Sejumlah penggiat antikorupsi dan
narkoba memakai topeng bergambar wajah eks Presiden Partai Keadilan
Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq serta pembawa acara dan aktor Raffi Ahmad di
Solo, Jawa Tengah, Minggu, 3 Februari 2013. Dua di antara mereka memegang
kertas bertulisan, ”From Hero to
Zero”, yang terjemahan bebasnya, ’dari
pahlawan menjadi bukan siapa-siapa’.
Luthfi, anggota DPR yang juga
Presiden Partai Keadilan Sejahtera, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terkait pemberian rekomendasi
kuota impor daging kepada Kementerian Pertanian. Luthfi kemudian dibawa ke
kantor KPK untuk menjalani pemeriksaan, sebelum ditahan di Rumah Tahanan
Guntur. Luthfi mengumumkan pengunduran dirinya. Ia digantikan oleh Anis
Matta, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PKS.
Sementara itu, Raffi Ahmad
ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terkait
kepemilikan 14 kapsul berisi bubuk metilon dan dua linting ganja, yang
ditemukan di rumahnya, di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Minggu, 27
Januari 2013. BNN menyimpulkan zat metilon sebagai narkotika golongan I
yang dilarang beredar dan dikonsumsi di Indonesia. Untuk proses penyidikan,
Raffi akan ditahan selama 20 hari di Rumah Tahanan BNN.
Walaupun bersalah atau tidaknya
kedua orang itu masih harus dibuktikan di pengadilan, bagi keduanya
kehidupan berubah drastis. Hari-hari yang mereka jalani tidak lagi sama.
Ungkapan From Hero to Zero
yang dituliskan oleh penggiat antikorupsi dan narkoba itu adalah ungkapan
yang paling dapat mewakili apa yang dialami Luthfi Hasan Ishaaq dan Raffi
Ahmad.
Ketidakhati-hatian dalam meniti
jalan hidup mereka harus dibayar dengan sangat mahal. Sesungguhnya selain
mereka berdua, banyak pula orang yang mengalami hal yang sama. Kita melihat
banyak tokoh dan selebritas mengalami hal yang sama karena tidak
berhati-hati dalam meniti jalan hidup mereka.
Jika saja mereka dapat menahan
diri terhadap berbagai cobaan yang muncul di hadapan mereka, maka jalan
hidup mereka akan berbeda. Sayangnya, kehidupan tidak mengenal ”jalan
mundur”. Seseorang tidak dapat kembali ke masa lalu untuk mengubah jalan
hidupnya dengan menghindari kesalahan yang dilakukan.
”Molimo”
Agar tidak terjerumus ke dalam
kesalahan yang menjadikan dirinya dari pahlawan menjadi bukan siapa-siapa,
seseorang sebaiknya mematuhi larangan-larangan yang ada dalam tradisi
masyarakat Jawa. Larangan-larangan itu dikenal dengan istilah molimo,
atau 5M, yakni maling (mencuri), main (berjudi), madat (candu), madon (main
perempuan), dan minum (mabuk).
Apabila seseorang mematuhi apa-apa
yang dilarang dalam molimo, bisa dipastikan ia akan terhindar dari
kesalahan yang menjerumuskan dirinya ke jurang kehancuran.
Yang dimaksud dengan maling, pada
saat ini mungkin dapat disetarakan dengan mengambil atau menerima sesuatu
yang bukan merupakan miliknya (korupsi), atau memberikan sesuatu untuk
mendapatkan sesuatu yang bukan merupakan miliknya (menyuap).
Adapun pengertian madat dan mabuk
itu sangat dekat. Hanya bedanya madat atau mengonsumsi narkotika dan
obat-obatan berbahaya (narkoba) itu diancam dengan undang-undang. Sementara
mabuk, sejauh tidak diikuti dengan tindakan yang membahayakan keselamatan
orang lain, tidak diatur oleh undang-undang.
Sebagai suatu perangkat yang
mengatur tata berkehidupan, molimo itu sangat baik. Hanya saja, yang
mengherankan adalah mengapa larangan M yang paling penting, yakni membunuh,
tidak masuk dalammolimo. Namun, kali ini, kita tidak membahas hal itu.
Perhatian lebih dipusatkan kepada korupsi, suap, dan narkoba.
Tiga ”ta”
Bagi penguasa atau pejabat, juga
ada tiga hal penting yang bisa menjatuhkannya dari singgasana atau
kedudukannya, yakni tiga ta, yang merupakan kependekan dari takhta,
harta, dan wanita. Itu sebabnya, apabila seorang penguasa atau pejabat
ingin tetap bertahan di singgasana atau kedudukannya, ia harus ekstra
hati-hati dengan ketiga ta itu.
Takhta atau kekuasaan itu
berkaitan erat dengan kata-kata bijaksana yang dilontarkan oleh Lord Acton
(1834-1902): ”Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, yang terjemahan
bebasnya, ’Kekuasaan cenderung
disalahgunakan, dan kekuasaan mutlak pasti akan disalahgunakan’.
Itu sebabnya, seseorang yang
tengah berkuasa harus pandai-pandai membawa diri dalam menjalankan
kekuasaannya. Dengan demikian, ia terhindar dari kemungkinan dijatuhkan
dari kekuasaannya. Pada saat yang sama, ia juga harus mampu menahan diri
dari godaan harta dan wanita yang senantiasa muncul di hadapannya.
Ada pepatah yang menyatakan, ”Semakin tinggi pohon, semakin kencang
angin yang menerpa”. Posisi pohon itu mungkin bisa disamakan dengan
seseorang yang berada di puncak kariernya.
Dalam posisi seperti itu,
seseorang harus pandai-pandai membawa diri. Jika tidak, dipastikan ia akan
tersandung dan ditinggalkan. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin
besar godaan yang datang, dan jika jatuh, jatuhnya semakin keras.
Hal-hal baik yang terkandung dalam molimo
dan tiga ta itu sudah mengantisipasi keadaan-keadaan seperti itu, dan
semua itu tentunya merupakan hasil pengamatan generasi terdahulu. Namun,
semua itu ternyata lebih mudah diucapkan daripada diterapkan. Itu sebabnya,
dari waktu ke waktu kita melihat tokoh-tokoh dan selebritas terjerumus,
baik karena korupsi, suap, maupun narkoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar