Sastrawan
terkemuka kita, Gerson Poyk, yang cerpen cerpennya tampak cerdas dan
mengejutkan, penuh kegetiran dan ironi, tapi juga optimisme menghadapi
kehidupan dunia yang fana ini pada tahun 1970-an pernah menulis cerpen
bagus Mutiara di Tengah Sawah yang lebih memantapkan namanya sebagai
sastrawan.
Cerpen itu sudah lama menghilang dari
peredaran. Dicari di pasaran, di tokotoko buku loak yang paling loak
sekalipun sudah tak bisa ditemukan. Di negeri kita yang ruwet dan gelap,
“mutiara” seperti ini pun dibiarkan hilang. Detail-detail persisnya saya
tak ingat, tapi cerpen ini berkisah tentang seorang guru muda yang setiap
hari bertugas dan harus menyeberangi sebatang sungai tanpa jembatan. Dia
harus menyeberang dalam arti sebenarnya. Maka, sepatu dilepas, baju dan
celana panjangnya juga dilepas.
Untuk menghindari agar tak kebanyakan beban yang dibawa selama menyeberang,
sepasang sepatu itu lebih dulu dilempar ke seberang sana— seperti
biasanya—dan dia hanya tinggal “menyelamatkan” baju dan celana agar tidak
basah. Biasanya, begitu tiba di seberang, dia mengenakan kembali celana dan
baju di dekat sepatu itu tergeletak, baru kemudian mengenakan sepatu itu
kembali. Maka lengkap kembalilah penampilannya sebagai guru. Tapi pada hari
itu, lama dia berusaha untuk menemukan sepatunya yang “menyeberang” lebih
dulu.
Di sawah itu kebetulan ada seorang gadis jelita,yang lalu ia tanya sedang
mencari apa. Si gadis kemudian ganti bertanya kepada tokoh yang selalu
menyeberang sungai itu: “Kau mencari apa?” “Mencari sepatu,” jawab si
tokoh. “Mencari sepatu kok di sawah,bukan di toko?” Gadis itu
cantik—setidaknya menurut ukuran estetika Gerson—dan kecantikan itu yang
disebutnya dengan ungkapan metaforis sebagai “mutiara di tengah
sawah”.
Gerson tak membuat penilaian apa pun sesudah itu kecuali kekaguman anak
muda kepada gadis jelita. Tapi kita tahu: Gerson sedang mengemukakan sebuah
ironi tentang mutiara, yang semestinya dipajang di tempat gemerlap, tapi
mutiara yang ini terbenam dalam kebersahajaannya: di tengah sawah.
Sejak kurang lebih dua puluh tahun
terakhir ini bangsa Indonesia sedang
mencari pemimpin. Tiap kali kita jatuh kecewa. Ketika dulu dalam kegundahan
perasaan yang tertekan oleh hadirnya penguasa otoriter, kita mendambakan
tokoh demokratis yang membebaskan kita semua. Maka, ketika kita mendengar
ada tokoh alternatif, kita semua penuh harap.
Tokoh itu disebut dengan ideologi politik Jawa: satrio piningit, yaitu
satria yang sedang disembunyikan, sedang dipingit, untuk diwejang dan
digembleng dengan segenap ilmu kesaktian kanuragan, kekuatan jasmaniah,
maupun ilmu kewaskitaan, ilmu rohaniah, yang diperlukan seorang pemimpin
yang harus memiliki citra kesempurnaan hidup, yang tak ada bandingannya.
Mungkin semua orang membayangkan,namanya saja satrio piningit, maka dia
pasti hebat secara lahir maupun batin.Tak ada orang sehebat itu di seluruh
negeri ini. Dengan kesaktiannya itu semua permasalahan ruwet yang kita
hadapi bersama akan dengan mudah diatasi.
Diam-diam kita lalu berharap, bakal ada momentum bagi seluruh bangsa untuk
hidup nyaman,tenang, dan tenteram. Satrio piningit itu pasti bisa
diandalkan untuk menata hidup kita sebagai bangsa yang kaya akan sumber
daya alam maupun sumber daya insani. Kemakmuran, ketenteraman ibaratnya
hanya tinggal di depan mata. Tapi kita tertipu oleh keindahan kata-kata dan
ideologi selangit, yang tak bersentuhan dengan bumi. Apa yang ideal, indah,
dan memikat tak terwujud sama sekali.
Kita dihadapkan pada ketidakjelasan yang nyata. Problem bertumpuk-tumpuk
dan tak tersentuh. Negara berada di bawah tukang doa, tukang mantra, dan
tukang merumuskan diskursus ruwet untuk dibikin menjadi lebih ruwet. Para
ahli, yang berseliweran di Istana, dikumpulkan semua untuk diajak
merumuskan persoalan bangsa dengan menggunakan pendekatan antardisiplin
ilmu yang berbeda.
Sesudah masalah ruwet terumuskan dengan baik dan menjadi semakin ruwet,
turunlah perintah: mari kita endapkan . Maksudnya, kita peti es-kan saja
masalah itu dan jangan dipikirkan lagi. Kecuali kalau ada huru-hara yang mengacaukan
ketenteraman. Dalam hal itu, masalah bisa dibuka kembali.
Negeri ini sebenarnya aula besar, tempat para pemimpin belajar—bukan
bekerja—menerapkan kemampuan dan kompetensi ilmiah masingmasing. Dan kita
tahu tak ada juara. Semua pada level “sedang belajar”. Dan kita, seluruh
bangsa, sedang berharap tanpa ada realisasi. Kita menantikan datangnya
pemimpin bangsa, yang benar-benar memimpin agar negara ini makin maju dan
rakyat makin sejahtera. Kita tak makin pandai berdebat di televisi tak
menjadi soal.
Kita tak pandai membuat kalimat, puisi, tembang-tembang, pidato-pidato tak
menjadi soal. Sebuah bangsa miskin tak bisa diubah menjadi lebih baik hanya
semata dengan pidato dan artikulasi ilmiah. Kita memerlukan tokoh-tokoh
tulen yang bisa bekerja dengan cekatan untuk mengatasi keruwetan
hidup.Tokoh dari Makassar, yang namanya bisa diringkas menjadi “JK”,
membuktikan kemampuan dan ketulusannya.Tapi negeri ini memang aneh. Kita
terjebak pada prosedur partai politik.
Yang tak punya dukungan partai hilanglah dia dalam kegelapan dan bebusukan
sampah-sampah politik.Apa maksudnya sampah politik? Debat. Kalimat. Argumen.
Kalau ada televisi gila yang mengadu tokoh-tokoh untuk berdebat tanpa
solusi, itu disebut hebat sekali. Maka, tak mengherankan, para pemilih—terutama
ibuibu yang kekanak-kanakan dan wawasan politiknya terbatas pada mengagumi
jambul dan tata bahasa—gegap gempita memilih popularitas, kerapian, dan
kesopanan seperti orang hendak memilih pangeran yang sempurna
dandanannya.
Dan kemudian kecewa lagi. Dua tahun terakhir ini sudah mulai lagi kesibukan
memikirkan pemimpin. Semua tahu, yang dirindukan tokoh yang memiliki
ketegasan. Tapi, sudah mulai tampak lagi gejala mencemaskan: orang hanya
terpesona pada popularitas para calon. Kita terancam gagal. Kita terancam
untuk wajib memperpanjang rasa kecewa. Orang masih mendambakan tentara,
yang bukan asal tentara. Tentu ada yang antitentara. Tapi di tengah
kegelapan ini gagasan terus berputar. Mbak Mega masih moncer. Pak “JK”
masih memancarkan pesona.
Sutiyoso, yang disebut dengan gelar Jakarta Bang Yos, pelan-pelan muncul ke
permukaan seperti tamu yang dilupakan. Tapi dia muncul dengan sikapnya dan
dengan cara Jawanya yang tak mudah diduga. Dia mengingatkan pada kita:
jangan lupa, saya masih ada.
Mungkin mereka ini mutiara di dalam sampah politik. Jadi tak bersinar. Tapi
mereka tokoh yang punya kompetensi. Kita diminta siap menguji mereka. Maka,
jangan semua hal diserahkan ke orang partai dan partai tak boleh menjadi
penentu utama yang hanya mengecoh kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar