Tahun 2013 menjadi harapan banyak pihak sebelum memasuki masa pesta
politik tahun 2014 yang sering ingar-bingar dan gaduh. Salah satu harapan
tersebut adalah kehidupan kebebasan beragama dan kaum minoritas menjadi
lebih terjamin. Tindakan diskriminatif tidak terulang kembali. Penyelesaian konflik
keagamaan bisa berjalan dengan baik dan maksimal.
Multikulturalisme merupakan istilah yang paling merepresentasikan
gambaran tentang Indonesia. Tidak ada ungkapan yang paling tepat memberi
deskripsi tentang kondisi realitas Indonesia selain dengan menyebutkannya
sebagai negara yang plural dalam makna sesungguhnya. Karena itu, meminjam
ungkapan penulis seperti Farid Esack, Abdul Aziz Sachedina, dan Syed Hasyim
Ali, multikulturalisme merupakan hal yang telah ditunjukkan oleh Islam
sejak awal tak bisa ditolak keberadaannya.
Perhatikan pernyataan Farid Esack (1997), ”Multikulturalisme
merupakan kondisi seseorang yang dapat menerima (penerimaan) dan mengakui
(pengakuan) tentang keberlainan dan keragaman. Multikulturalisme melampaui
toleransi atas keberlainan sebab multikulturalisme hadir di dalam diri yang
tulus dan dalam tindakan terhadap pihak lain yang berlainan.”
Demikian pula pernyataan Syed Hasyim Ali (1999), ”Multikulturalisme adalah kondisi masyarakat di mana kelompok
kebudayaan, keagamaan, dan etnis hidup berdampingan dalam sebuah bangsa
(negara). Multikulturalisme juga berarti bahwa realitas itu terdiri dari
banyak substansi yang mendasar. Multi- kulturalisme juga merupakan
keyakinan bahwa tidak ada sistem penjelas (pemahaman) tunggal atau
pandangan tentang realitas yang dapat menjelaskan seluruh realitas
kehidupan.”
Perhatikan pula pernyataan Abdul Aziz Sachedina (2001), ”Pluralisme merupakan istilah atau kata
ringkas untuk menyebutkan suatu tatanan dunia baru di mana perbedaan
budaya, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai membangkitkan kegairahan
pelbagai ungkapan manusia yang tak kunjung habis sekaligus mengilhami
pemecahan konflik yang tak kunjung terdamaikan.”
Dapat kiranya dikatakan, multikulturalisme hendaknya bagian dari
kehidupan kita yang berada dalam sebuah wilayah negara di muka bumi.
Keberadaan multikulturalisme yang selama ini dikesankan perusak dan pembuat
keroposnya keyakinan seseorang ataupun masyarakat dalam beriman merupakan
pendapat yang tidak bisa dibenarkan dan tidak berdasar sama sekali.
Soalnya, yang dimuat dalam multikulturalisme adalah penguatan keimanan
seseorang dan masyarakat tentang agamanya, bukan pendangkalan apalagi
peleburan keimanan masyarakat.
Harus Ditekankan
Penjelasan seperti itu harus ditekankan sebab selama ini sering
terdengar, multikulturalisme merupakan paham yang membuat masyarakat rapuh
dan lenyap keimanannya terhadap agama dan keyakinan yang selama ini menjadi
keyakinannya.
Padahal, multikulturalisme merupakan paham yang memperkuat keimanan
seseorang berdasarkan keunikan dan karakteristik keyakinan yang dianutnya
selama ini. Hanya seseorang berkewajiban menghormati, menghargai, dan
mengafirmasi adanya keragaman dan menjaga agar heterogenitas tetap terjaga
dan berlangsung dalam sebuah bangsa dan masyarakat. Tidak boleh terdapat
kelompok yang berkeinginan menghapus adanya heterogenitas yang menjadi
kehendak Tuhan.
Itulah ciri khas multikulturalisme yang sering kali dipahami secara
salah: multikulturalisme seakan-akan hendak menyamakan semua agama dan
mengajak masyarakat berpindah agama atau memperlemah keimanan karena
banyaknya keyakinan dalam masyarakat. Pendapat semacam ini mendasarkan
pandangan tiga cendekiawan Muslim di atas jelas tidak bisa dibenarkan. Jelaslah
pandangan yang salah kaprah, pandangan yang tidak berdasar argumen yang
memadai dengan mengatakan multikulturalisme merupakan pandangan menyamakan
semua agama dan mengajak orang menjadi lemah iman!
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (88,7
persen, BPS 2010), Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar di muka bumi
akan memberi pelajaran yang sangat bermanfaat ketika kita mampu
mengembangkan pandangan bahwa keragaman dalam hal agama dan kultur mampu
hidup berdampingan secara damai, aman, dan saling bekerja sama di antara
yang beragam tersebut. Kita, dengan demikian, harus bersedia mengembangkan
perspektif keagamaan yang menempatkan bahwa keragaman agama dan kultur
merupakan kehendak Tuhan dan kemuliaan umat beragama yang beragam.
Karena itu, perspektif keagamaan kita harus mengarah pada perspektif
positif tentang keragaman dan perbedaan, bukan perspektif negatif tentang
keragaman (pluralisme dan multikulturalisme). Perspektif positif agama dan
kultur akan membawa kita pada keberagamaan yang tulus, bukan keberagamaan
yang culas, penuh curiga, prasangka buruk, dan enggan menghargai adanya
heterogenitas yang merupakan kehendak Tuhan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar