Prahara yang bermula dengan
ditangkapnya Ahmad Fathanah yang diduga menerima suap dalam kasus impor
daging sapi berdampak serius pada PKS.
Sebab, KPK telah menetapkan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) yang merupakan pucuk
pimpinan PKS sebagai tersangka dalam kasus ini. Citra PKS yang sering
mengampanyekan diri sebagai partai yang `bersih dan peduli' sangat
tercoreng.
Meskipun akhirnya LHI mengundurkan diri dan
kemudian Anis Matta ditetapkan menjadi Presiden PKS, dampak prahara politik
ini pasti akan berlangsung lama. Apalagi, kasus suap itu ditengarai
melibatkan beberapa pejabat penting di Kementerian Pertanian. Jika kemudian
para pejabat itu akhirnya menjadi tersangka juga, pasti citra PKS sebagai
partai kader yang selama ini ingin berdiri di garda depan melawan korupsi
akan semakin tergerogoti.
Para petinggi PKS banyak yang menggunakan
mekanisme ofensif dengan menyatakan bahwa kasus ini penuh konspirasi dan rekayasa.
Mekanisme pembelaan yang cenderung apologetis itu akan menjadi bumerang
yang kembali ke PKS, terlebih lagi selama ini KPK tidak gegabah menetapkan
seseorang menjadi tersangka sebelum ada bukti-bukti yang kuat. Justru, yang
perlu dilakukan oleh PKS ialah bagaimana mereka mengevaluasi model
politiknya selama ini dan memikirkan tentang masa depan partainya agar
tetap jaya pascatragedi ini.
Dilema
Politik PKS
Jika dibandingkan dengan partai-partai
politik lainnya, selama ini citra PKS sebetulnya memang lebih mempunyai
keunggulan. Ketika para kader di banyak partai lain tersandera oleh kasus
korupsi, kader PKS nyaris belum ada yang tercokok oleh KPK. Meskipun
beberapa waktu lalu ada kader PKS yang ditengarai terkena kasus korupsi,
itu belum terbukti di r KPK. Tidak mengherankan jika K kasus LHI
benar-benar menjadi tsunami politik yang mengguncang basis pertahanan PKS.
Konsekuensinya, banyak pihak yang langsung mencibir PKS sebagai partai yang
hanya pandai `berjubah agama' untuk meraup suara dan menarik simpati
rakyat, padahal praktik politiknya setali tiga uang dengan yang lainnya.
PKS sebetulnya punya modal politik (political resources) yang besar
untuk menjadi partai unggulan di masa depan. Pada Pemilu 2004, PKS adalah
satu-satunya partai Islam yang mampu menaikkan perolehan suaranya, di saat
suara partaipartai Islam lain stagnan. PKS juga menjadi partai Islam yang
mampu mempertahankan suaranya pada level presentasi yang sama dengan Pemilu
2009. Keberhasilan itu karena PKS punya strategi kampanye yang jitu dengan
mengusung tagline `bersih dan peduli'. Dukungan kader-kader di bawah yang
militan juga turut menyumbangkan suara yang signifikan pada PKS.
Pada awalnya, memang PK (Partai Keadilan)
yang kemudian bermetamorfosis menjadi PKS adalah contoh partai ideal yang
ingin mewujudkan Indonesia baru berdasar ideologi Islam dan semangat
reformasi. Idealitas itu didukung dengan fakta para pendiri dan aktivisnya
yang mayoritas berasal dari kalangan sarjana atau kalangan terdidik. PKS
yang pendiriannya didukung oleh jaringan gerakan tarbiah di Indonesia ini
mengadopsi model politik yang dikembangkan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir.
Namun, lambat laun seiring dengan
berjalannya waktu dan perkembangan politik di Indonesia yang sangat cepat
dan berbiaya mahal, tampaknya ada pergeseran juga dalam tubuh PKS. PKS
akhirnya tidak hanya berorientasi menjadi partai kader yang menitikberatkan
pada kualitas, tapi juga menjadi partai yang memburu kuantitas dan ikut
bergabung dengan kekuasaan.
Sebagaimana dikupas dalam disertasi Ahmad-Norma
Permata yang berjudul Islamist Party
and Democratic Participation: Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia
1998-2006 (2008), bahwa ada pergeseran itu. PKS telah bergeser dari
partai konservatif menjadi partai pragmatis yang ditandai dengan dominannya
the realist element ketimbang the idealist element. Dalam hal itu,
the party central office yang
mestinya memediasi dua sayap tersebut larut dalam arus perubahan ini. Pada
Pemilu 2004 dan 2009, partai ini berupaya meraup dukungan suara yang
banyak, tanpa banyak memperhatikan apakah pemilihnya itu paham dengan
ideologi partai ini atau tidak. Kedua sayap itu yang banyak terkenal di
luar sebagai faksi keadilan (idealis) dan faksi kesejahteraan (realis atau
pragmatis).
Dalam kondisi yang sedemikian itulah, PKS
mengalami dilema-dilema politik.
Sebagaimana dianalisis Burhanuddin Muhtadi dalam buku Dilema PKS: Suara dan
Syariah (2012). Dilema PKS untuk meraup suara yang banyak dan mengumpulkan
modal politik juga banyak terlihat dari akrobat-akrobat politiknya selama
ini. Meski PKS berada dalam kekuasaan, ia sering berperilaku standar ganda
seolah-olah sebagai partai oposisi. PKS yang katanya memperjuangkan
reformasi, menjelang Pemilu 2009 juga pernah terkena blunder karena
mengiklankan gelar kepahlawanan untuk Soeharto yang menjadi target utama
gerakan reformasi. Besar kemungkinan, kasus suap impor pada LHI ini adalah
akibat langsung dari dilema politik PKS yang membutuhkan biaya yang tidak
sedikit untuk mencapai targetnya sebagai partai tiga besar di Pemilu 2014.
Politik berbiaya tinggi yang saat ini menjadi tren di Indonesia tampaknya
sudah mulai merasuk dalam tubuh PKS juga.
Langkah
ke Depan
Ke depan, PKS bisa tetap mempertahankan
suaranya atau besar kemungkinan juga akan terpuruk. Itu semua bergantung
pada para pengurus dan aktivis PKS. Di saat pragmatisme politik menjadi
ideologi banyak partai, rakyat Indonesia tentu menunggu dan menanti sebuah
partai yang betul-betul bisa menjadi alternatif baru. Rakyat menginginkan
perubahan, tapi bukan pseudo perubahan dan pencitraan saja.
Pernyataan bahwa kasus LHI adalah
konspirasi akan menjadi kontraproduktif di mata rakyat dan seakan menentang
semangat pemberantasan korupsi. Akan lebih bijak jika pengurus PKS
melakukan halhal lain yang lebih produktif dan berorientasi masa depan.
Daripada sibuk membuat alibi-alibi politik, lebih baik melakukan
kerja-kerja politik untuk membangkitkan PKS dari keterpurukan.
Jika PKS ingin kembali meraup kejayaannya
kembali, penguatan ideologi dan semangat reformasi yang menjadi ciri khas
dan paradigma awalnya haruslah didengungkan dan ditegakkan kembali. Dengan
begitu, para kader PKS dan rakyat Indonesia percaya bahwa partai ini
berkomitmen melakukan pertaubatan sejati (taubatan nashuha) untuk Indonesia
yang lebih adil dan sejahtera.
Selain itu, PKS harus menunjukkan di depan
kader-kadernya bahwa partai ini serius mengusung slogan `bersih dan peduli'
dengan menerapkan pertama kali prinsip ini di rumahnya sendiri. Dengan
begitu, kader akan percaya dan basisbasis partai ini akan kembali bergerak
untuk meyakinkan publik bahwa partai ini bisa menjadi harapan di masa
depan. Tentu saja, semua pilihan-pilihan politik ini kembali ke para
pengurus dan kader PKS. Kita sekadar menyarankan saja. Wallahu A'lam bisshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar