Kamis, 01 November 2012

Presiden Kaum Muda 2014


Presiden Kaum Muda 2014
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 30 Oktober 2012



Dengan semakin dekatnya pemilu 2014, masalah kepemimpinan Republik semakin gencar diwacanakan. Beriringan dengan itu, wacana tentang perlu tampilnya kaum muda untuk memimpin Republik digelontorkan, bahkan kerap berubah menjadi desakan.
Bahwa tampilnya “kaum muda”, mewakili Zeitgeist (jiwa zaman), baru telah memiliki titik urgensi untuk memimpin Republik ini. Mengingat dunia baru-zaman baru dengan kompleksitas baru niscaya membutuhkan pengalaman baru dan harapan baru dengan terobosan-terobosan baru.
Wacana tentang perlu tampilnya kaum muda ini juga dilatarbelakangi oleh situasi politik di seputar pemilu di era modern yang senantiasa berlangsung dalam jiwa zaman baru, di mana di dalamnya selalu ada aneka perubahan radikal dan transformasi besar dan memengaruhi iklim politik.
Zeitgeist baru ini diwarnai perkembangan abad teknologi-digital, masyarakat jaringan sosial dan teknologi, virtualitas politik, dan arus percepatan tempo kehidupan yang terus berubah, yang membutuhkan derap langkah budaya politik, ekonomi, dan hukum baru.
Pro-Kontra
Setiap kali muncul wacana tentang perlu tampilnya pemimpin Republik dari kalangan kaum muda, selalu muncul pula selentingan pro dan kontra.
Dari kalangan kaum tua, misalnya, jika ditanya, apakah perlu Republik ini dipimpin kaum muda, jawaban yang diperoleh umumnya berupa sindiran bahwa kaum muda belum saatnya tampil memimpin Republik ini. Alasan klise dan standar bahwa kaum muda belum berpengalaman dalam pemerintahan.
Sebaliknya, jika pertanyaan yang sama diajukan kepada kaum muda, umumnya jawaban yang diperoleh adalah bahwa pengalaman merupakan sesuatu yang relatif. Pengalaman tidak mungkin diperoleh jika tidak pernah diberikan kesempatan untuk memimpin dan menimba pengalaman.
Lagi pula, dalam memimpin parpol saja kaum muda jarang sekali diberi kesempatan untuk memimpin. Jika dicermati, Republik ini pun didirikan oleh para tokoh yang sebagian besar relatif masih muda usia. Bung Karno diangkat menjadi presiden pada usia 46 tahun. Bung Hatta diangkat menjadi wakil presiden saat masih berusia 43 tahun. Pak Harto juga menjadi presiden berusia 44 tahun.
Pertanyaan kita adalah kenapa kaum muda diharapkan tampil memimpin Republik? Jawabannya, kalau pun kepemimpinan Republik pasca-2014 akan kembali ditampilkan kaum tua, apalagi seperti yang sudah muncul ke permukaan: Megawati, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie, jelas kemampuan mereka tidak akan berbeda dengan kondisi sekarang.
Arah perjalanan bangsa ini pun sudah bisa ditebak mau dibawa ke mana. Perubahan bangsa yang diharapkan pun dapat diyakini tidak dapat berjalan semestinya dan secara signifikan sesuai dengan harapan publik.
Persoalannya, hakikat dasar kekuasaan itu begitu nikmat dan menggiurkan—seperti kata filsuf Friederich Nietzsche—sehingga selalu menggoda siapa pun untuk mengejar, meraih, dan merengkuhnya.
Mereka yang sudah berkuasa pun bisa lupa diri untuk terus berkuasa alias tidak mau turun dari kekuasaannya. Itu bisa kita lihat betapa sulitnya Bung Karno dan Pak Harto turun dari kursi kekuasaan, lantaran begitu menikmatinya.
Lalu, apakah dengan demikian kaum tua rela membiarkan kursi kekuasaan itu direbut dan digenggam oleh kaum muda? Dari perspektif itu, tentu saja kekuasaan itu tidak akan diizinkan oleh kaum tua untuk diperebutkan dan digenggam kaum muda.
Jika kaum muda ingin mendapatkan kursi kekuasaan sebagai pemimpin Republik, itu harus diperjuangkannya, bukan mengharapkan diberikan begitu saja apalagi sebagai hadiah. Ingat, sejarah kekuasaan juga mengisahkan bahwa kekuasaan itu hadir karena diperebutkan, baik secara halus lewat pemilu yang demokratis, maupun lewat revolusi yang berdarah-darah.
Dalam situasi politik bangsa yang berjalan normal seperti sekarang ini, kita tentu tidak membutuhkan jalan revolusi untuk menemukan hadirnya seorang pemimpin yang dapat menggerakkan roda pergerakan bangsa.
Lagi pula, perebutan kekuasaan lewat jalan kekerasan atau jalan revolusi, bukan zamannya lagi. Ini karena jalan tersebut cermin bebalisme dan barbarisme dan kepicikan alias irasionalitas. Maka, yang dibutuhkan adalah rekayasa politik demokratik yang memungkinkan dapat tampilnya pemimpin dari kalangan kaum muda.
Misalnya, parpol harus membuka peluang bagi tampilnya kaum muda untuk memimpin Republik. Parpol harus menciptakan regenerasi kepemimpinan kebangsaan yang baik.
Mengapa parpol? Karena regulasi konstitusi UUD 1945 Pasal 6A Ayat 2, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Hingga kini belum ada amendemen (atau judicial review) di Mahkamah Konstitusi agar calon independen dapat bertarung di jalan perebutan kekuasaan pemimpin Republik.
Dengan pemberian peluang seperti itu, rakyat diberi kesempatan memilih pemimpin dari kaum nama pun, bukannya dipaksa atau diarahkan hanya untuk memilih kaum tua. Pemberian kesempatan kepada kaum muda untuk tampil memimpin Republik oleh parpol tidak lain sebagai bentuk kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan parpol.
Ingat, sulit tampilnya kaum muda di pentas kepemimpinan nasional karena kegagalan parpol dalam melakukan kaderisasi. Kegagalan parpol itu karena tradisi kepartaian di Indonesia masih dominan dengan tradisi feodal, oligarkis, dan transaksional. Tradisi tersebut memang lekat dengan kuatnya politik figur dan minimnya upaya mentransformasikan politik figur.
Peluang Kaum Muda
Karena kekuasaan itu harus “diperjuangkan” alias “diperebutkan” maka kaum muda harus memperjuangkannya untuk mendapatkannya. Karena perebutan kekuasaan itu ibarat menghadapi tembok tebal, usaha pertama adalah merobohkan tembol tebal itu.
Kalau lewat parpol, kaum muda harus berjuang agar kebiasaan mendahulukan ketua umum menjadi capres yang umumnya dari kaum tua harus dihilangkan. Kaum muda harus membangun citra politik dalam parpol agar mereka dapat mengajukan dirinya untuk menjadi capres.
Kedua, jika halangannya di dalam konstitusi, perjuangan kaum muda adalah mendesak agar segera diamendemen konstitusi agar calon independen dapat diberikan kesempatan untuk bertarung.
Karena itu, kaum muda pun bebas mencalonkan diri lewat jalur independen. Sayang bahwa ini tidak mungkin dilakukan sekarang ini, alias pintu sudah tertutup bagi calon independen mengingat pemilu 2014 sudah tidak lama lagi.
Jika itu tidak diperjuangkan, kita akan kembali menghadapi masalah yang sama setiap kali ketika mewacanakan tentang perlu tampilnya kaum muda untuk memimpin Republik.
Untuk menggapai harapan itu, wacana tentang perlu tampilnya kaum muda ini perlu terus-menerus digelontorkan, dan ditambah sejumlah langkah progresif yang dibangun kaum muda sendiri, dengan dukungan agenda-agenda yang visioner demi menarik simpatik publik untuk ikut berjuang menempatkan kaum muda di garis terdepan kepemimpinan Republik.
Tentu saja peran pers menjadi sangat penting dibutuhkan untuk mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin dari kaum muda. Karena zaman baru dengan Zeitgeist yang terus berubah cepat, kita sangat membutuhkan pemimpin yang lebih “terbuka”, “lentur”, “dinamis”, “adaptif”, “lincah”, dan “kreatif”, yang memang lebih menjadi sifat dasar dan jiwa kaum muda. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar