Selasa, 06 November 2012

Problematika Hubungan Kelembagaan BUMN


Problematika Hubungan Kelembagaan BUMN
Sunarsip ;  Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA, 05 November 2012



Beberapa hari terakhir ini, pemberitaan terkait BUMN, khususnya yang menyangkut hubungan kelembagaan BUMN (termasuk Kementerian BUMN) dengan DPR tampak begitu dominan. Di sisi lain, isu-isu yang menyangkut kinerja BUMN seolah luput dari perhatian. Misalnya, apakah target laba BUMN tahun ini sekitar Rp 145 triliun tercapai? Bagai - mana perkembangan restruktur- isasi BUMN, seperti rightsizing (termasuk pembentukan holding company), privatisasi, serta likuidasi BUMN-BUMN yang sekarat? Apakah target-target ini masih on track?

Pada dasarnya, penting untuk memberikan perhatian besar pada hal-hal yang menyangkut hubungan kelembagaan BUMN. Tentunya, pembahasan ini semestinya menyangkut hal-hal yang substansial dan dengan target yang terukur. Seperti pemberitaan media massa, saya kira pembahasan isu hubungan kelembagaan ini masih sporadis dan cenderung politis.

Banyak hal yang lebih substansial yang semestinya menjadi fokus perhatian terkait dengan pembenahan hubungan kelembagaan ini. Dalam berbagai kesempatan, hal ini telah saya tulis di harian Republika meski terpisah dalam berbagai artikel. Setidaknya, pembenahan hubungan kelembagaan BUMN ini dapat kita lakukan pada tiga sisi, yaitu (i) hubungannya dengan Kementerian Keuangan selaku pemegang saham dan pemegang kekuasaan fiskal, (ii) dengan kementerian sektoral terkait, dan (iii) hubungannya dengan institusi nonpemerintah, khususnya DPR.

Perlu diketahui bahwa berdasarkan UU Keuangan Negara, pemilik sesungguhnya BUMN adalah menteri Keuangan. Kemudian, kepemilikan ini dikuasakan kepada menteri BUMN (melalui UU BUMN). Nah, model hubungan kepemilikan seperti ini ternyata masih menyisakan masalah, sejauh mana menteri BUMN dapat mengeksekusi seluruh kebijakan dalam konteks dirinya sebagai pemegang kuasa kepemilikan BUMN?

Saya berpendapat, model hubungan kepemilikan seperti ini sejatinya baik karena memisahkan antara hal-hal yang terkait dan aspek fiskal serta korporasi BUMN. Tetapi, saya melihat bahwa proses birokrasinya perlu disederhanakan dan diperjelas batas-batas kewenangannya. Karena, faktanya, model ini masih menjadi penghambat proses restrukturisasi BUMN.

Sebagai contoh, proses restrukturisasi BUMN melalui program rightsizing. Kalau pemerintah bersedia jujur, sesungguhnya belum mengalami kemajuan. Sedangkan, rencana pembentukan holding BUMN lainnya masih terhambat, salah satunya karena perizinan dari menteri Keuangan, termasuk pula proses birokrasi dalam penentuan dividen.

Dividen BUMN merupakan penerimaan penting bagi APBN. Karena itu, bagi APBN, penting adanya kepastian proyeksi penerimaan dividen BUMN. Sedangkan, bagi BUMN juga penting adanya kepastian untuk kesinambungan usaha, terutama untuk strategi bisnis ke depan. Karena itu, perlu dirumuskan kem bali bagaimana proses birokrasinya agar kepentingan yang sejatinya bertolak belakang ini dapat ditemukan jalan keluar.

Di luar masalah dividen, sejumlah BUMN juga masih menghadapi masalah terkait dengan piutang negara di BUMN (yang dulu disalurkan melalui subsidiary loan agreement/SLA). Beberapa BUMN saat ini kondisinya sekarat. Salah satu penyebabnya adalah belum terselesaikannya status SLA ini. Tingginya utang SLA menyebabkan BUMN terkait tidak bankable sehingga sulit mendapatkan pendanaan eksternal. Mengapa, misalnya, SLA ini tidak dikonversi menjadi (modal) ekuitas pemerintah? Sehingga, melalui konversi ini, laporan keuangan BUMN menjadi sehat dan terdapat ruang bagi BUMN untuk mendapatkan pendanaan eksternal.

Hubungan kelembagaan BUMN dengan kementerian sektoral juga diperjelas. Ini mengingat, meski UU BUMN telah secara tegas mengatur bahwa pengelolaan korporasi BUMN merupakan kewenangan menteri BUMN, tetapi sesungguhnya "intervensi" sektoral ke dalam kebijakan korporasi masih terasa. Hingga kini, sejumlah kementerian sektoral seolah masih menempatkan dirinya sebagai pemilik BUMN. Padahal, sejak berlakunya UU Keuangan Negara dan UU BUMN, pemilik BUMN adalah menteri Keuangan yang dikuasakan kepada menteri BUMN, bukan lagi menteri sektoral.

Terakhir, terkait hubungan kelembagaan BUMN dengan DPR, yang perlu diperjelas adalah sejauh mana DPR me - miliki kewenangan masuk dalam kebijakan BUMN. Apakah kewenangan DPR ter- hadap BUMN sampai ke level kebijakan korporasi? Saya berpendapat, akan menjadi preseden kurang baik bila DPR terlalu jauh masuk ke dalam hal-hal teknis BUMN.

Kebijakan korporasi BUMN semestinya merupakan kewenangan BUMN karena merekalah yang lebih memiliki keahlian secara profesional untuk menjalankan kebijakan korporasi. Saya berpendapat, akan lebih elegan bila DPR fokus pada monitoringkinerja BUMN secara makro dan hal-hal yang menyangkut fiskal yang terkait dengan BUMN, seperti penentuan dividen, privatisasi BUMN, dan penyer- taan modal negara (PMN). Hal lain terkait dengan hubungannya dengan DPR adalah proses birokrasi terkait kebijakan privatisasi BUMN.

Kebijakan privatisasi BUMN kini masih menjadi sorotan, khususnya yang menyangkut hasil privatisasi yang dinilai kurang optimal. Padahal, tidak optimalnya hasil privatisasi, sering kali disebabkan tidak match-nya persetujuan privatisasi dengan waktu privatisasi BUMN.

Saya pernah mengusulkan model privatisasi di Jerman yang melaksanakan privatisasi BUMN dengan three step process, yaitu (i) persetujuan parlemen, (ii) BUMN dijual ke holding BUMN milik Jerman (KfW), dan (iii) KfW baru menjual saham BUMN tersebut ke pasar ketika harganya sudah tinggi (Republika, 22 November 2010 dan 30 Agustus 2007). Dengan skema ini, Pemerintah Jerman diuntungkan. Sebab, sebagian besar value added privatisasi kembali ke pemerintah. Setiap penjualan saham BUMN dapat dilakukan pada momentum pasar yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar