BARU-BARU ini Kelompok Kajian Pembangunan Sosial Politik
Indonesia (KKPSPI) merilis hasil survei tentang preferensi politik
mahasiswa mengenai tokoh militer menjelang pilpres. Mantan Pangdam Jaya
Letjen TNI (pur) Sutiyoso menjadi capres paling populer dari kalangan
militer dengan total 112.280 (80,2), Marsekal TNI (pur) Djoko Suyanto
dengan total 107.100 (76,5), dan Jenderal TNI (pur) Wiranto dengan total
103.320 (73,8). Sedangkan, Letjen TNI (pur) Prabowo Subianto yang selalu
merajai berbagai survei capres sebelumnya hanya berada di urutan kelima
dengan skor 65,8 di bawah Jenderal TNI (pur) Endriartono Sutarto yang
menempati peringkat keempat dengan skor 67,1 (JPNN, 13/2).
Meski dilakukan terbatas di kalangan intelektual mahasiswa di tujuh kota
besar (Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan), itu menggambarkan masih
terjaganya daya kritis kaum intelektual terhadap konfigurasi calon
presiden. Terganjalnya elektabilitas Prabowo Subianto dalam survei itu,
misalnya, tidak terlepas dari kasus pelanggaran HAM-nya semasa Orde Baru.
Selain itu, survei KKSPI merupakan test the water's:
mengukur tingkat reseptivitas publik terhadap calon-calon pemimpin dari
latar belakang militer dengan asumsi semakin tinggi keragaman dan
preferensi eleksionalitas pemilih semakin terbuka jalan bagi proses
pendewasaan demokrasi. Kedewasaan demokrasi ditentukan kepemilikan
rasionalitas terhadap apa yang menjadi opsi politiknya.
Akan tetapi, kedewasaan politik warga tidak bisa dipisahkan oleh
kecenderungan pengalaman sosial dan seberapa besar ekspektasi publik
terhadap model kepemimpinan yang merepresentasikan basis keinginan politik
terbesar (John Gardner dalam On Leadership, 1990).
Itu sebabnya harapan menemukan sosok-sosok pemimpin pro perubahan dan
merakyat di Pilpres 2014 harus menjadi agenda konkret-visioner lembaga
partai politik.
Ideologi Jokowi
Organ-organ politik harus ''turun gunung'' menemukan ''pulau-pulau
integritas'' kepemimpinan yang mampu mengubah atmosfer kepemimpinan klasik:
miskin inovasi dan kedekatan dengan rakyat, tidak memiliki jiwa pelayan dan
kurang memiliki spirit solider dan kerja keras, menjadi model kepemimpinan
transformatif-populis yang mendorong perubahan dari aspek berbasis potensi
kerakyatan, bukan dari aspek ke-kuat-an sang pemimpin.
Model kepemimpinan Joko Widodo (gubernur DKI Jakarta), misalnya, bisa
menjadi trend setter kepemimpinan transformatif
kontekstual yang bersumber dari inti rahim kerakyatan. Gesture Jokowi yang didasari ''politik
tubuh'' rakyat kebanyakan -tanpa polesan- dan kekuatan komunikasi
empatiknya untuk membentuk magnet optimisme rakyat, disertai kemampuan
atraktif mengeksekusi kebijakan-kebijakan populis wong alit, merupakan
prominensi utama kepemimpinannya.
Derap langkah blusukan-nya ke
berbagai sudut kota dan dusun ibarat angin basah yang menyapu musim kering
sejarah kepemimpinan nasional yang sedang kerontang dirundung politik
arogansi dari ''belakang meja'', pementingan diri, transaksional, dan
korupsi. Peraih Bung Hatta
Anti-Corruption Award 2010 itu telah menjadi ideologi baru bagi
bernaungnya cita-cita rakyat yang humanis dan kerinduan akan masa depan
yang lebih bermartabat.
Tak heran jika hasil survei tim Pusat Data Bersatu (PDB) menempatkan wali
kota terbaik dunia di posisi ketiga itu sebagai capres dengan tingkat
elektabilitas tertinggi, (21,2 persen), mengalahkan Prabowo Subianto di urutan
kedua (17,1 persen), Megawati
di urutan ketiga (11,5 persen), disusul Rhoma
Irama (10,4 persen), dan Aburizal Bakrie di urutan kelima (9,7
persen). Itu semakin mempertegas Jokowi sebagai kiblat megatruh kepolitikan
para politikus yang tengah bersaing di sejumlah pilkada.
Blusukan Mencari
Pemimpin
Sebenarnya Indonesia tidak kurang pemimpin yang bersumber dari kepemimpinan
lokal. Bupati Gorontalo David Bobihoe Akib, misalnya, terkenal karena konsep biaya
kesehatan murah dengan membebaskan layanan dasar kesehatan bagi seluruh
warga, termasuk pemberian santunan duka bagi lansia di atas 60 tahun. Di
Nias Selatan (Nisel), ada Bupati Idealisman Dachi yang membebaskan biaya
SPP dari jenjang SD sampai perguruan tinggi, termasuk membeasiswakan putra
putri terbaik Nisel pada sekolah kedokteran, pertanian, teknik sipil, dan
lainnya.
Atau, Bupati Ogan
Komering Ulu (OKU) Timur Herman Deru yang sukses mendongkrak OKU Timur dari
semula daerah miskin menjadi daerah yang tingkat kemiskinannya terendah di
seluruh Indonesia dengan bermodalkan APBD sekitar Rp 12 miliar. Dia pun
menjadi bupati peraih suara terbanyak dalam sejarah pilkada di Indonesia,
yaitu 94,56 persen suara, melampaui perolehan Jokowi ketika pemilihan wali
kota periode kedua. Mereka itu talenta terpendam yang selama ini tertepikan
oleh deru mesin ''politik industrial'' yang abai kepada rekam jejak
keberhasilan terukur serta talenta kepemimpinan yang menerobosi lingkaran
setan pencitraan dan politik uang.
Partai politik sebagai alat pengorganisasian kepentingan publik perlu
melakukan blusukan politik: mulai mengidentifikasi
serta mengakomodasi pemimpin-pemimpin lokal yang ada di daerah-daerah untuk
digodok sebagai calon presiden. Itu harus menjadi proyek demokrasi yang
melampaui sekadar kepentingan politik demi memperbanyak alternatif sumber
kepemimpinan, sekaligus mempercepat gerak pembangunan (demokrasi).
Bahkan, menurut John Gardner, untuk mempercepat pengembangan demokrasi
diperlukan satu persen dari semua warga negara dewasa sebagai pemimpin di
semua lini kehidupan. Andaikan jumlah pemilih pada Pemilu 2014 nanti 175
juta jiwa, diperlukan 1,75 juta orang pemimpin yang kritis dan bertanggung
jawab bagi kemajuan masa depan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar