Transparansi
dan Akuntabilitas
versus
Intervensi di KPU
Burhanuddin Muhtadi ; Direktur
Komunikasi Publik Lembaga Survei Indonesia, Pengajar FISIP UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 November 2012
SETELAH sempat tertunda, akhirnya
hasil verifikasi administrasi partai calon peserta pemilu diumumkan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) pada 28 Oktober 2012. Penundaan peng umuman hasil
verifikasi administrasi itu menimbulkan rumor tak sedap terkait dengan isu
perpanjangan waktu bagi dua partai di parlemen yang ditengarai tidak memenuhi
persyaratan administrasi. Ke-18 partai yang tidak lolos juga menuding tidak
adanya transparansi mengapa partai mereka dinyatakan gagal melewati lubang
jarum.
Sukses tidaknya penyelenggaraan
pemilu sangat terkait dengan dua hal, yakni sukses proses dan sukses hasil.
Sukses proses terkait penyelenggaraan pemilu yang didasarkan pada asas
mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Untuk itu, penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu, mutlak mengedepankan
asas-asas tersebut.
Asas-asas itu harus tampak pada keseluruhan
proses pemilu. Menurut Guy S GoodwinGill, ada 10 rangkaian dalam proses
pemilu yang rentan mendatangkan masalah. Yakni, 1) sistem dan UU Pemilu; 2)
pembatasan konstituensi; 3) pengelolaan pemilu; 4) hak pilih; 5) pendaftaran
pemilih; 6) pendidikan kewarganegaraan dan informasi kepada pemilih; 7)
calon, partai, dan organisasi politik, termasuk pendanaan; 8) kampanye
pemilu, termasuk perlindungan dan penghormatan HAM, pertemuan-pertemuan
politik serta akses dan liputan media; 9) pencoblosan, pemantauan, dan hasil
pemilu; 10) penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa.
Jika diringkaskan, terdapat tiga
tahapan pemilu yang harus memenuhi prinsip akuntabilitas agar terjadi sukses
proses, yakni sebelum hari H pemilu, pada waktu pelaksanaan pemilu itu
sendiri, dan pascapemilu. Pada tahap prapemilu, proses verifikasi
administrasi dan faktual turut menentukan kesuksesan pemilu.
Beratnya
Persyaratan
Sebenarnya betapapun banyak jumlah
partai politik (parpol) yang tidak lolos verifikasi, asalkan verifikasi
dilakukan secara fair dan transparan, tentu takkan menimbulkan polemik
seperti sekarang. Hal itu mengingat beratnya syarat yang harus dipenuhi agar
bisa lolos tahap verifikasi administrasi.
Di antaranya syarat badan hukum
sesuai dengan UU tentang Partai Politik (Parpol). Awalnya, 14 partai baru
mendaftar ke Kementerian Hukum dan HAM untuk mendapatkan status badan hukum.
Saat itu diputuskan hanya satu partai, yakni Partai NasDem, yang memenuhi
persyaratan. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan bahwa
partai lama yang sudah berbadan hukum tak perlu mendaftar ke Kemenkum dan HAM
memberikan celah bagi partai baru yang tak lolos untuk melakukan ‘akuisisi’
terhadap partai lama sehingga bisa mengikuti tahap verifi kasi KPU. Padahal,
partai lama yang sudah berbadan hukum tersebut lolos berdasarkan UU lama yang
belum direvisi, sedangkan UU Parpol baru yang dijadikan dasar hukum Kemenkum
dan HAM untuk melakukan verifi kasi terhadap 14 partai anyar memang
meniscayakan syarat-syarat yang berat bagi partai baru yang ingin mendapatkan
legalitas.
Syarat berat lainnya ialah adanya
kepengurusan di seluruh provinsi dan 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi
yang bersangkutan serta 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan. Syarat tersebut juga menyertakan sekurang-kurangnya 30%
keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol.
Senjata Makan Tuan
Poin-poin tadi ditengarai
menjadi salah satu penyebab gagalnya 18 parpol lolos verifikasi administrasi oleh
KPU. Belum lagi syarat memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau
1/1.000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan parpol yang harus dibuktikan
melalui kepemilikan kartu tanda anggota, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan
pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir
pemilu, dan menyerahkan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama partai politik pada setiap kampanye
kepada KPU. Seluruh persyaratan tersebut harus dibuktikan dengan dokumen lengkap
yang valid.
Tak mengherankan jika beberapa
elite partai menduga KPU bekerja tanpa pandang bulu dalam mengecek
persyaratan yang berat, mungkin paling banyak 10 partai saja yang lolos
verifikasi administrasi. Jangankan partai baru atau partai nonparlemen,
sembilan partai yang lolos parliamentary threshold (PT) hasil pemilu 2009 pun
belum tentu melenggang mulus. Sadar bahwa persyaratan sebagai partai
kontestan pemilu begitu berat, kesembilan partai di DPR tak mau gagal
bertarung di 2014 gara-gara aturan yang mereka bikin sendiri. Awalnya
persyaratan tadi ditetapkan untuk `mengganjal' partai baru, tetapi belakangan
mereka sadar peraturan tersebut bisa menjadi `senjata makan tuan'.
Oleh karena itu, dalam revisi UU
Pemilu Legislatif No 8/2012 tercium aroma `persekongkolan' sembilan partai
yang duduk di DPR dengan memasukkan klausul partai-partai yang sudah lolos PT
tak perlu mengikuti verifikasi KPU. Syukurlah, golden ticket bagi
partai-partai yang sudah duduk di DPR itu kemudian dibatalkan oleh MK karena
dianggap melanggar asas keadilan bagi seluruh calon partai peserta pemilu. Semua
parpol yang mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilu 2014 wajib mengikuti
proses verifikasi di KPU.
Komisi II DPR tak patah arah. Mereka
sempat mewacanakan pembentukan tim pengawas yang memastikan proses verifikasi
KPU berlangsung sesuai prosedur. Meski pembentukan tim didasarkan pada alasan
agar KPU tak perlu raguragu memutuskan partai yang tak memenuhi syarat agar
tidak lolos verifi kasi, tim itu sendiri potensial menimbulkan konflik
kepentingan. Hal demikian karena sembilan partai yang duduk di DPR juga
berkepentingan agar mereka lolos sebagai peserta pemilu. KPU dikhawatirkan
tidak independen dalam memproses persyaratan yang melibatkan partaipartai
yang duduk di parlemen.
Selain itu, partai-partai di DPR
juga berkepentingan agar calon kompetitor baru mereka di 2014 nanti tak
terlalu banyak. Bisa saja Komisi II DPR melakukan intervensi agar KPU
bersikap terlalu `keras' terhadap partai-partai baru dan nonparlemen sehingga
kesulitan melalui proses verifikasi, tapi pada saat yang sama, KPU diminta
bersikap `lunak' terhadap sembilan partai di DPR yang sedang mengikuti tahap
menentukan lolos tidaknya sebagai kontestan pemilu 2014.
Karena itu, keputusan KPU dalam
menetapkan partai yang memenuhi persyaratan administrasi pada 28 Oktober 2012
yang lalu harus diteliti secara mendalam. Bawaslu harus meminta
pertanggungjawaban KPU mengapa terjadi penundaan pengumuman hasil verifikasi
administrasi. Benarkah terjadi intervensi dari dua partai yang duduk di DPR
agar diberi perpanjangan waktu melengkapi dokumen persyaratan pemilu?
Benarkah tudingan dari partai-partai yang tidak lolos bahwa KPU bertindak
diskriminatif? KPU dituntut transparan dan akuntabel dalam menjelaskan hasil
verifikasi tidak hanya terhadap faktor-faktor yang menyebabkan 18 partai
tidak lolos persyaratan administrasi, tapi juga harus meyakinkan kepada
publik bahwa 16 partai yang diputuskan lolos verifikasi benar-benar sudah
memenuhi semua persyarat an yang ditetapkan atau tidak.
Atensi publik juga patut diberikan
terhadap tahapan berikut nya, yakni verifikasi faktual. Pada tahap ini, ke-16
partai yang su dah diputuskan lolos administrasi harus mengikuti verifikasi
faktual di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Proses tersebut untuk
menguji kebenaran semua persyaratan yang sudah dilampirkan di tahap
sebelumnya.
Karena melibatkan proses panjang
yang masif dan berjenjang, transparansi dan independensi KPU menjadi wajib.
KPU harus memastikan bahwa komisioner dan tim yang melakukan verifikasi
faktual, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota harus
imparsial dalam melaksanakan tugas. Mereka tak boleh luntur oleh bujuk rayu
dan godaan dari ke-16 partai yang persyaratannya sedang dicek secara empiris.
Dalam melakukan verifi kasi faktual
keanggotaan parpol, misalnya, KPU kabupaten/kota harus melakukan verifi kasi
dengan metode sampel acak sederhana atau sensus. Proses penarikan sampel acak
sederhana melibatkan 10% dari seluruh nama anggota partai pada suatu
kepengurusan di kabupaten/kota terhadap keanggotaan partai yang lebih dari
100 orang anggota. Jika ada kongkalikong antara petugas dari KPU dan parpol
tertentu, hasil verifi kasi faktual akan cacat. Misalnya, sampel yang
kebenarannya akan dicek, tetapi dibocorkan sebelum didatangi, tentu akan
memberikan keuntungan bagi parpol yang akan diuji. Untuk itu, integritas KPU
dalam melaksanakan verifikasi faktual menjadi pertaruhan besar seberapa independen
mereka dalam melaksanakan tugas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar