Rabu, 07 November 2012

Realitas Korupsi Pengadaan


Realitas Korupsi Pengadaan
Reza Syawawi ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 06 November 2012
  

Di Indonesia, korupsi seolah menemukan tempat yang paling nyaman. Di tengah bobroknya sistem kekuasaan, di situlah ruang terjadinya gelombang reproduksi korupsi. Dalam kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak lembaga ini dibentuk telah menangani banyak kasus yang mayoritas berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa. Jika dikalkulasi, persentase kasus korupsi pengadaan menempati urutan teratas (70-80%) dari keseluruhan kasus korupsi di sektor lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ada sistem pengadaan yang memang bermasalah dan menimbulkan ruang korupsi. Di samping itu, penegakan hukum dalam beberapa kasus juga mengalami kemandekan akibat kuatnya intervensi politik.
Korupsi Sistemik
Kejahatan korupsi di sektor pengadaan bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri, tetapi ia timbul akibat sistem yang saling memberi ruang untuk berlaku korup. Akibatnya, korupsi di sektor pengadaan akan selalu menjadi barometer korupsi terbesar yang diungkap oleh penegak hukum. Berbagai aturan dimunculkan untuk menghambat laju korupsi di sektor pengadaan, baik melalui jalur penindakan (represif) maupun melalui jalur pencegahan (preventif). Namun faktanya, korupsi di sektor pengadaan tetap saja menjadi kejahatan yang berulang.
Ada banyak kasus kekinian yang dapat dirujuk, misalnya dugaan korupsi dalam proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang, Bogor. Proyek ini menimbulkan banyak keanehan, misalnya berkaitan dengan kenaikan anggaran yang sangat signifikan dari Rp 125 miliar menjadi Rp 1,2 triliun dalam APBN 2010 (Koran Tempo edisi 22 Oktober 2012). Perubahan anggaran ini tentu saja masih berada dalam konteks perencanaan anggaran. Sepertinya ada desain dalam penyusunan anggaran yang secara "sengaja" memberikan ruang transaksional bagi para pengambil kebijakan, di situ ada peran DPR dan pemerintah.
Jika dikaitkan dengan modus di perencanaan anggaran, praktek persekongkolan dalam tender adalah kelanjutan dari praktek sebelumnya. Jika pemenang tender telah ditetapkan di awal, proses tender yang terlihat normal sebetulnya hanyalah rekayasa untuk memperlihatkan seolah-olah tender berjalan normal. Modus lain yang juga marak terjadi dalam proses perencanaan anggaran terkait dengan pengadaan adalah dengan memunculkan "skenario" untuk menetapkan siapa yang akan mengerjakan proyek pengadaan tersebut. Dalam prosedur pengadaan, ini bisa dianggap sebagai bagian awal dari persekongkolan dalam pemenangan tender. Kasus pengadaan Al-Quran yang menyeret anggota DPR setidaknya memperlihatkan bahwa "skenario" itu memang terjadi dan dilakukan.
Ketika masuk tahapan pengadaan, modusnya pun beragam. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator ujian SIM di Korlantas Polri, misalnya. Ada dugaan terjadinya penggelembungan harga (mark-up) oleh penyedia yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Selain mark-up, modus yang sering kali dilakukan adalah penunjukan langsung atas penyedia barang dan jasa. Memang ada ketentuan yang membolehkan dilakukannya penunjukan langsung, tetapi dalam prakteknya sering kali menyalahi prosedur. Kasus korupsi pengadaan mesin jahit di Kementerian Sosial (sebelumnya Departemen Sosial), yang telah berbuah vonis, menjadi salah satu contoh kasus penunjukan langsung yang menyalahi prosedur tersebut.
Semua fakta ini menunjukkan bahwa korupsi pengadaan adalah kejahatan yang sangat sistemik, ada banyak skenario yang digunakan dari hulu hingga hilir. Maka strategi kuncinya ada dua, yaitu, pertama, meninjau ulang dan memperbaiki sistem penganggaran, dari proses perencanaan hingga penetapan anggaran. Kedua, memperkuat materi dan status pengaturan pengadaan yang telah ada. Proses pengadaan yang baik tentunya tidak hanya untuk menjamin terselenggaranya pemilihan pemenang secara fair, tapi juga menjadi jaminan bagi kualitas hasil pengadaan.
Aktor Kunci
Pemetaan aktor kunci menjadi bagian awal dalam menuntaskan permasalahan dalam kegiatan pengadaan. Kekeliruan dalam pemetaan aktor justru hanya akan menyelesaikan persoalan secara parsial tanpa menyentuh akar masalah. Dalam penuntasan kasus korupsi di sektor pengadaan, setidaknya ada dua lini tempat aktor-aktor tersebut bermain. Pertama, di proses perencanaan anggaran, aktornya ada pemerintah (pusat dan daerah) serta legislatif (DPR pusat dan daerah). Jika terjadi "persekongkolan" dalam bujet pengadaan, aktor yang harus bertanggung jawab adalah kedua lembaga ini. Dalam beberapa kasus, pihak swasta juga ikut terlibat dalam proses ini, walaupun melalui pertemuan-pertemuan informal dan sudah pasti transaksional.
Kedua, berkaitan dengan proses pengadaan itu sendiri, aktornya tentu saja organisasi pengadaan. Secara umum, organisasi pengadaan terdiri atas pengguna anggaran (PA)--biasanya dijabat oleh pemimpin lembaga/institusi--kemudian kuasa pengguna anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan atau biasa disebut panitia pengadaan, Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, serta penyedia barang dan jasa (swasta).
Jika ditemukan penyimpangan dalam proses ini, maka inilah aktor-aktor yang seharusnya bertanggung jawab secara hukum. Dalam beberapa kasus, memang banyak terlihat adanya upaya yang justru melokalisasi pada aktor tertentu saja. Dalam dugaan korupsi proyek P3SON, Hambalang, upaya itu setidaknya mulai terlihat dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. Indikasi ini terlihat dari menghilangnya nama-nama orang yang seharusnya bertanggung jawab. Misalnya, ada upaya menghilangkan nama Andi Mallarangeng sebagai PA dalam proyek ini (Koran Tempo edisi 22 Oktober 2012).
Dengan adanya peta aktor ini, setidaknya sudah mulai terbuka tabir yang selama ini melingkupi sulitnya membongkar kasus korupsi di sektor pengadaan. Prinsipnya, semua aktor harus bertanggung jawab atas setiap penyelewengan yang terjadi dalam lingkup tugas dan kekuasaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar