Demi Harkat
dan Martabat Guru
Th Rosid Ahmad ; Mantan Ketua MGMP Bahasa Inggris SMK
Kota
(dan Eks Karesidenan) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 17 Januari 2013
"Kewibawaan hanya bisa hadir bila guru
punya perilaku mulia selaku pendidik dan pribadi yang layak diteladani"
Beragam kasus yang
melibatkan oknum guru dan mencoreng wajah pendidik sering tersaji lewat
media. Dalam hal wibawa, situasi sekolah zaman kakek-nenek kita sangat
berbeda. Ibarat bumi dan langit, begitu cerita mereka selama ini. Dulu, guru
amat disegani. Apa pun kata guru, murid melaksanakannya dengan patuh. Bukan
berarti kita ingin kembali ke zaman kuno tapi perlu menyadari tidak semua
yang kuno itu selalu buruk.
Prinsipnya, untuk bisa
berkarya dengan baik, guru mesti kompeten dan berwibawa. Kewibawaan hanya
hadir bila guru punya perilaku mulia selaku pendidik, dan pribadi yang layak
diteladani. Agar harkat dan martabat tetap terjaga, hindari tindakan kurang
terpuji dan perilaku tercela lain yang bisa merusak citra pendidik (meski itu
dilakukan di luar tembok sekolah).
Sementara guna
meningkatkan kompetensi diri, berbagai upaya bisa dilakukan melalui studi
lanjut, ikut program pelatihan, rajin membaca, juga bertanya pada mereka yang
lebih berpengalaman. Di luar itu, guru mesti berhati-hati menangani kasus
kecil yang cukup mengganggu, semisal siswa menyontek tanpa risi saat ujian
atau datang terlambat.
Yang cukup merisaukan, tak
sedikit faktor eksternal berimbas pada guru. Beberapa kebijakan yang terkesan
memanjakan murid, seperti ketentuan tak ada siswa drop-out karena biaya;
siswa harus lulus maksimal; atau hukuman disiplin tak boleh terlalu keras,
bisa saja mengundang masalah. Tidak jarang ini membuat guru takut memberi
sanksi meski pelanggaran berat telah terjadi.
Pada dasarnya, disiplin
tanpa sanksi tegas adalah non-sense, omong kosong. Bila sanksi tidak
diberikan, tindakan melawan aturan, dan benih-benih korupsi akan tumbuh
subur. Karena itu, ketentuan tidak boleh ada sanksi hukuman tegas terhadap
pelanggar disiplin layak dipertanyakan.
Ketika perilaku siswa
menyimpang dan melanggar aturan, sekolah akan memanggil orang tua untuk
membahas masalah secara kekeluargaan. Sayang, teramat sering panggilan
semacam itu tidak dipenuhi. Dampaknya, siswa tenang-tenang saja karena yakin
tak akan ada hukuman, apalagi secara fisik.
Wibawa
Hilang
Jika itu dilakukan,
bisa-bisa jadi bumerang. Nasib guru (dan keluarga) menjadi taruhan. Pernah
terjadi guru dilaporkan ke polisi gara-gara memberi hukuman yang dinilai
terlalu keras. Padahal ungkapan ”terlalu keras” itu subjektif dan relatif,
serta tidak selayaknya dipakai sebagai dasar untuk menghakimi guru.
Memang serbadilematis.
Bayangkan, disiplin berkali-kali dilanggar, peringatan pun berulangkali
diberikan tanpa tanggapan. Tapi ketika masalah berkembang menjadi kasus, yang
ramai menjadi berita justru tentang hukuman yang dinilai berlebihan.
Semua itu hanya sebagian
dari dampak kebijakan yang berisiko menggerogoti wibawa guru. Banyak contoh
lain bisa ditemukan dengan mudah di sekitar kita. Harus diakui, awalnya semua
kebijakan itu diciptakan demi tujuan baik. Semisal, tak boleh ada anak putus
sekolah karena biaya. Tujuannya jelas mulia, membela rakyat kecil. Agar
pendidikan berlangsung lancar, pemerintah memberi bantuan operasional sekolah
(BOS). Jika ternyata keluarnya dana seret, itu masalah lain.
Dalam tiap kebijakan
selalu terkandung celah yang bisa ditembus secara tidak bertanggung jawab.
Apa yang terjadi jika pelanggaran dibiarkan berlarut-larut tanpa tindakan
tegas? Boleh jadi murid lepas kendali dan situasi sekolah amburadul.
Akibatnya, guru dilecehkan, wibawa guru hilang, pendidikan tidak berlangsung
sebagaimana mestinya, akhirnya target pendidikan tidak tercapai.
Kiranya, lebih utama semua
pihak duduk bersama guna mencari solusi terbaik. Yang pasti, untuk bisa
mengajar dan mendidik dengan benar, guru mesti berwibawa. Terlepas dari
masalah pergantian kurikulum dan target sekolah, kendala yang mengadang
memang tidak ringan. Tapi guru yang bijak mampu bekerja secara cerdas dan
optimal untuk bertahan dari gempuran beragam kepentingan. Dengan begitu
mereka bisa berkontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar