Meraih Kembali
Keutuhan ASEAN
Makarim Wibisono ; Ekonom Senior di CIDES dan the Habibie Center
|
KOMPAS,
20 November 2012
Ibu
kota Kamboja, Phnom Penh, kembali menerima para tamu agung peserta KTT ASEAN
bersama negara mitra dialognya. Di
samping pemimpin negara-negara ASEAN, akan hadir pula Presiden AS Barack
Obama, PM China Wen Jiabao dan PM Jepang Yoshihiko Noda. Persiapan perhelatan
begitu serius meski bangsa Kamboja tengah berkabung dengan wafatnya mantan
Raja Norodom Sihanouk.
PM
Hun Sen sebagai Ketua ASEAN berupaya agar KTT ASEAN kali ini berlangsung
sukses guna memperbaiki citra Phnom Penh akibat kegagalan dalam hal komunike
bersama tentang Laut China Selatan, Juli lalu. Targetnya, dicanangkannya tiga
inisiatif, yang telah dimatangkan sebelum KTT ASEAN dimulai 18 November 2012.
Kemitraan
Ekonomi
Pertama,
diresmikannya perundingan untuk menyepakati The Regional Comprehensive
Economic Partnership (RCEP). Dalam KTT ini, para pemimpin ASEAN akan
meresmikan mekanisme RCEP yang melibatkan ASEAN dengan enam negara mitra.
Secara operasional, mereka akan memulai perundingan awal tahun depan guna
mencapai kesepakatan kemitraan ekonomi dengan skala terbesar dunia. Proses
melibatkan 10 negara ASEAN bersama mitranya, seperti Australia, China, India,
Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan.
Gagasan
RCEP sebenarnya telah disetujui di KTT Bali 2011. Kali ini fokusnya adalah
operasionalisasi RCEP yang bertujuan mengonsolidasi Free Trade Agreements (FTA)
yang telah ditandatangani ASEAN dengan mitra dialognya agar dapat
menyederhanakan prosedur perdagangan dan mendorong arus dagang dan investasi
ke wilayah ASEAN. Ini untuk mendorong kelahiran FTA tunggal ASEAN dengan
mitra dialognya. Pasar tunggal secara matematis akan melibatkan tiga miliar
penduduk dunia dengan produk domestik bruto keseluruhan 17 triliun dollar AS.
Dalam konteks ini, para pemimpin ASEAN diharapkan dapat menyepakati batas
akhir dari pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 sehingga proses berjalan
seiring dengan upaya menuju pasar tunggal Asia Pasifik.
Deklarasi
HAM
Kedua,
para pemimpin ASEAN akan menandatangani pernyataan bersama untuk meluncurkan
Deklarasi HAM ASEAN (The ASEAN Human Rights Declaration). Pernyataan berisi
janji menghormati dan melindungi HAM sejalan dengan pengembangan demokrasi,
tertib hukum, dan tata kelola yang baik.
Deklarasi
HAM ASEAN juga menegaskan, komisioner ASEAN Intergovernmental Commission for
Human Rights akan berjuang mewujudkan secara penuh rasa harga diri dan
mencapai kualitas hidup penduduk ASEAN secara lebih baik. Deklarasi ini
dianggap capaian istimewa (milestone) karena dapat mendorong proses
demokratisasi anggota ASEAN seperti di Myanmar.
Duta Besar Rosario Manalo
dari Filipina menyatakan, negara-negara Indochina dan Myanmar ikut serta
dalam konsensus ini sehingga keputusan ASEAN mengenai HAM jadi bulat dan
dengan sendirinya mengikat secara moral.
Meski
demikian, aktivis dan LSM HAM di Indonesia, ASEAN, ataupun internasional
mengkritik deklarasi HAM ASEAN ini. Phil Robertson dari Human Rights Watch
menyatakan, secara tertulis deklarasi masih di bawah standar internasional
dan bisa dimanfaatkan pemerintah ASEAN guna membenarkan tindak kekerasan
kepada warganya.
Navi
Pillay, komisioner HAM PBB asal Afrika Selatan, mengungkapkan kegalauannya
melihat proses perumusan deklarasi tanpa melalui konsultasi publik secara
memadai. Pokok kekhawatirannya terutama pada kata- kata bahwa HAM dan
kebebasan fundamental dapat dibatasi untuk memenuhi keperluan keamanan nasional,
ketertiban umum, kesehatan rakyat, keamanan publik, dan moralitas umum.
Pengertian ini kian dilunturkan dengan rumusan kalimat bahwa penghormatan dan
perlindungan HAM harus memperhitungkan konteks nasional dan regional seraya
mempertimbangkan latar belakang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya,
sejarah, dan agama yang berbeda. Pillay mengimbau Ketua ASEAN dan pemimpin
ASEAN lain menunda adopsi Deklarasi HAM ASEAN.
Rekonsiliasi
Ketiga,
pengumuman kelahiran The ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (AIPR).
Pasal 22, 23, dan 24 dari Piagam ASEAN yang diadopsi pada 2007 telah meminta
agar negara-negara ASEAN mencari mekanisme penyelesaian sengketa antaranggota
ASEAN secara damai dan dapat diterima semua pihak di ASEAN. Memang benar
bahwa Treaty of Amity and Cooperation (TAC) telah memiliki high council yang
dirancang sebagai forum penyelesaian sengketa antarnegara ASEAN secara damai.
Namun, pada kenyataannya, sengketa antarnegara ASEAN pada masa lalu
diselesaikan melalui forum Mahkamah Internasional (International Court of
Justice) atau Dewan Keamanan PBB. Berarti, high council belum berfungsi
sesuai harapan.
Maka,
KTT Phnom Penh akan meresmikan kelahiran AIPR yang berkedudukan di Indonesia.
AIPR diharapkan dapat melakukan studi mengenai akar permasalahan yang
mendorong lahirnya konflik di ASEAN. Dengan pengetahuan ini diharapkan AIPR
dapat membuat langkah pencegahan konflik, menjadi penengah konflik, menjadi
pemantau proses perdamaian, ataupun terlibat dalam pembangunan wilayah
konflik agar perdamaian dapat berkelanjutan (post-conflict peace building).
Meski
demikian, perhatian delegasi ataupun pengamat akan tertuju pada bagaimana
Kamboja menangani masalah Laut China Selatan yang telah menggagalkan
kesepakatan dalam Pertemuan ARF, Juli lalu. Para menteri dalam konferensi
tingkat menteri Juli lalu gagal mencapai kesepakatan untuk pertama kalinya
sejak kelahiran ASEAN 45 tahun lalu mengenai sengketa Laut China Selatan.
Tumpang tindih klaim antara China, Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam di
samping Taiwan telah mendorong macetnya pembahasan mengenai rumus komunike
bersama soal tersebut. Kamboja dikritik berbagai pihak terlalu mengakomodasi
kepentingan China sehingga membahayakan keutuhan ASEAN. Sebagai Ketua ASEAN,
Kamboja diharapkan melakukan manuver lebih asertif untuk memelihara
solidaritas dan keutuhan ASEAN sambil mencari kesepakatan politik bersama.
Patut
dicatat, telah beredar rancangan kode perilaku (code of conduct) di Laut China Selatan sebagai perkembangan baru.
Dalam rancangan itu dimasukkan elemen mengenai pencegahan konflik dan
pengelolaan sengketa wilayah maritim. Dalam konteks ini diperlukan kelincahan
ASEAN agar China bersedia duduk bareng membahas rancangan sebagai buah nyata
pelaksanaan The Declaration on the
Conduct of Parties in the South China Sea yang ditandatangani pada 2002.
ASEAN sebagai wilayah yang berkembang pesat telah menarik perhatian
negara-negara besar dunia seperti AS dan China yang ingin mengembangkan
pengaruh di kawasan ini. Selama empat dekade, ASEAN berkembang menjadi
negara-negara Asia Tenggara yang bersatu secara kohesif. Dengan demikian,
dalam tiap kesempatan penting, seperti ASEAN+1, ASEAN+3, dan KTT Asia Timur,
ASEAN selalu mengadvokasi sentralitas ASEAN.
Hal
itu melahirkan platform ASEAN yang nyaman, imparsial, dan jauh dari cara-cara
kekerasan, misalnya dalam bentuk TAC, ZOPFAN, dan SEANWFZ. Indonesia sebagai
negara dengan wilayah terbesar, penduduk terbanyak, dan PDB tertinggi di ASEAN
perlu berusaha habis-habisan meraih kembali keutuhan ASEAN yang sangat
penting maknanya bagi tegaknya Komunitas ASEAN pada 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar