SEPERTINYA `badai' yang
menerjang Partai Demokrat (PD) akan segera mereda. Pertikaian yang diduga
bakal memanaskan panggung rapat pimpinan nasional (rapimnas) tidak terjadi.
Meskipun tanpa kewenangan, Anas Urbaningrum tetap menjadi pucuk pimpinan
eksekutif partai segitiga Mercy.
Namun, surutnya badai tak berarti PD sudah
berada di jalur aman. Ibarat api dalam sekam, pertikaian masih menyisakan
`percik api' yang siap membakar Demokrat. Percik api pertikaian itu akan
sangat mudah disulut karena perpecahan di tubuh partai sejatinya memang
telah terjadi. `Diakuisisinya' kewenangan ketua partai (baca: Anas) oleh
ketua majelis tinggi partai (baca: SBY) merupakan sumber petaka perpecahan.
Perpecahan itu tak hanya menciptakan dua matahari kembar, tapi juga
menghasilkan dua kubu di tubuh PD.
Matahari kembar tercipta karena pada
dasarnya SBY tidak memiliki daya untuk memutus `nadi kuasa' Anas di tubuh
PD. Sebab, secara eksternal, hanya Anas yang memiliki legitimasi. Bagaimanapun
hanya dengan tanda tangan Anas anggota PD dapat mencalonkan diri untuk ikut
Pemilu 2014 di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan kekuatan itu, kubu Anas
memiliki senjata penting yang tidak dimiliki SBY yang hanya kuat pada ranah
internal PD.
Akibatnya, kondisi tersebut telah
menciptakan tarik ulur kepentingan yang luar biasa di antara kubu SBY dan
Anas. Secara kasatmata, setelah rapimnas, PD bisa saja terlihat kuat dari
luar, tapi sejatinya rapuh dari dalam. Kerapuhan itu akan semakin berimbas
kepada tingkat elektabilitas (keterpilihan dalam pemilu) PD yang telah
mencapai angka 8,3% berdasarkan survei Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC). Kondisi rapuh itu akan berujung
bencana bagi PD ketika menyongsong tahun politik 2013-2014 ini.
Posisi PD yang rapuh itu tidak saja karena
gagalnya Anas mengelola partai, tetapi juga disebabkan tidak matangnya SBY
membina kader. Kader PD terlalu banyak yang terlibat korupsi. Hal itu
menyebabkan SBY kesulitan mencari kader yang mampu memimpin PD. Miskinnya
kader membuat SBY memilih langkah tidak profesional. Presiden memilih untuk
merangkap jabatan sebagai `ketua partai'.
Tentu saja, pilihan itu akan berimbas pada
fokus kerja SBY. Tak hanya membenahi partai yang berada di ambang
kehancuran, SBY juga harus tetap mengelola negara yang menjadi kewajiban
konstitusionalnya. Bukan tidak mungkin pilihan untuk mengelola partai
sekaligus negara menjadi kealpaan dalam sejarah ketatanegaraan di Tanah
Air.
Dua
Kealpaan
Ketika SBY memilih untuk mengelola partai
sambil memimpin bahtera ne gara, maka tanpa disadari telah terjadi peru
bahan sistem pemerintahan. SBY secara tak langsung telah mengubah sistem
pemerintahan presidensial menjadi bergaya parlementer. Kondisi yang sama
pernah dilakukan Presiden Soekarno yang menata kabinetnya bak sistem
pemerintahan campuran ala Prancis, padahal pembentuk UUD 1945 menginginkan
sistem presidensial.
Dalam masa revolusi, pilihan Soekarno untuk
mengubah sistem pemerintahan bisa saja dibenarkan. Tapi tindakan SBY
mengaburkan sistem pemerintahan tentu jauh dari prinsip konstitusional yang
telah diatur dalam perubahan UUD 1945. Jamak dipahami, dalam sistem
presidensial terjadi pemisah an antara kekuasaan eksekutif dan legislatif
(Sri Soemantri, 2003).
Pemisahan kekuasaan tersebut tidak terjadi
dalam sistem pemerintahan parlementer. Keberhasilan partai menguasai kursi
parlemen berarti ketua partai memimpin pemerintahan. Kondisi sistem
pemerintahan parlementer itu terbaca ketika SBY memilih untuk memimpin PD
(yang merupakan partai mayoritas di parlemen). Tak ayal lagi telah terjadi
percampuran pengelolaan partai dan negara sekaligus di tangan satu orang
pemimpin.
Penulis berpendapat bahwa pilihan SBY itu
telah menciptakan dua kealpaan. Pertama, SBY telah mengingkari pilihan
konstitusi dalam menjalankan sistem pemerintahan. Para pendiri negara dan
pelaku perubahan UUD 1945 menyepakati untuk memilih presidensial sebagai
sistem pemerintahan (baca: naskah BPUPKI versi M Yamin dan AB Kusuma).
Sistem presidensial tidak menghendaki ketua partai politik mayoritas di parlemen
memimpin pemerintahan. Pola tersebut diharapkan menciptakan mekanisme
pengawasan parlemen (legislatif ) terhadap eksekutif. Pilihan SBY memimpin
partai tentu menimbulkan kekaburan konstitusionalitas terhadap model sistem
pemerintahan yang dijalankan berdasarkan UUD 1945. Bukan tidak mungkin,
langkah SBY di anggap melanggar kon stitusi.
Kealpaan kedua, SBY telah menyebabkan
kabinet gamang. Apa lagi SBY telah memerintahkan para menteri kabinetnya untuk
berkonsentrasi pada kinerja pemerintahan. Setiap menteri diminta tidak
melakukan langkah-langkah partai meskipun tahun politik Pemilu 2014 sudah
dekat. Para menteri tentu saja bimbang karena pemberi komando telah
mengingkari perintahnya sendiri. Bagi para menteri yang partainya berbeda
dengan SBY, kealpaan ini menjadi kesempatan untuk mengabaikan perintah
Presiden. Jika kabinet tidak lagi mengurus negara dan rakyatnya, sulit bagi
SBY menampik tuduhan bahwa Indonesia merupakan `negara autopilot'.
Partai
atau Negara
Saat ini, pilihan SBY hanya dua. Tetap
berkonsentrasi membenahi partai atau fokus mengelola negara. Jika hendak
mengelola partai, SBY harus berani mundur dari jabatan presiden. Sebab,
tidak wajar dalam sistem presidensial apabila ketua partai juga merangkap
mengelola negara. Manuel L Quezon (1878-1944) menyederhanakannya dengan
ungkapan `bahwa pengabdian terhadap partai berakhir ketika pengabdian pada
negara dimulai'.
Ringkasnya, SBY tidak diperkenankan
mengabaikan negara demi menyelamatkan partainya meskipun sedang mengalami
keguncangan. Jika dirasa penyelamatan partai perlu tapi tak mau
meninggalkan jabatan presiden, SBY harus berani mengganti Anas melalui
kongres luar biasa (KLB). Namun sayangnya, kebimbangan selalu menjadi
langkah politik SBY. Acap kali terlihat bahwa SBY hanya dapat tegas sesaat.
Selebihnya, mantan jenderal TNI itu sering terperangkap dalam kebimbangan
pilihan politiknya sendiri.
Jika kebimbangan itu terus terjadi, bukan
tidak mungkin kerapuhan di tubuh PD akan menjadi kehancuran bagi sistem
presidensial. Bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi kehancuran bagi
Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar