Selasa, 06 November 2012

Agar Politik Upeti Berhenti


Agar Politik Upeti Berhenti
Mohammad Nasih  Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ serta pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat
JAWA POS, 06 November 2012



DAHLAN Iskan menyebut bahwa ada anggota DPR yang meminta upeti kepada BUMN dan kemarin dua nama diserahkan ke Badan Kehormatan DPR. Sontak, hal tersebut membuat sebagian politisi Senayan seolah mendapatkan sengatan yang sangat menyakitkan. Namun, sesungguhnya apa yang dikatakan Dahlan tidaklah salah. Juga tidaklah berlebihan.

Praktik menjadikan BUMN sebagai sapi perah oleh politisi sesungguhnya terjadi sejak lama. Hanya, perlu ditambahkan bahwa yang menjadikan BUMN sebagai sapi perah bukan hanya politisi yang menjabat di lembaga legislatif. Bahkan, biasanya yang menjadikannya demikian adalah politisi yang mendapatkan posisi di lembaga eksekutif dan di lingkungan Kementerian BUMN itu sendiri.

Keinginan Menteri Dahlan untuk menjadikan Kementerian BUMN sebagai institusi yang bersih tentu saja merupakan keinginan yang sangat positif. Dan itu merupakan langkah yang sangat maju untuk membebaskan BUMN dari tangan-tangan politisi jahat yang ingin menyedot kekayaan negara dalam jumlah yang sangat fantastis.

Dengan cara itu, diharapkan Kementerian BUMN memperoleh keberhasilan sebagaimana PLN di bawah kepemimpinan Dahlan. Jika BUMN terbebas dari tangan-tangan jahat yang menjadikannya sebagai sapi perah, keuntungan yang dihasilkan BUMN akan bisa digunakan untuk menopang keuangan negara. Dengan demikian, defisit keuangan negara bisa terbantu dan tentu saja bisa mengurangi beban utang.

Sebelumnya, bisa dikatakan BUMN selalu dijadikan sebagai salah satu "sapi perah" politisi. Politisi merasa perlu untuk menyediakan kapital finansial dalam jumlah besar untuk memenuhi biaya politik yang dalam sistem demokrasi yang makin liberal sekarang ini menjadi semakin mahal. Namun, karena partai politik tidak memiliki amal usaha yang bisa menghasilkan dana, sebagian politisi kemudian menggunakan kekuasaan mereka untuk mendapatkan keuntungan walaupun harus menempuh cara-cara ilegal.

Budaya politik upeti sesungguhnya tidak hanya terjadi di BUMN. Bisa dikatakan di hampir semua lini kekuasaan yang basah terjadi tindakan sogok-menyogok. Itu terbukti dengan banyaknya pejabat yang tertangkap tangan oleh KPK sedang melakukan tindak penyuapan. Kalau menggunakan logika bahwa yang tertangkap oleh aparat hukum adalah fenomena gunung es, praktik tersebut sesungguhnya ada dengan jumlah yang jauh lebih banyak lagi.

Masyarakat, Sadarlah

Jika praktik haram itu tidak segera dihentikan, ia akan semakin membudaya dalam penyelenggaraan negara. Tentu saja itu akan menyebabkan negara mengalami defisit anggaran dan pada gilirannya akan menyebabkannya mengalami keruntuhan. Menghentikannya tidak bisa hanya melalui surat edaran, tetapi harus secara nyata dengan tindakan. Juga tidak hanya oleh satu pihak, melainkan harus dilakukan berbagai pihak yang memiliki tali-temali secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan praktik-praktik pemberian upeti terjadi. Ada beberapa kondisi yang harus ada agar praktik upeti bisa hilang atau setidaknya berkurang.

Pertama, struktur-struktur negara, baik eksekutif maupun legislatif, diisi para pejabat yang menjadi penyelenggara negara bukan karena ingin mendapatkan -apalagi menambah jumlah- harta kekayaan. Mereka, baik pejabat karir maupun politisi, haruslah orang-orang yang menjalani hidup sebagai pejabat negara karena panggilan untuk mengabdikan hidup kepada negara. Dengan demikian, mereka akan menjadi orang-orang yang tidak risau dengan ada atau tidaknya kekuasaan di tangan mereka.

Kekuasaan bagi mereka hanyalah alat untuk memberikan, bukan mendapatkan. Jika yang menjadi pejabat adalah mereka yang ingin memperkaya diri atau merasa mulia hanya jika memiliki kekuasaan besar, yang akan terjadi adalah melakukan segala macam cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Dan salah satu cara yang paling lazim dalam mendapatkan dan mempertahankannya adalah melakukan praktik suap atau memberikan upeti kepada mitra atau pihak-pihak tertentu yang dianggap bisa memuluskan jalan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.

Kedua, diperlukan para pejabat yang terbiasa dengan kehidupan asketis. Kehidupan asketis adalah kehidupan yang sederhana, tidak menjadikan capaian-capaian yang semata-mata material sebagai ukuran kesuksesan hidup. Pandangan bahwa praktik korupsi terjadi karena besaran gaji atau penghasilan yang kecil adalah pandangan keliru dan menyesatkan. Tidak ada jaminan pula bahwa mereka yang memiliki gaji atau penghasilan besar kemudian menjalani kehidupan yang bersih sebagai pejabat.

Nyatanya, para pejabat yang melakukan korupsi adalah mereka yang sesungguhnya telah hidup bergelimang harta kekayaan. Kecenderungan untuk menambah harta kekayaan agar bisa hidup bermewah-mewahlah yang menyebabkan mereka terdorong untuk mengambil harta kekayaan yang bukan hak mereka. Motif itu telah dilihat sejak lama oleh ilmuwan besar Ibnu Khaldun. Karena itulah, remunerasi tidak pernah menjadi solusi untuk meniadakan praktik korupsi.

Ketiga, masyarakat harus mulai menyadari bahwa praktik politik telah terbukti merugikan mereka sendiri. Jika mereka memilih wakil atau pemimpin karena uang, yang akan tampil menjabat adalah mereka yang korup. Orang-orang yang mau menyuap bisa dikatakan pastilah juga orang-orang yang mau disuap. Kalau sebagian politisi menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan cara merugikan keuangan negara demi memperoleh modal untuk menghadapi pemilu, seharusnya rakyat mulai berpikir ulang untuk memilih calon-calon yang benar-benar memiliki track record baik, bukan sekadar karena memberikan uang menjelang pemilu.

Rakyat harus menjadikan dua periode politik terakhir sebagai pelajaran berharga bahwa politik uang telah menghancurkan peradaban politik. Budaya politik uang menjadi jalan yang sangat lempeng bagi politisi jahat untuk dengan sangat mudah memperoleh kekuasaan. Politisi jahat tidak ambil peduli tentang asal usul uang yang mereka gunakan untuk biaya politik. Yang penting mereka bisa mendapatkannya, kemudian menggunakannya untuk "membeli" pemilih. Akibatnya adalah kerusakan politik yang saat ini bisa disaksikan dengan mata telanjang. Wallahu a'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar