Kamis, 01 November 2012

Pendidikan dan Logika Kemajuan


Pendidikan dan Logika Kemajuan
Sauqi Futaqi ;  Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 01 November 2012


Dunia pendidikan terutama perguruan tinggi (PT) saat ini mulai digelisahkan oleh banyak kalangan lantaran ketidakmampuannya merespon kemajuan zaman. Pendidikan seperti kehilangan perannya sebagai modalitas untuk memajukan bangsa. Bahkan menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, banyak lulusan PT bukannya menjadi aset bangsa, melainkan menjadi beban negara baik dalam kapasitas maupun moralitasnya. Tidak sedikit di antara mereka justru terjerumus pada sikap hedonisme, menganggur dan tidak bisa memanfaatkan ilmu yang diperolehnya dari universitas.
Barangkali berangkat dari fakta itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana merevisi kurikulum pendidikan tinggi untuk menyesuaikan dengan dunia kerja. Perubahan tersebut diharapkan bisa memperkuat dunia industri. Menurut Wamendikbud Bidang Pendidikan Musliar Kasim, ada tiga poin penting dalam pembelajaran di pendidikan tinggi yang akan direvisi, di antaranya terkait dengan attitude, skill, dan knowledge, disingkat ASK kurikulum.
Dari sini, muncul pertanyaan mendasar yang perlu didiskusikan lebih jauh. Pertama, apakah benar pendidikan erat kaitannya dengan dunia kerja atau Industri? Kedua, pantaskan pendidikan dianggap sebagai penyebab tingginya jumlah pengangguran? Dan, ketiga, apakah kemajuan hanya bisa dicapai melalui pendidikan?
Mari dilihat masing-masingnya. Pertama, kalau pendidikan selalu dikaitkan dengan dunia kerja, pendidikan tidak ada bedanya dengan pelatihan atau kursus. Jika demikian, kenapa untuk mengakses pendidikan perlu waktu sedemikian lama, misalnya hanya untuk bekerja di perusahaan minuman di bagian produksi ataupun administrasi. Apakah tidak cukup dalam waktu singkat melalui pelatihan terkait produksi dan administrasi, yang umumnya hanya bersifat teknis-praktis.
Kedua, jika pendidikan dianggap sebagai penyebab pengangguran, bukankah menganggur dan tidaknya ditentukan oleh tersediannya lapangan kerja. Ambil contoh lulusan Fakultas Ekonomi, dengan jumlah lulusan yang jauh lebih banyak dibanding kesempatan bekerja dan tersedianya lapangan kerja, apakah mungkin semuanya langsung bisa terserap ke dalam dunia kerja atau industri. Disamping itu, bukankah masalah pengangguran sebenarnya lebih dekat dengan kebijakan politik-ekonomi sebuah negara.
Terakhir, sebenarnya itu menyangkut persoalan yang mengandung konsekuensi yang lebih kompleks, karena kesalahan dalam memahami kemajuan akan berpengaruh pada semua aspek, baik material maupun non-material. Kemajuan dalam aspek material pun belum terukur secara jelas, sehingga pendidikan yang diarahkan untuk mencapai kemajuan pun ukurannya tidak jelas. Begitu juga kemajuan dalam aspek non-material, ketika pendidikan dijalankan dalam rangka meningkatkan kemajuan pada aspek non-material, pendidikan akan semakin sukar untuk diarahkan pada pencapaian kemajuan tersebut. Dengan demikian, yang perlu diluruskan sebenarnya adalah logika kemajuan yang selama ini dipahami oleh kebanyakan orang.
Pada umumnya, logika kemajuan didasarkan pada ukuran kemajuan sebagaimana dicapai dunia Barat. Sehingga hakikat kemajuan adalah kemajuan Barat. Itulah, kenapa pendidikan ikut-ikutan memburu standar internasional yang secara subtansial tidak bisa dijadikan tolak ukur. Akibatnya, logika kemajuan justru semakin membingungkan dan mengaburkan pendidikan itu sendiri.
Ketika kemajuan yang diharapkan adalah kemajuan Barat, beberapa negara mulai gelisah lantaran semakin terkikisnya nilai-nilai lokal yang sudah sekian lama menjadi dasar dalam kehidupan. Disamping itu, ketika semuanya terlena melihat kemajuan pembangunan yang notabene bersifat fisik-materialistik, mereka kemudian mulai mencari barang yang berharga (nilai) yang telah hilang bersama arus modernitas dan globalisasi, yang disebut sebagai sebuah kehampaan (the globalization of nothing) oleh George Ritzer. Dengan me-ngikuti gemerlap kemajuan pembangunan di atas kemudian orang mulai jenuh, bosan, krisis jati diri, lalu orang mulai mempertanyakan lagi apa yang seharusnya dicapai oleh setiap manusia.
Akibat dominasi logika kemajuan itulah kenapa pendidikan di tanah air selalu diarahkan pada pencapaian-pencapaian pembangunan di atas. Jargon-jargon pendidikan bermunculan, seperti pendidikan bermutu unggul, sekolah unggulan, RSBI, PT berstandar ISO, dan lainnya, yang hal ini semakin membuktikan bahwa pendidikan sudah kehilangan tujuannya yang hakiki.
Meski demikian, kemajuan yang disederhanakan pada pembangunan secara fisik-materialistik pada kenyataannya telah diterima sebagai standar utama dalam melihat keberhasilan pendidikan. Pendidikan selalu mengandung ungkapan pengangguran dan beban Negara. Pendidikan selalu menjadi salah satu penyebab gagalnya pembangunan bangsa secara fisik-materialistik.
Pendefinisian ini bisa jadi sangat sempit ketika pendidikan hanya berorientasi pada kemajuan sebagaimana yang disepakati negara-negara maju (Barat). Bukankah pendidikan jauh berbeda dengan pelatihan. Begitupun ketika kemajuan didefinisikan sebagai kemajuan dalam batiniahnya, yang dalam hal ini akan berpengaruh pada sikap, mental, dan spiritual seseorang, tentu kemajuan sebuah negara akan berbeda penilaiannya.
Singkatnya, pendidikan harus sinergis dengan logika kemajuan. Kemajuan tidak boleh disederhanakan hanya pada pencapaian fisik-materialistik, tetapi juga menyangkut nonfisik-spiritualistik. Selain itu, yang perlu diperhatikan bahwa tugas utama pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi lahiriah dan batiniah manusia. Kedua potensi tersebut harus menjadi acuan untuk mendefinisikan kemajuan yang hendak dicapai. Pendidikan akan kehilangan perannya yang hakiki ketika pendidikan itu dipacu hanya untuk memenuhi kuota di dunia kerja atau industri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar