Tulisan
Jakob Sumardjo, ”Negara Strukturalis” (Kompas, Sabtu, 9 Februari 2013),
menarik perhatian saya. Saya tidak menyanggah, tetapi ingin melengkapi
potret negara dan masyarakat kita yang wajahnya diperlihatkan Jakob
Sumardjo.
Kita perlu
memahami, bagaimanapun, sebuah negara adalah sebuah struktur besar yang di
dalamnya ada struktur-struktur bawahan yang juga membentuk susunan
struktural. Memang seharusnya demikian. Ada perangkat struktur nasional
yang di bawahnya ada sejumlah struktur daerah yang juga di bawahnya
terdapat struktur-struktur yang lebih kecil. Di samping struktur ”resmi”,
ada sejumlah besar struktur yang terbentuk sebagai organisasi
nonpemerintah.
Struktur-struktur
itu tak dapat dihapus dari pikiran kita sebagai warga masyarakat, baik
struktur besar maupun struktur bawahannya. Itu merupakan kesadaran kolektif
yang terjadi pada setiap masyarakat dan kebudayaannya. Kita sadar ada
pemerintah ”di atas” kita, yang diharapkan menyelesaikan berbagai
permasalahan di masyarakat kita.
Lanjutan
Struktur Kerajaan
Merujuk
sejarawan Perancis, Fernand Braudel, dalam bukunya, A History of
Civilizations (1995), apa yang dikemukakan Jakob Sumardjo (JS) adalah
mentalité atau saya sebut saja ”inti budaya”, sesuatu yang sudah mengakar
dalam suatu kebudayaan. Mentalité, menurut Braudel, tidak akan mudah
hilang, bahkan dapat bertahan berabad- abad. Braudel menggambarkannya
sebagai ”struktur bawah” dalam sejarah peradaban. Rentetan peristiwa
membentuk sejarah pada struktur permukaan sehingga dapat dilihat,
dirasakan, dan bergerak dengan cepat.
Namun,
sejarah mentalité berjalan sangat lambat. Profesor Resink (almarhum), Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pernah mengemukakan, Indonesia
punya UUD dan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai negara modern.
Namun, struktur masyarakatnya masih seperti kerajaan.
Perubahan
dari kerajaan ke negara berkonstitusi berjalan cepat. Namun, mentalité
kerajaan, pertanian, dan maritim tidak berubah dan masih tersimpan kukuh
dalam masyarakat kita. Meski kerajaan dalam arti politik sudah tiada, cara
berpikir warga kita masih tetap mengacu pada masyarakat yang beraja-raja.
Reformasi
1998 bertujuan mendekonstruksi struktur pemerintah pusat yang terlalu
dominan pada zaman Orde Baru. Namun, hasilnya adalah otonomi daerah yang
terlalu memperkuat struktur pemerintahan daerah, khususnya kabupaten dan
kota. Bahkan, pemerintah pusat sering kali tak berdaya menghadapi kekuatan
struktur bawahannya.
Ditinjau
dari teori mentalité kita dapat memahami. Di zaman kerajaan (di Nusantara
ataupun di Eropa) otonomi membuat para bupati menjadi raja-raja kecil.
Mereka harus memberikan upeti kepada raja besar. Namun, raja besar tidak
berdaya (atau membiarkan) dan hanya melihat raja kecil menekan rakyatnya.
Meski tidak sepenuhnya sama, suasana ini masih hadir dan terlihat pada masa
pascareformasi.
Reformasi
bercita-cita mengembangkan suasana demokratis. Intinya ”sama rata sama
rasa” dan ”kebebasan berekspresi”. Meskipun betul JS melihat masyarakat
kita terkungkung struktur, sekarang mereka berani melakukan kritik kepada
pemerintah. Juga kegiatan swadaya masyarakat sudah terlihat. Ini hikmah
reformasi, berkat praktik sama rata sama rasa dan kebebasan berekspresi
meskipun masih dalam proses belajar. Setidaknya keadaan ini telah berhasil mencegah
tindakan sebagian pejabat berbuat sewenang-wenang.
Reformasi
telah melahirkan kebebasan berkelompok berekspresi dalam berbagai ranah
politik dan sosial, termasuk berunjuk rasa. Namun, pengelompokan dalam
wujud organisasi massa atau partai politik menjadi bukan sekadar wahana
untuk berekspresi, melainkan makin terlihat menjadi wahana untuk
menunjukkan kekuatan dan menunjukkan kekuasaan.
Karena
itu, terbentuklah struktur-stuktur baru yang—menurut Michel
Foucault—menjadi alat untuk mengembangkan daya kuasa melalui wacana.
Kemampuan verbal dan pemanfaatan media penyalurnya, kadang-kadang dengan
dukungan kekuatan ekonomi, menjadi andalan untuk menang dalam ”percaturan
kekuasaan”.
Struktur
baru ini berisi campuran antara berbagai unsur, baik eksekutif, legislatif,
yudikatif, partai politik, organisasi massa, pengusaha besar, maupun LSM.
Terjadi tumpang tindih struktur ”resmi” dan ”tidak resmi”. Struktur ini
membentuk elite yang kini berada di atas. Meski setiap struktur di dalamnya
mungkin kuat, sebagai suatu kumpulan struktur mereka jelas sangat rapuh
karena tak berhenti berseteru dan bersaing. Saya menyebutnya ”elite
politik”.
Keadaan
struktur ini lebih berbahaya bagi masa depan negara kita daripada struktur
negara yang digambarkan JS. Rakyat yang berada di bawah struktur ini,
dengan mentalité-nya yang ”menunggu bantuan pemerintah”, makin tidak
tersentuh.
Akhirnya,
saya ingin menambahkan bahwa dalam struktur masyarakat kita ada yang
disebut-sebut sebagai ”kelas menengah”. Meski tolok ukurnya dalam bidang
ekonomi, seperti penghasilan yang cukup, kemampuan memiliki kartu kredit,
mampu mengangsur rumah atau mobil, berekreasi (ke luar negeri), lapisan ini
nyata telah terbentuk. Mereka dipandang sebagai salah satu pendorong
pertumbuhan ekonomi karena daya belinya yang makin tinggi.
Struktur
yang Rapuh
Merujuk
pada Bourdieu (Raisons pratiques. Sur
la théorie de l’action, 1994), mereka ini dapat dikatakan memiliki
”modal ekonomi”. Mereka juga punya ”modal sosial” berkat kemungkinannya
memasuki jejaring kelas di atasnya, yakni elite politik (dan elite ekonomi).
Sayangnya, ke dalam ”kelas menengah” ini kita belum dapat memasukkan mereka
yang punya ”modal kultural”, seperti para seniman, budayawan, cendekiawan,
dan ilmuwan. Saya melihat lapisan ini masih belum dapat berperan secara
semestinya.
Artinya,
pengaruh mereka dalam percaturan kekuasaan hampir tak ada. Bahkan, kita
menyaksikan sebagian mereka telah terkooptasi dan hanyut ke dalam pusaran
struktur elite politik. Mereka yang belum terbawa tak jarang memberikan
kritik dan saran kepada elite politik melalui berbagai cara, tetapi sering
kali tak berpengaruh pada penyelesaian percaturan kekuasaan. Yang menarik
ialah mereka justru tak membentuk struktur yang jelas karena sifatnya yang
bebas.
Kesimpulannya,
struktur yang berat itu saat ini justru tidak kokoh, tapi rapuh karena di
dalamnya terdapat berbagai struktur bawahan yang saling berseteru untuk
memiliki kekuasaan. Padahal, kita butuh struktur negara yang kuat.
Perseteruan inilah yang sebenarnya melemahkan struktur yang disebut
”negara” yang oleh rakyat selalu diharapkan sebagai ”penyelamat”. Inilah
menurut saya masalah negara kita dewasa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar