Pengabdian
Ormas
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Desember 2012
ORGANISASI masyarakat (ormas) dibentuk pelopor
dan pendukung-pendukungnya sebagai pengabdian bagi masyarakat. Tanggal 9
bulan ini, ormas Nasional Demokrat (berdiri 1 Februari 2010), melantik dan
mengukuhkan pengurus kecamatan dan kelurahan se-DKI Jakarta, dihadiri sekitar
5.000 kadernya.
Dalam sambutannya, Ketua Umum Ormas Nasional
Demokrat Surya Paloh mengingatkan agar seluruh kader selalu ada dalam rel
perjuangan organisasi, yakni merestorasi Indonesia; mengembalikan cita-cita
Indonesia pada jalurnya. Diharapkan, seluruh kader mampu bertahan terhadap
godaan yang melunturkan semangat perubahan dan restorasi.
Penegasan itu perlu mengingat tantangan maupun
tentangan selalu menghadang gerakan perubahan. Masalahnya, integrasi
pemikiran di kalangan masyarakat tidak pernah sempurna. Fakta itulah yang
sering mengakibatkan ketidaksepakatan, yang berujung pada pro-kontra terhadap
gerakan perubahan. Tetapi faktanya, perubahan menjadi tuntutan karena menurut
para penggagasnya terdapat status quo situasi yang dianggap merugikan
masyarakat. Dirasakan perlu ada perubahan mindset.
Proses perubahan bisa berbentuk revolusi
disertai konflik dan kekerasan, atau dengan jalan damai berjangka panjang. Karena
tidak mengikat, besarkecilnya keanggotaan ormas bergantung pada programnya.
Kesetiaannya ditentukan oleh apakah program-program pengabdian untuk
masyarakat itu memuaskan batinnya atau tidak.
Sejarah Nasional
Setiap ideologi memerlukan program aksi. Para
intelektual di dalam ormas memainkan peran penting untuk menciptakan dan
mengelaborasi ideologi serta norma-norma sebagai panduan. Itulah yang
membedakan para kader dengan yang bukan kader. Nilai-nilai dan norma-norma
gerakan sosial dikomunikasikan kepada anggota dengan berbagai cara.
Sejak sebelum kemerdekaan, di Indonesia
bertumbuhan berbagai jenis ormas. Di antaranya tercatat dua ormas besar yang
sudah menjalankan kegiatan sekitar satu abad dan masih berdiri tegar sampai
sekarang.
Tersebutlah Persyarikatan Muhammadiyah,
diambil dari nama Nabi Muhammad SAW; sebuah ormas yang didirikan di
Yogyakarta satu abad yang lalu (18 November 1912), ketika KH Ahmad Dahlan
menyadari telah terjadi penyimpangan dalam proses dakwah, yang mengakibatkan
ajaran Islam bercampur dengan hal-hal mistik karena pengaruh kebiasaan di
daerah-daerah.
KH Ahmad Dahlan dan ormasnya berusaha
memurnikan ajaran Islam. Dilakukanlah berbagai cara integrasi pemikiran,
antara lain dengan usaha meningkatkan pengetahuan dan pendidikan umat Islam.
Dampak positifnya, telah berdiri banyak lembaga pendidikan di seluruh
Indonesia. Sejauh ini, Muhammadiyah telah membangun ribuan lembaga pendidikan
dari tingkat SD sampai dengan sekolah menengah, dan 172 perguruan tinggi;
selain juga mendirikan banyak rumah sakit dan panti asuhan.
Organisasi Islam besar lainnya, Nahdlatul
Ulama (NU) berdiri 31 Januari 1926, didahului dengan terbentuknya berbagai
organisasi embrional dan ad hoc sejak 1916. NU berdiri sebagai respons
kalangan pesantren terhadap gerakan Kebangkitan Nasional 1908. Pola pikirnya
mengambil jalan tengah, antara rasionalis dan skriptualis. Sumber
pemikirannya bukan hanya Alquran, sunah, tetapi juga kemampuan akal ditambah
realitas empirik. KH Hasyim Asy'arie menjabat ketua pertama NU.
Dalam programnya, NU membangun badan-badan
otonom, termasuk ikatan-ikatan pelajar dan mahasiswa dan lembagalembaga yang
berkaitan dengan bidang-bidang tertentu, antara lain pelayanan kesehatan,
perekonomian, pengembangan pertanian, penyuluhan dan bantuan hukum, maupun
pengembangan SDM NU. Kiprah para kader NU di bidang politik dapat dilihat
dari perolehan suara partai-partai yang diasosiasikan dengan NU, misalnya
PKBU, PKU, dan sebagian dari PPP.
Di forum Internasional
Sebelum pecah Perang Dunia II (1939-1945),
ketika Eropa sedang mempersiapkan kekuatan militernya, pendeta Frank Buchman
dari Oxford Group menegaskan keyakinannya, kerisauan dan kerusuhan masyarakat
pada dasarnya akibat krisis moral. Banyak negara harus memperkuat moral
masyarakatnya. “Pemulihan kekuatan
moral mengawali pemulihan ekonomi. Yang ditimbulkan bukan krisis, tetapi
keyakinan akan persatuan dalam tiap tahap kehidupan.“ Kampanye itu disampaikan
di London, Mei 1938.
Moral Re-Armament (MRA), ormas yang
didirikannya, mendapat dukungan banyak tokoh di Inggris. Ketika perang pecah,
banyak anggota ormasnya membantu tentara sekutu. Lain-lainnya bekerja untuk
meningkatkan moral dan mengatasi kemacetan di industri-industri yang
berkaitan dengan perang. Tentang mereka, Presiden Harry Truman dalam
konferensi pers 1943 di Washington menyatakan, “Ketika yang lain-lain hanya
menjadi penonton dan mengkritik, mereka menyingsingkan lengan baju dan bekerja.
Mereka be kerja bukan atas dasar prinsip `siapa yang benar' tetapi `apa yang
benar.'
Pada 1950-an dan 1960-an, kerja sosial MRA
menyebar ke seluruh dunia. Buchman menjadi pelopor inisiatif untuk banyak
umat. Katanya, “MRA menjadi jalan
ideologi yang diilhami Tuhan yang mempersatukan semua umat: Katolik, Yahudi,
dan Protestan, Hindu, Islam, Buddha dan penganut Kong Hu Chu-mereka menyadari
bahwa bisa berubah, jika perlu, dan berjalan bersama melalui jalan yang
benar.“
Gagasan Buchman waktu itu banyak menarik
perhatian negara-negara Afrika dan Asia yang sedang berjuang untuk merdeka
dari penjajah. Buchman memimpin MRA 23 tahun, sampai ajalnya 1961. Pada 2002
gerakan itu berubah nama menjadi Initiative of Change (IofC).
“I have a dream“, kata pejuang hak-hak
sipil Martin Luther King. Robert F Kennedy mengutip penulis Irlandia
George Bernard Shaw, “Some men see
things as they are and say, why? I dream things that never were and say, why
not?“ Keduanya adalah tokoh gerakan perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar