Realitas
Korupsi Pengadaan
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency
International Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 06 November 2012
Di Indonesia,
korupsi seolah menemukan tempat yang paling nyaman. Di tengah bobroknya
sistem kekuasaan, di situlah ruang terjadinya gelombang reproduksi korupsi.
Dalam kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
sejak lembaga ini dibentuk telah menangani banyak kasus yang mayoritas
berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa. Jika dikalkulasi, persentase
kasus korupsi pengadaan menempati urutan teratas (70-80%) dari keseluruhan
kasus korupsi di sektor lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ada sistem
pengadaan yang memang bermasalah dan menimbulkan ruang korupsi. Di samping
itu, penegakan hukum dalam beberapa kasus juga mengalami kemandekan akibat
kuatnya intervensi politik.
Korupsi Sistemik
Kejahatan korupsi di sektor pengadaan bukanlah
kejahatan yang berdiri sendiri, tetapi ia timbul akibat sistem yang saling
memberi ruang untuk berlaku korup. Akibatnya, korupsi di sektor pengadaan
akan selalu menjadi barometer korupsi terbesar yang diungkap oleh penegak
hukum. Berbagai aturan dimunculkan untuk menghambat laju korupsi di sektor
pengadaan, baik melalui jalur penindakan (represif) maupun melalui jalur
pencegahan (preventif). Namun faktanya, korupsi di sektor pengadaan tetap
saja menjadi kejahatan yang berulang.
Ada banyak kasus kekinian yang dapat
dirujuk, misalnya dugaan korupsi dalam proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan,
dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang, Bogor. Proyek ini
menimbulkan banyak keanehan, misalnya berkaitan dengan kenaikan anggaran yang
sangat signifikan dari Rp 125 miliar menjadi Rp 1,2 triliun dalam APBN 2010
(Koran Tempo edisi 22 Oktober 2012). Perubahan anggaran ini tentu saja masih
berada dalam konteks perencanaan anggaran. Sepertinya ada desain dalam
penyusunan anggaran yang secara "sengaja" memberikan ruang
transaksional bagi para pengambil kebijakan, di situ ada peran DPR dan
pemerintah.
Jika dikaitkan dengan modus di perencanaan
anggaran, praktek persekongkolan dalam tender adalah kelanjutan dari praktek
sebelumnya. Jika pemenang tender telah ditetapkan di awal, proses tender yang
terlihat normal sebetulnya hanyalah rekayasa untuk memperlihatkan seolah-olah
tender berjalan normal. Modus lain yang juga marak terjadi dalam proses
perencanaan anggaran terkait dengan pengadaan adalah dengan memunculkan
"skenario" untuk menetapkan siapa yang akan mengerjakan proyek
pengadaan tersebut. Dalam prosedur pengadaan, ini bisa dianggap sebagai
bagian awal dari persekongkolan dalam pemenangan tender. Kasus pengadaan
Al-Quran yang menyeret anggota DPR setidaknya memperlihatkan bahwa
"skenario" itu memang terjadi dan dilakukan.
Ketika masuk tahapan pengadaan, modusnya
pun beragam. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator ujian SIM di
Korlantas Polri, misalnya. Ada dugaan terjadinya penggelembungan harga
(mark-up) oleh penyedia yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Selain mark-up, modus yang sering kali
dilakukan adalah penunjukan langsung atas penyedia barang dan jasa. Memang
ada ketentuan yang membolehkan dilakukannya penunjukan langsung, tetapi dalam
prakteknya sering kali menyalahi prosedur. Kasus korupsi pengadaan mesin
jahit di Kementerian Sosial (sebelumnya Departemen Sosial), yang telah
berbuah vonis, menjadi salah satu contoh kasus penunjukan langsung yang
menyalahi prosedur tersebut.
Semua fakta ini menunjukkan bahwa korupsi
pengadaan adalah kejahatan yang sangat sistemik, ada banyak skenario yang
digunakan dari hulu hingga hilir. Maka strategi kuncinya ada dua, yaitu,
pertama, meninjau ulang dan memperbaiki sistem penganggaran, dari proses
perencanaan hingga penetapan anggaran. Kedua, memperkuat materi dan status
pengaturan pengadaan yang telah ada. Proses pengadaan yang baik tentunya
tidak hanya untuk menjamin terselenggaranya pemilihan pemenang secara fair,
tapi juga menjadi jaminan bagi kualitas hasil pengadaan.
Aktor Kunci
Pemetaan aktor kunci menjadi bagian awal
dalam menuntaskan permasalahan dalam kegiatan pengadaan. Kekeliruan dalam
pemetaan aktor justru hanya akan menyelesaikan persoalan secara parsial tanpa
menyentuh akar masalah. Dalam penuntasan kasus korupsi di sektor pengadaan,
setidaknya ada dua lini tempat aktor-aktor tersebut bermain. Pertama, di
proses perencanaan anggaran, aktornya ada pemerintah (pusat dan daerah) serta
legislatif (DPR pusat dan daerah). Jika terjadi "persekongkolan"
dalam bujet pengadaan, aktor yang harus bertanggung jawab adalah kedua
lembaga ini. Dalam beberapa kasus, pihak swasta juga ikut terlibat dalam
proses ini, walaupun melalui pertemuan-pertemuan informal dan sudah pasti
transaksional.
Kedua, berkaitan dengan proses pengadaan
itu sendiri, aktornya tentu saja organisasi pengadaan. Secara umum,
organisasi pengadaan terdiri atas pengguna anggaran (PA)--biasanya dijabat
oleh pemimpin lembaga/institusi--kemudian kuasa pengguna anggaran (KPA),
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan atau biasa disebut panitia
pengadaan, Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, serta penyedia barang dan jasa
(swasta).
Jika ditemukan penyimpangan dalam proses
ini, maka inilah aktor-aktor yang seharusnya bertanggung jawab secara hukum.
Dalam beberapa kasus, memang banyak terlihat adanya upaya yang justru
melokalisasi pada aktor tertentu saja. Dalam dugaan korupsi proyek P3SON,
Hambalang, upaya itu setidaknya mulai terlihat dalam hasil audit Badan
Pemeriksa Keuangan. Indikasi ini terlihat dari menghilangnya nama-nama orang
yang seharusnya bertanggung jawab. Misalnya, ada upaya menghilangkan nama
Andi Mallarangeng sebagai PA dalam proyek ini (Koran Tempo edisi 22 Oktober
2012).
Dengan adanya
peta aktor ini, setidaknya sudah mulai terbuka tabir yang selama ini
melingkupi sulitnya membongkar kasus korupsi di sektor pengadaan. Prinsipnya,
semua aktor harus bertanggung jawab atas setiap penyelewengan yang terjadi
dalam lingkup tugas dan kekuasaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar