH) agar dihasilkan
produk daging yang sesuai kebutuhan industrinya.
Artinya,
agro-industri sapi potong dari hulu sampai hilir dibina secara intensif
oleh pemangku kepentingan masing-masing. Misalnya, subsistem hulu,
khususnya ketersediaan bibit, merupakan domain pemerintah seperti diatur
dalam UU No 18 Tahun 2009. Realisasinya menuntut peran BUMN untuk
menyediakan bibit sapi, bukan bergerak di penggemukan sapi potong seperti
yang terjadi saat ini. Di subsistem budidaya diperlukan peran perusahaan
penggemukan dalam membina petani budidaya. Sementara di subsektor hilir
dilakukan pembinaan RPH oleh para pelaku bisnis pengolahan.
Kondisi
karut-marut perdagingan saat ini sebenarnya ekses dari kesalahan persepsi
mengenai hasil sensus pada Juni 2011. Dengan hasil itu, Menteri Pertanian
menyatakan kita sudah mencapai swasembada daging sapi.
Kesalahan
persepsi ini fatal akibatnya sebab berbeda dengan fakta. Sebenarnya keberadaan
sapi tersebut masih bersifat populasi potensial, belum siap potong. Sebab,
peternak di negeri ini masih memeliharanya sebagai rojo koyo, bukan sebagai
komoditas bisnis berskala ekonomi. Belum lagi infrastruktur yang tidak
kondusif dalam sistem logistik sapi potong sehingga biaya transportasi
menjadi mahal.
Dampak
negatif lanjutan yang serius dan perlu perhatian adalah terjadinya
depopulasi sapi perah. Di Jawa Barat saja telah terjadi penurunan populasi
sapi perah tidak kurang dari 20.000 ekor. Hal ini terutama disebabkan
tingginya harga pakan yang tidak diimbangi kenaikan harga susu sapi di satu
sisi dan di sisi lain tingginya harga daging yang diikuti kesulitan para
jagal memperoleh sapi potong.
Semua
ini sebenarnya ekses dari ekonomi rente impor daging sapi yang tidak
berpihak pada pembangunan sistem industri peternakan sapi potong rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar