Pada saat perekonomian global
didera ketidakpastian krisis zona euro dan Amerika Serikat, perekonomian
Indonesia tumbuh 6,23 persen tahun 2012. Namun, di balik itu, kita
dihadapkan pada fenomena defisit kembar (twin deficit), yakni defisit
perdagangan dan defisit anggaran pemerintah (APBN). Inilah pertama kalinya,
sejak tahun 1961, Indonesia mengalami defisit kembar. APBN biasanya selalu
defisit, tetapi neraca perdagangan biasanya surplus.
Mengapa terjadi defisit
perdagangan? Tidak ada faktor tunggal sebagai penyebabnya. Gregory Mankiw
dari Harvard (2008) menjelaskan, dalam kasus defisit perdagangan AS bisa
dijelaskan dengan perbandingan antara tingkat tabungan nasional dan
investasi domestik. Penjelasan dimulai dengan tingkat tabungan nasional
turun. Hal ini terjadi karena kebijakan fiskal yang ekspansif, yakni di
satu sisi pajak diturunkan, tetapi belanja pemerintah dinaikkan sehingga
terjadi defisit anggaran pemerintah.
Penurunan pajak menyebabkan
kenaikan belanja atau konsumsi masyarakat yang berakibat pada penurunan
tingkat tabungan. Kenaikan belanja masyarakat kemudian mendorong kenaikan
impor—karena produk impor memang lebih murah—sehingga terjadi peningkatan
defisit perdagangan. Di AS, hal ini terjadi secara berkesinambungan sejak
tahun 1980-an hingga kini. Dari era Presiden Ronald Reagan sampai kini
Barack Obama. Defisit perdagangan hanya sempat menipis tahun 1993-1994.
Bagaimana defisit kembar versi
Indonesia? Ceritanya agak berbeda. Defisit APBN terjadi karena kemampuan
mengumpulkan pajak oleh pemerintah tidak bisa menutup kebutuhan anggaran.
Pada era Soeharto, defisit didanai dari utang yang berasal dari konsorsium Consultative Group on Indonesia dan Inter-Governmental Group on Indonesia.
Pada era sekarang, defisit terutama ditutup dari utang hasil penjualan
obligasi pemerintah. Sebagian berasal dari utang bilateral negara kreditor.
Defisit APBN Indonesia saat ini
hanya 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 120
triliun. Batas defisit yang aman, sesuai konsensus para ekonom dunia,
adalah 2 persen terhadap PDB. Jika dalam situasi krisis ekonomi, defisit
diizinkan mencapai 3 persen terhadap PDB. Sebagai perbandingan, ketika
Yunani terjerat krisis, defisitnya 17 persen terhadap PDB. Kini, Yunani
berupaya keras agar defisitnya turun hingga 3 persen terhadap PDB. Namun,
upaya tersebut ditentang keras masyarakat karena penurunan defisit secara
mendadak hanya menyebabkan rakyat sengsara karena pemerintah memotong habis
berbagai belanjanya.
Rendahnya defisit APBN bisa
dimaknai ganda. Di satu sisi menunjukkan kehati-hatian pemerintah agar
tidak menambah akumulasi utang, yang kini sudah Rp 2.000 triliun atau
sekitar 24 persen dari PDB yang saat ini sekitar Rp 8.200 triliun. Akan
tetapi, di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa kecilnya defisit juga karena
rendahnya daya serap anggaran pemerintah, yang hanya 87 persen tahun 2012.
Ketidakmampuan pemerintah membelanjakan anggaran sesuai jadwal menjadi
salah satu alasan kegagalan pertumbuhan ekonomi agak meleset dari target
6,3 persen tahun 2012.
Alasan lain adalah defisit
perdagangan. Sejak tahun 1961, baru kali inilah perdagangan kita defisit.
Tahun 1961, defisit perdagangan Indonesia diikuti dengan defisit transaksi
berjalan hingga 521 juta dollar AS. Menurut Bruce Glassburner (1971),
defisit besar terjadi karena banyaknya transaksi perdagangan barang dan
jasa dengan Uni Soviet saat itu.
Defisit perdagangan tahun 2012
sebesar 1,6 miliar dollar AS, sementara defisit transaksi berjalan 20
miliar dollar AS. Penyebabnya kombinasi antara: (1) turunnya permintaan
karena krisis dan jatuhnya harga komoditas primer andalan ekspor (sawit dan
batubara); (2) naiknya impor minyak karena lifting minyak anjlok dari
900.000 barrel menjadi 830.000 barrel per hari; (3) tingginya impor barang
modal, termasuk pembelian pesawat komersial; serta (4) kurs rupiah tak lagi
kompetitif mendorong ekspor dan menahan impor.
Apa yang bisa kita lakukan? Perlu
mengacu pada keempat faktor di atas. Terkait faktor harga komoditas primer,
ada harapan tahun 2013 akan membaik. Ekonomi China diyakini tumbuh di atas
9 persen (dari 7,7 persen). Ekonomi India ke level 8 persen (dari 5,4
persen). Ini akan mendorong kuantitas permintaan dan harga produk-produk
primer.
Soal minyak, tentu saja mustahil
bisa sekejap menaikkan lifting.
Yang bisa diharapkan adalah jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM), akan terjadi upaya penghematan dan menghindari penyelundupan,
menekan impor BBM. Bank Indonesia (BI) dalam batas tertentu membolehkan
rupiah terdepresiasi untuk membantu neraca perdagangan.
Dengan berbagai upaya itu, harapan
terbaik tahun 2013 adalah defisit kembar tidak terjadi lagi. Anggaran
pemerintah masih akan defisit, bahkan sampai jangka menengah ke depan,
tetapi angkanya aman pada 2 persen terhadap PDB. Adapun defisit perdagangan,
melalui berbagai upaya di atas, bisa ditekan atau kembali surplus meski
kecil, misalnya 5 miliar dollar AS.
Motor penggerak ekonomi yang bisa
kita andalkan adalah industri perbankan. Tahun 2012, industri perbankan
melaju dengan pertumbuhan laba signifikan. Laba neto setahun mencapai Rp
82,8 triliun atau tumbuh 23 persen dari tahun sebelumnya Rp 75,08 triliun.
Jelas bahwa industri perbankan masih melanjutkan kinerja positifnya serta
diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan menghadapi krisis dari sisi eksternal.
Di balik angka impresif tersebut, net interest margin (NIM) cenderung
naik ke 5,49 persen. Kenaikan ini saya duga disebabkan oleh meningkatnya
eksposur bank ke segmen kredit UMKM yang secara tradisional memiliki NIM
tebal. Tren ini akan terus terjadi tahun 2013 karena BI kian giat mendorong
bank-bank menyalurkan kredit ke segmen ini hingga 20 persen. Kredit total
perbankan saat ini Rp 2.600 triliun. Tentu tak mudah mewujudkan keinginan
BI itu. Kredit senilai Rp 500 triliun ke segmen UMKM bukanlah pekerjaan
ringan dan pasti berisiko.
Tahun 2013 tidaklah gampang. Pada
bulan-bulan awal tahun ini, pemerintah perlu memberikan arahan lewat
kebijakan fiskalnya, melalui revisi APBN. Revisi dimulai dari asumsi
pertumbuhan ekonomi yang diturunkan menjadi 6,3 persen. Kemudian, kebijakan
kuota konsumsi BBM yang tidak efektif diubah menjadi pengurangan subsidi
BBM yang lebih punya daya paksa dan disiplin. Kebijakan kuota BBM selama
ini hanya dalam asumsi, kemudian dilanggar, tanpa efek jera sedikit pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar