Tanggal 9 Februari 2013 ini
diperingati Hari Pers Nasional (HPN). HPN tahun ini mengambil tema “Pers
Bermutu, Bangsa Maju”. Kemerdekaan dan kebebasan pers adalah syarat mutlak
bagi keberlangsungan demokrasi di suatu negara. Era kemerdekaan pers
dinikmati sejak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers)
dikeluarkan. Berarti sudah hampir 13 tahun menjadi bagian dari kehidupan
berdemokrasi di Indonesia. Bahkan, sering dikatakan, perslah yang pertama
kali memeroleh buah reformasi berupa kebebasan.
Ketika kebebasan sudah tidak menjadi masalah, justru yang dituntut adalah
tanggung jawab. Pers dituntut memberikan peran konstruktifnya di tengah
situasi masyarakat dan kehidupan berbangsa yang menghadapi banyak
masalah. Pers diharapkan menjadi dinamisator, sekaligus pencerah. Bukan
sebaliknya, menjadi provokator yang memperkeruh keadaan.
UU Pers menegaskan bahwa pers diamanatkan memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui, menegakkan demokrasi, mengembangkan pendapat umum, menyampaikan
informasi yang benar dan akurat, memperjuangkan keadilan dan kebenaran
serta supremasi hukum. Di era reformasi ini pers banyak mengungkap kasus
KKN oleh elite, pejabat, dan pebisnis yang sangat merugikan rakyat. Pers
juga bersikap kritis, memperjuangkan keadilan, mengungkapkan fakta-fakta yang
menjadi hak publik, misalnya kasus KPK vs Polri, kasus Prita, kasus Minah
hingga Rasyid Hatta, kasus Century, cek pelawat, kasus Wisma Atlet,
Hambalang, Kongkalikong BUMN, dan suap impor daging.
Dalam konteks zaman serbakorup yang dihadapi bangsa ini, memanggil pers
untuk tersemangati berada di garda depan, memerankan diri sebagai bagian
dari civil society yang ikut
mengawal, membangun konstruksi kehidupan bernegara dan berpemerintahan yang
baik, transparan, dan akuntabel. Sangatlah besar tanggung jawab moral itu:
betapa determinasi kuat pemberitaan media akan menjaga agar penegakan hukum
tidak mengalami kemelempeman. Dengan menjalankan fungsi pengawasan
(kontrol), pers dapat menjadi kontrol terhadap kekuatan-kekuatan
tersembunyi jaringan-jaringan yang biasa menyabotase kepentingan rakyat.
Kekuatan tersembunyi ini dapat berupa jaringan mafia jabatan, mafia
peradilan, mafia pajak, mafia hukum, atau jaringan kekuatan deal-deal
politik yang hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Sekarang ini, di tengah masyarakat yang mengalami depolitisasi dan alergi
terhadap partai politik, media telah mengambil peranan yang sangat penting
dalam mengartikulasikan keresahan rakyat. Ini dapat dilihat dari sebuah
survei yang pernah dilakukan oleh lembaga Partisipasi Indonesia (PI), yang
menemukan bahwa media massa menempati tempat pertama sebagai institusi yang
dipercaya rakyat untuk menyampaikan aspirasinya. Karena itulah posisi
kritis media menjadi sangat penting.
Keberadaan pers sebagai salah satu sumber informasi masyarakat diharapkan
dapat menjadi alat penyokong terlaksananya tata pemerintahan yang baik
(transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi). Karena melalui perslah,
peristiwa, realitas, opini, dan dinamika yang terjadi dapat disajikan dalam
bentuk informasi kepada masyarakat. Prinsip-prinsip tata pemerintahan yang
baik sangat memerlukan pengawalan dan pengawasan media.
Sebagai contoh adalah prinsip transparansi dan bertanggung jawab. Prinsip
transparan menghendaki adanya keterbukaan informasi, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi materiil
mengenai pelaksanaan pemerintahan. Prinsip bertanggung jawab menghendaki
adanya pertanggungjawaban pelaksana pemerintahan atas segala kebijakan yang
telah diambil dan dilaksanakan, baik pertanggungjawaban secara vertikal
kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun pertanggungjawaban horizontal kepada
rakyat. Transparansi dan pertanggungjawaban akan terpenuhi apabila ada
pengawasan yang objektif dari media. Ini karena dengan peran pers,
masyarakat akan mendapatkan informasi tentang proses jalannya pemerintahan.
Peran dan fungsi media dalam rangka mendorong terciptanya pemerintahan yang
baik dan bersih pada dasarnya mempunyai landasan hukum yang jelas. Landasan
ini tertuang dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 1 di antara
fungsi media adalah sebagai sarana informasi dan kontrol sosial. Pasal 4
menjamin kebebasan untuk mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi.
Dalam Pasal 6 juga disebutkan bahwa media harus bisa menjalankan fungsi
kontrol perilaku, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang menjadi
keprihatinan publik.
Bersandar pada ketentuan itu, media harus lebih inovatif dan berani
menyeruakkan dirinya. Seperti dikemukakan pakar media politik dari Harvard
University Prof Susan J Pharr (1996), para strange-outsider (segenap orang-orang luar) itu mempunyai
karakter utama berupa posisi sosial yang inkonsisten terkait hubungannya
dengan tata kekuasaan, mereka kadang memuji, menghibur, menjahati,
menyindir, membujuk, atau menakut-nakuti.
Dengan adanya peran pers sebagai sebuah mekanisme pengawasan terhadap
pemerintah, jika terjadi kesalahan pada pemerintah, pers juga mampu
menggerakkan massa untuk dapat melakukan perubahan. Ini karena pada
dasarnya, menurut Coyne, pers memiliki dua fungsi penting, yakni pers dapat
memengaruhi pemerintah dalam mengambil keputusan akibat transparansi pers
kepada khalayaknya. Selain itu, pers dapat mempercepat perubahan sosial
ataupun institusi pada masyarakat, baik secara drastis ataupun
berangsur-angsur. (Coyne &
Leeson: 209).
Perdebatan tentang pers yang partisan, kontroversi mengenai pemilik modal
yang terafiliasi ke kekuatan politik tertentu, serta perang kepentingan
lewat rivalitas industri media, kita lihat sebagai bagian dari dinamika
zaman. Di tengah kondisi demikian, pikiran-pikiran waras tentang tugas suci
pers tetap perlu diketengahkan. Tetaplah sangat penting diteteskan oase tentang kebebasan dan
kemerdekaan pers sebagai bagian dari demokrasi untuk menciptakan pencerahan
bagi bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar