PKS dan
Peluang yang Hilang
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik The Habibie Center
dan Fellow Paramadina Graduate School of Political Communication
|
|
TEMPO.CO,
08 Februari 2013
Aroma busuk korupsi kembali tercium dari partai politik
Indonesia. Kali ini bau busuk itu berasal dari Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Presiden PKS Luthfi
Hasan Ishaaq sebagai tersangka atas dugaan suap impor daging sapi.
Penetapan status tersangka tersebut tentu
sangat merugikan citra partai dakwah tersebut di mata publik menjelang
pemilu legislatif 2014. Apalagi status tersangka diberikan kepada pejabat
di level tertinggi kepengurusan partai. Selama ini PKS selalu membanggakan
diri sebagai partai bersih, karena tidak ada satu pun kader mereka yang
tersangkut kasus korupsi. Namun citra itu kini tercoreng dengan penetapan
Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap impor daging
sapi. Padahal tidak sedikit publik berharap PKS tampil konsisten sebagai
partai bersih, agar publik memiliki alternatif pilihan menjanjikan dalam
pemilu legislatif 2014 di saat partai-partai lain digerogoti persoalan
korupsi.
Peluang
Penetapan status tersangka terhadap Luthfi
Hasan Ishaaq tentu merupakan musibah politik mahabesar bagi PKS. Ketika
Partai Demokrat selaku partai penguasa mengalami penurunan kepercayaan dari
publik akibat perilaku korup elite-elite mereka, PKS sesungguhnya memiliki
peluang untuk meraih dukungan suara dalam pemilu 2014. Situasi kurang
menguntungkan di Partai Demokrat saat ini, akibat terungkapnya perilaku
korup elite-elite mereka, dapat dimanfaatkan PKS untuk mengukuhkan positioning politik sebagai partai
bersih.
Dengan cara itu, diharapkan PKS dapat
“mencuri” simpati dan dukungan dari para pemilih Partai Demokrat pada
pemilu yang lalu. Fakta jika belum ada satu pun kader PKS yang terjerat
kasus korupsi akan menjadi modal berharga bagi PKS untuk melakukan positioning
politik tersebut. Di dunia marketing,
positioning didefinisikan sebagai seluruh aktivitas yang bertujuan
menanamkan kesan di benak para konsumen, agar mereka dapat melakukan
diferensiasi antara satu produk dan produk lain. Produk yang dihasilkan
akan direkam dalam bentuk citra (image)
yang terdapat pada sistem kognitif para konsumen (Firmanzah, 2007: 157).
Jika konsep ini diadopsi ke dalam konteks
persaingan politik, partai/kandidat--sebagai sebuah produk
politik--dituntut untuk mampu menanamkan image politik tertentu secara kuat di dalam benak pemilih.
Untuk itu, ia harus memiliki sesuatu yang berbeda dengan produk-produk
politik lain. Keseragaman hanya akan menyulitkan pemilih untuk melakukan
identifikasi. Mereka akan merasa tidak ada perbedaan signifikan antara satu
produk politik dan produk politik lain.
Permasalahan mendasar partai dalam melakukan
positioning politik adalah
penciptaan gambaran konsisten yang mengerucut pada satu tema tertentu. Tema
itu bisa terkait dengan program kerja partai, isu politik, dan pemimpin
partai. Masing-masing partai harus berusaha menjadi dominan dan menguasai
benak pemilih. Posisi kuat dalam benak pemilih akan membuat partai
bersangkutan selalu diingat dan dijadikan referensi utama ketika mereka
dihadapkan pada serangkaian pilihan politik (Firmanzah, 2007: 158-159).
Untuk itu, dalam melakukan positioning
politik harus diperhatikan pula konteks kondisi riil di masyarakat. Apabila
hal itu diabaikan, niscaya positioning
politik yang dilakukan tidak akan memperoleh respons menggembirakan dari
masyarakat. Terkait dengan hal itu, mengingat penurunan kepercayaan publik
terhadap Partai Demokrat selaku partai penguasa dipicu oleh keterlibatan
sejumlah elite partai bersangkutan dalam berbagai kasus korupsi, merupakan
sebuah pilihan strategis bila kemudian PKS memposisikan diri mereka sebagai
partai antikorupsi.
Dengan mengambil positioning politik ini,
pemilih akan melihat PKS sebagai antitesis dari partai penguasa yang
cenderung korup. Ketika suatu masalah korupsi mencuat ke permukaan, publik
akan menjadikan PKS sebagai bagian dari pemecahan masalah. Bahkan bukan
tidak mungkin hal itu akan berujung pada keuntungan elektoral dalam pemilu
2014.
Problem
Konsistensi
Perlu diingat, positioning politik tidak dapat dibangun secara instan dalam
jangka pendek. Menanamkan image positif di dalam benak pemilih membutuhkan
konsistensi jangka panjang. Hal itu karena publik perlu melakukan proses
pembelajaran untuk dapat memahami posisi ideologis partai-partai tersebut.
Dalam konteks PKS, penanaman image politik itu telah lama dilakukan sejak
partai ini masih bernama Partai Keadilan.
Namun realitas politik hari ini, berupa
penetapan status tersangka terhadap Luthfi Hasan Ishaaq, menunjukkan adanya
problem konsistensi pada diri PKS dalam usaha mereka mengukuhkan
positioning politik sebagai partai bersih. Alih-alih menjadi antitesis dari
partai penguasa yang cenderung korup, PKS kini justru mulai tertular virus
korupsi tersebut.
Konsistensi untuk menghindarkan diri dari
jerat korupsi ternyata menjadi problem tersendiri bagi PKS untuk
mengukuhkan positioning politik mereka sebagai partai bersih. Partai dakwah
ini lupa akan satu hal penting, bahwa kesediaan pemilih untuk mengikatkan
diri pada satu partai tertentu akan terjadi apabila partai bersangkutan
terbukti mampu menjaga konsistensi perjuangan mereka selama ini, termasuk
dalam pemberantasan korupsi.
Ketidakmampuan menjaga konsistensi itu akan
membuat pemilih berpikir seribu kali untuk mengikatkan diri pada partai
tersebut. Kegagalan PKS menjaga konsistensi sebagai partai bersih akan
terekam dalam memori kolektif publik. Lebih dari itu, reputasi yang telah
memburuk akan sulit dipulihkan. Peluang untuk dapat “mencuri” simpati dan
dukungan dari para pemilih Partai Demokrat pada pemilu yang lalu pun kini
tinggal mimpi semata. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar