Kamis, 01 November 2012

Masih Adakah Harapan?


Masih Adakah Harapan?
S Sagala Tua Saragih ;  Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad
SINAR HARAPAN, 31 Oktober 2012



Masih adakah harapan hidup di negeri ini? Bila ada, apa yang masih bisa kita harapkan? Apa dasarnya kita berharap? Siapakah yang masih bisa kita harapkan untuk memperbaiki negara ini? Berbagai peristiwa dan realitas buruk di negeri ini dan fenomena jelek kita di luar negeri, membuat kita sebagai bangsa nyaris putus asa alias bunuh diri.

Tak terhitung lagi jumlah aksi kekerasan terhadap musuh yang dinilai berbeda dalam prinsip-prinsip kehidupan, terutama agama, budaya, dan ras/suku bangsa.
Tragedi di Sampang, Madura, baru-baru ini merupakan contoh teraktual. Perbedaan prinsip menimbulkan konflik, lalu ini diselesaikan dengan main hakim sendiri. Biasanya yang—tampaknya—menang adalah kelompok mayoritas. Jangan tanya, masih adakah Polri?

Dalam musim angkutan Lebaran baru-baru ini, dalam tempo dua minggu saja, terjadi lebih 5.000 kecelakaan lalu lintas. Hasilnya? Hampir 1.000 pemudik (sebagian besar pengguna sepeda motor) tewas sia-sia, lebih 1.500 orang luka berat (mungkin sebagian akan cacat permanen), dan lebih 5.000 orang luka ringan. Ini angka yang tercatat di kantor-kantor Polri.

Kita tak tahu jumlah korban lalu lintas yang tak terlaporkan ke kantor Polri. Angka korban lalu lintas selama musim angkutan Lebaran tahun ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

Bayangkan, andai kata jumlah korban yang sangat besar itu terjadi gara-gara belasan pesawat terbang bertabrakan di udara atau menabrak gunung-gunung dan gara-gara belasan kapal laut bertabrakan lalu tenggelam.

Bayangkan, 5.000 orang tewas gara-gara flu burung, misalnya. Selama berminggu-minggu tragedi itu pastilah menjadi berita besar di semua negara dan pemerintah menyatakannya sebagai bencana nasional. Lalu semua penduduk diperintahkan mengibarkan bendera hitam setengah tiang selama dua minggu.

Oleh karena beribu-ribu orang itu tewas secara cicilan setiap jam di berbagai tempat di jalan darat, terutama di Pulau Jawa (umumnya mereka dari kelas bawah), maka pemerintah dan warga masyarakat negeri ini tidak merasa terguncang keras dan berdukacita yang mendalam. Tragedi demi tragedi di jalan raya dianggap sebagai hal yang lumrah.

Memang ajal mereka itu telah tiba. Mereka menganggapnya sebagai kehendak Allah. Jangan bertanya, masih adakah Polri dan pemerintah (Kementerian dan Dinas Perhubungan)? Juga jangan tanya, ke mana akal sehat para pemudik Lebaran tersebut?

Soal korupsi? Tiap hari kita dibuat muak oleh berita-berita korupsi, terutama yang dilakukan oleh para pejabat yang seharusnya memberantas korupsi.
Berita yang paling memuakkan kita pastilah institusi negara penegak hukum (Polri) yang seharusnya memberantas korupsi, justru sengaja melawan penegak hukum lainnya (Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) untuk melindungi para pejabat tinggi Polri yang diduga korupsi dalam proyek pengadaan simulator kemudi untuk ujian Surat Izin Mengemudi senilai Rp 196,87 miliar. Jangan bertanya, di manakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?

Masih sangat hijau dalam ingatan kita prestasi buruk para atlet Indonesia di Olimpiade London. Dengan biaya lebih Rp 40 miliar, 22 atlet mewakili 240 juta penduduk republik ini, menempatkan Indonesia di peringkat ke-63 (sama dengan Malaysia yang berpenduduk cuma 35 juta jiwa).

Hanya atlet angkat besi yang berhasil meraih sekeping medali perak (oleh Triyatno) dan sekeping medali perunggu (oleh Eko Yuli Irawan). Di Olimpiade Beijing (2008), Indonesia berada di peringkat ke-42 berkat prestasi para atlet meraih satu medali emas, satu medali perak, dan tiga medali perunggu.

Penderitaan Indonesia di Olimpiade London disempurnakan oleh tindakan yang sangat memalukan (main sabun, sengaja mengalah) pasangan bulu tangkis putri kita (Greysia Polii-Meiliana Jauhari) sewaktu berhadapan dengan pasangan Korea Selatan, dengan alasan untuk menghindari pasangan putri China (Wang Xiaoli-Yu Yang) di babak perempat final.

Mungkin kita merasa sangat malu memperbandingkan prestasi para atlet kita dengan prestasi para atlet Jamaika.

Negara sangat kecil, miskin (pendapatan per kapitanya hanya US$ 4.750), dan berpenduduk kurang-lebih cuma 3 juta jiwa itu, di Olimpiade London 2012 berhasil meraih empat medali emas, empat medali perak, dan empat pula medali perunggu, sehingga mereka sanggup menduduki peringkat ke-18.

Kita pun tak perlu bertanya apa dan mana pertanggungjawaban Menteri Pemuda dan Olahraga serta para pejabat KOI, KONI, dan persatuan cabang-cabang olahraga yang turut di Olimpiade London? Di negeri ini tidak populer pertanggungjawaban para penanggung jawab.

Gara-gara ketamakan, bermiliar-miliar rupiah jatah lebih 30 juta rakyat miskin telah dirampok oleh ribuan koruptor, dari kelas teri hinga kelas hiu. Akibatnya, sepertiga atau sekitar 7,6 juta anak di negeri ini tergolong kerdil (tinggi badan mereka di bawah ambang batas normal yang terendah) (Koran Tempo, 15/8).

Kemiskinan

Akibat lainnya, meskipun telah 67 tahun merdeka, ternyata lebih dari 30 juta (lebih dari 12 persen) penduduk Indonesia masih miskin. Bila digunakan standar miskin buatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), angka ini bisa lebih dua kali lipat.

Karena miskin, berjuta-juta anak buta pengetahuan dasar, tak mampu bersekolah, terpaksa putus sekolah, dan tak sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Karena miskin, mereka tak bersekolah, sehingga mereka tetap bodoh.

Karena tak bersekolah, mereka tetap miskin, bahkan semakin miskin dengan segala dampak buruk ikutannya. Ini lingkaran setan yang tak pernah bisa dipatahkan oleh pemerintah. Bayangkan, sebuah distrik yang memiliki 70 
kampung di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua, sama sekali tidak memiliki sekolah dasar (Media Indonesia, 19/7).

Gara-gara kerakusan para koruptor, Indonesia berada di peringkat kelima dunia dalam hal gizi buruk. Pada 2030, sebagian besar penduduk negeri ini berusia produktif (20-55 tahun). Ini disebut masa emas demografi yang biasanya terjadi hanya sekali dalam usia sebuah bangsa.

Akan tetapi bagaimana mungkin mereka kelak bisa sangat produktif (mendongkrak pertumbuhan ekonomi kita) bila sewaktu dalam rahim ibu hingga anak berusia di bawah lima tahun (balita) menderita gizi buruk? Mungkinkah mereka yang sangat kekurangan gizi menjadi mesin penggerak perekonomian nasional?

Di antara 23 juta penduduk berusia Balita Indonesia terdapat delapan juta (35 persen) menderita gizi buruk kategori stunting (hampir separuh anak berumur balita memiliki badan lebih pendek daripada standar tinggi badan anak Balita seusia mereka alias ukuran badan normal anak balita).

Dari 23 juta anak berumur balita itu, terdapat 900.000 bayi (3,91 persen) menderita gizi buruk. Tingkat kecerdasan anak yang menderita gizi buruk berada 13-15 angka di bawah angka kecerdasan normal ketika mereka memasuki usia sekolah (berumur sekitar enam tahun). Di semua provinsi (33), sebanyak 10.000 ibu meninggal saat melahirkan setiap tahun.

Sebanyak 150.000 anak berumur balita meninggal pula setiap tahun. Sebanyak 5.000-10.000 kelahiran bayi di Tanah Air per tahun menderita gangguan pendengaran gara-gara rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi (selama hamil mereka tak mengonsumsi makanan bergizi bagus).

Kemampuan membaca dan matematika anak yang mengalami gangguan pendengaran lebih rendah 1-4 kelas dibandingkan dengan anak berpendengaran normal. Akibatnya, tingkat kepandaian mereka pun mentok di kelas 3-4 sekolah dasar (Tempo, 22 Juli 2012).

Sudah lama terbukti bahwa orang-orang bodoh selalu menjadi makakan lezat orang-orang pintar. Orang-orang lemah senantiasa menjadi korban eksploitasi orang-orang kuat.Orang-orang miskin menjadi santapan orang-orang kaya.

Simaklah data ini. Dari kurang-lebih 230 juta penduduk negeri ini, 146 juta (63 persen) di antaranya tergolong perokok aktif. Sebanyak 84,8 persen perokok aktif di negeri ini tergolong miskin atau sangat miskin (berpenghasilan kurang dari Rp 20.000 per hari).

Sebanyak 429.948 kematian yang berkaitan dengan rokok terjadi tiap tahun di Indonesia atau 1.172 perokok meninggal setiap hari. Tak kurang dari Rp 1,5 triliun diraup oleh 10 perusahaan televisi, 165 majalah, dan 103 koran dari iklan rokok.

Fakta lainnya: sebanyak 91,7 persen anak berusia 13-15 tahun mulai merokok akibat pengaruh iklan rokok. Hampir semua (99,7 persen) anak Indonesia pernah/sering sekali melihat iklan rokok di layar televisi, dan 68 persen di antara mereka berkesan positif terhadap rokok. Sebanyak 71 persen keluarga Indonesia memiliki satu perokok di dalam setiap keluarga.

Sebesar 12,43 persen pengeluaran orang Indonesia tersedot untuk belanja rokok. Bagi mereka merokok enam kali lipat lebih penting daripada untuk keperluan pendidikan dan kesehatan. Sebanyak 66 perokok pasif di Indonesia adalah perempuan, padahal umumnya perempuan kawin dan melahirkan anak (Tempo, 3 Juni 2012). Tak tersangkal, ini jelas merupakan ancaman besar bagi masa depan Indonesia.

Kini Indonesia berada di peringkat ketiga dunia dalam hal pemasaran narkoba. Negeri ini menjadi pasar subur, besar, dan empuk bagi para pedagang narkoba internasional, padahal harganya naik puluhan kali lipat dari negara asalnya. 

Sebanyak 3,8 juta (2,2 persen) penduduk negeri ini, sebagian di antaranya masih anak (di bawah 18 tahun), mengonsumsi narkoba. Sebanyak 5,1 juta penduduk Indonesia diperkirakan mengonsumsi narkoba tahun ini.

Pada periode Januari-November 2011 saja, tak kurang dari Rp 28 miliar dibelanjakan untuk narkoba. Sebanyak 90 persen risiko penularan HIV dari pemakaian narkoba melalui jarum suntik.

Pada 1997, tindak pidana narkoba di Indonesia baru 602 kasus, sedangkan tahun lalu melonjak 4.000 persen menjadi 26.500 kasus. Sebanyak 52-75 persen penghuni penjara di Aceh terpidana narkoba, sebagian di antaranya anak-anak (Tempo, 8 Juli 2012). Tak dapat disangkal, ini merupakan ancaman besar bagi bangsa dan negara kita.

Kita kembali ke pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan ini. Masih adakah harapan hidup di negeri ini? Bila ada, apa yang masih bisa kita harapkan? Apa dasarnya kita berharap? Siapakah yang masih bisa kita harapkan untuk memperbaiki negara ini?

Jawabnya: kita (warga masyarakat) sendiri. Jangan pernah berharap kepada pemerintah pusat dan daerah, DPR dan DPRD, Parpol-parpol, para politikus, para rohaniwan, para aktivis LSM, serta lainnya! SDM (selamatkan diri masing-masing) dengan bekerja keras, gigih, dengan mengandalkan pertolongan Tuhan! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar