Dalam
persepsi masyarakat, di Indonesia terdapat beberapa partai politik yang
mempunyai semangat dan agenda keislaman, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, dan
Partai Amanat Nasional. Sekalipun mengatakan dirinya sebagai partai
terbuka, dalam persepsi masyarakat mereka tetap dipandang sebagai partai
agama (Islam).
Karena
mengedepankan simbol, slogan, dan emosi keagamaan, umat Islam akan mudah
bersimpati dengan alasan keagamaan. Meskipun demikian, identitas dan
afiliasi keagamaan ini juga menjadi beban dan senjata makan tuan ketika
elite pengurusnya dianggap melanggar dan melecehkan ajaran agama. Karena
itu, ketika partai agama, departemen agama, atau ormas agama dinyatakan
korup, masyarakat akan menghujat dan marah dua kali lipat daripada ketika
korupsi itu dilakukan aktor lain yang tidak mengusung simbol-simbol agama.
Masyarakat
Indonesia dikenal memiliki semangat beragama tinggi sehingga sangat logis
kalau di sini bermunculan parpol yang memiliki agenda keagamaan. Bukankah
perjuangan menegakkan nilai-nilai agama perlu kekuasaan dan panggung
politik? Dalam negara Pancasila yang berketuhanan dan menjunjung tinggi
demokrasi, apa salahnya mendirikan parpol agama? Argumen logis ini ternyata
tidak mulus ketika diimplementasikan dalam realitas politik yang serba
gaduh (noisy), sarat dengan kompetisi dan intrik yang menyeret pada wilayah
abu-abu. Batas yang tidak lagi jelas antara benar dan salah, antara halal
dan haram, mengingat permainan politik mudah tergelincir pada pertarungan
kekuasaan dan kemenangan dengan mengalahkan prinsip etika dan nurani.
Pada tahun
1970-an, almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid) pernah melontarkan gagasan
”Islam-Yes, Partai Islam-No?” berangkat dari hasil bacaan sosialnya bahwa
waktu itu partai Islam yang ada berpretensi dan mengklaim dirinya sebagai
satu-satunya wadah bagi penyaluran aspirasi politik umat Islam. Umat Islam
mesti memilih partai Islam. Kalau tidak, komitmen keislamannya
dipertanyakan. Sementara Cak Nur melihat bahwa mayoritas penduduk Indonesia
itu Muslim dan tidak realistis hanya terwadahi dalam satu partai agama.
Lebih dari
itu, dia juga melihat banyak orang Islam yang memiliki komitmen keislaman
tinggi, integritas baik, tetapi lebih merasa nyaman berada di luar partai
Islam. Agar rumah dan kendaraan politik umat Islam lebih banyak pilihan dan
wajah Islam lebih inklusif, Cak Nur melontarkan gagasan di atas, ”Islam-Yes,
Partai Islam-No?”
Dukungan
Merosot
Lontaran
pemikiran Cak Nur yang waktu itu mendapatkan kritik dan kecaman dari ulama
dan politisi Muslim, dengan berjalannya waktu, gagasan tersebut memperoleh
pembenaran. Beberapa parpol yang jelas-jelas mengandalkan dukungan suara
umat Islam menyatakan dirinya sebagai partai terbuka. Hasil survei
menunjukkan bahwa parpol yang mengusung simbol dan sentimen keagamaan
suaranya semakin mengecil. Fenomena ini juga terjadi pada majalah dan surat
kabar yang secara eksplisit menyebut dirinya sebagai media Islam. Apakah
merosotnya dukungan partai keagamaan juga menunjukkan merosotnya gairah
keagamaan masyarakat? Saya yakin tidak ada korelasi positif antara
keduanya.
Kekalahan
partai agama (Islam) dalam panggung politik nasional setidaknya
mengindikasikan tiga hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Pertama, dalam
masyarakat Indonesia yang demikian plural dan negara menjamin kebebasan
hidup beragama, mungkin saja yang lebih tepat adalah partai terbuka,
inklusif, tanpa harus membatasi dirinya secara eksklusif berdasarkan
ideologi agama mengingat masyarakatnya sudah religius.
Kedua,
suka atau tidak suka, sekularisasi sistem politik di Indonesia semakin
menguat, yaitu politik yang berdasarkan argumentasi dan wacana rasional
berdasarkan konstitusi sebagai negara kebangsaan, bukannya negara agama.
Ruang publik diatur konstitusi dan undang-undang negara, bukan institusi
agama. Agama tumbuh dan bergerak pada wilayah individu dan masyarakat yang
diwadahi oleh ormas, tetapi tidak mengatur negara.
Ketiga,
partai keagamaan selama ini tidak mampu menampilkan kader-kader dan sosok
negarawan dengan visi dan programnya yang unggul dan terbukti mampu
menyelesaikan tantangan besar bangsa serta dirasakan langsung oleh rakyat
banyak.
Kaji Kembali
Eksistensi dan Format
Ketiga
sinyalemen di atas mendorong kita berpikir ulang untuk menimbang eksistensi
dan format parpol yang berciri keagamaan yang secara sadar ingin mencari
dukungan massa dengan membangkitkan emosi agama. Di negara mana pun, parpol
pasti mencari dukungan massa, dan di Indonesia tokoh dan emosi agama masih
dianggap efektif sebagai medium mobilisasi. Namun, perlu diingat, kejatuhan
parpol agama akan membawa dampak bagi jatuhnya citra agama dan membuat umat
kecewa dan marah terhadap parpol yang dinilai telah mengeksploitasi agama
untuk kepentingan kekuasaan. Lebih dari itu, jika parpol agama kehilangan
simpati rakyat, secara tidak langsung telah memperteguh proses sekularisasi
sistem politik di Indonesia.
Pengalaman
dan cerita sukses partai AKP di Turki cukup menarik dikaji. AKP secara
formal adalah partai sekuler, tidak menonjolkan simbol-simbol agama, tetapi
masyarakat dan politisi Turki paham betul bahwa AKP sangat agamis, baik
tokohnya maupun program-programnya. Islam lebih ditonjolkan pada
nilai-nilai substansi dan fungsinya untuk melayani masyarakat dan memajukan
bangsa, yang hasil dan prestasinya sangat nyata sehingga mengalahkan parpol
sekuler yang anti-agama.
Di luar
lembaga kepartaian, wadah untuk memperjuangkan agama di Indonesia sangat
terbuka lebar dan kemajuannya sangat impresif. Keberadaan dan kemajuan
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sekadar contoh, merupakan ormas keagamaan
yang sangat kuat akar historisnya dan juga pengaruh politiknya. Islam dan
perjuangan politik tidak dapat dipisahkan. Namun, format, eksistensi, dan
karakter parpol yang berciri agama menarik dikaji kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar