Ketika terjadi bencana banjir atau
gempa bumi, baik rakyat yang menjadi korban maupun reporter media massa
selalu bertanya: apakah bantuan pemerintah sudah datang? Bahkan, para
intelektual dan pekerja seni pun punya pikiran sama. Mengapa dana
pemerintah untuk kegiatan penelitian terlalu minim?
Mana bantuan pemerintah untuk grup
teater kami? Mana gedung kesenian yang representatif untuk kota kami?
Alamat kesalahan selalu kepada presiden dan para menterinya, gubernur,
bupati, wali kota, dan lurah.
Semua itu menunjukkan bahwa
struktur negara berdampak total pada perilaku individu dan kelompok.
Pandangan berat sebelah ini lantas meniadakan peran individu atau kelompok
yang justru dapat mengubah struktur besar tadi. Negara dan pemerintah, atau
lembaga struktural apa pun, adalah penanggung jawab semua kehidupan
individu.
Itulah sebabnya, kita senantiasa
mencari pemimpin yang dapat membawa dampak kesejahteraan pada rakyat. Bukan
rakyat itu sendiri yang dapat menyejahterakan dirinya. Apa arti kebebasan?
Kebebasan hanya berarti ketika negara dan pemerintah atau lembaga-lembaga
struktural mengganggu kebebasan mereka. Arti kebebasan masih post-kolonial,
yakni bebas dari penjajahan, bebas dari tekanan, bebas dari
kesewenang-wenangan.
Kita belum sampai pada kesadaran
bebas untuk menjadi apa. Bebas mengembangkan potensi diri. Potensi diri
masih digantungkan pada struktur besar tadi. Dengan kata lain potensi
individu, begitu pula potensi alam, belum dikembangkan berdasarkan
intrinsiknya sendiri.
Makna Negara Modern
Lalu apa arti negara modern yang
demokratis ini, yang meminjam kata-kata Lincoln bahwa pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tak akan lenyap dari muka bumi ini?
Bukankah yang terjadi justru sebaliknya: pemerintahan dari negara, oleh
negara, dan untuk negara akan segera lenyap dari muka bumi? Bukankah itu
yang ada dalam pikiran kita ketika bencana alam datang, ketika harga-harga
naik, ketika musuh mengancam di perbatasan?
Ketika bantuan banjir atau gempa
bumi tak kunjung datang dari camat atau bupati, maka rakyat bertanya, di
mana negara ketika kami membutuhkannya? Dan tentu saja para bupati dan
camat dengan enteng akan menjawab bahwa bantuan pemerintah belum datang.
Apa bedanya dengan di zaman
raja-raja? Tentu saja banyak jenis raja di Indonesia masa lalu, tetapi di
sini khusus raja-raja yang memerintah negara pertanian. Dalam masyarakat
pertanian sawah, negara harus sepenuhnya strukturalis, yang menganut
ungkapan “bapak selalu benar”. Negara pertanian yang begitu luas bagaimana
mengendalikan rakyat agar tak bunuh-bunuhan memperebutkan air irigasi bagi
sawah-sawah mereka? Hanya dengan pikiran bahwa ada kekuasaan tunggal yang
mutlak dipatuhi seluruh rakyat petani.
Namun, pemandangan agak berbeda
dengan kerajaan-kerajaan yang hidup dari perdagangan-maritim. Di lingkungan
orang Melayu dan kepulauan berlaku ”raja adil raja disembah, raja lalim
raja disanggah”.
Mengapa rakyat berani membuat
pepatah semacam itu? Karena di sana dikenal adanya kelompok yang disebut
orang kayo atau orang kaya di samping para bangsawan dan raja. Itulah benih
borjuasi otentik Indonesia. Kalau kekayaan itu kekuasaan, maka di kalangan
mereka kebebasan individu bisa ikut berbicara menentukan arah negara.
Dua tradisi besar dalam cara
berpikir bernegara ini saling bertempur dalam dunia modern kita sekarang
ini. Mungkin inilah yang membedakan antara Malaysia yang sepenuhnya Melayu
dengan Indonesia yang masih strukturalis. Ternyata kita salah start sejak awalnya. Ketidaksesuaian
dwitunggal Soekarno-Hatta atau SBY-Jusuf Kalla jangan-jangan gara-gara
warisan arketip budaya ini.
Munculnya orang kayo di Sumatera
dan kepulauan mengindikasikan individu ikut menentukan nasib individu. Di
situ asas kebebasan individu menghasilkan adagium ”raja lalim raja disanggah”, kalau bupati tidak becus, ya
diganti saja. Kalau waktu itu terjadi bencana nasional, maka tidak hanya
pemerintah atau raja yang bergerak, tetapi juga orang-orang kayo ikut
bertanggung jawab.
Gigantisme Struktural
Sejak kemerdekaan, alam pikiran
strukturalis inilah yang berjaya, bahwa negara adalah segalanya, baik adil
maupun lalim. Karena kebebasan struktural yang gigantik ini, rakyat tak
dapat berbuat banyak. Lihat saja kasus bupati Garut akhir-akhir ini. Rakyat
sudah jelas-jelas menginginkan bupati ini turun jabatan, tetapi gigantisme
struktural kita membuat perkara ini berlarut-larut akibat berputar-putar
dalam strukturnya sendiri.
Strukturalisme ini juga mengakibatkan
persoalan korupsi tidak kunjungi teratasi, karena tindak korupsinya bukan
individual, tetapi struktural. Kalau seorang koruptor tertangkap, mau tidak
mau sederetan jaringan korupsi segera terbongkar. Para hakim lantas bingung
karena harus mengadili individu atau mengadili sebuah struktur?
Bangsa ini mengaku dirinya
demokratis, kenyataannya lebih strukturalis-sosialis. Negara atau
pemerintah adalah segalanya sehingga rakyat tak dapat berbuat banyak
mengubah struktur besar ini. Rakyat tak punya kekuatan karena tak memiliki
alternatif orang-orang kayo. Negara ini satu-satunya yang kuasa dan kaya.
Justru yang terjadi orang-orang kaya dapat membeli negara demi
kepentingannya sendiri. Coba kalau rakyatnya banyak yang kayo?
Cita-cita Bung Karno dalam pidato
Pancasilanya yang menyebutkan demokrasi Indonesia adalah “sosio-demokrasi”
belum terwujud. Saling melengkapi antara strukturalisme dan kebebasan
individu masih dominan strukturalnya. Banyak selalu benar meski jelas-jelas
dia salah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar