Senin, 05 November 2012

Menyetop Praktik Busuk Politikus

Menyetop Praktik Busuk Politikus
Tasroh ;  Pegiat Banyumas Policy Watch dari Purwokerto,
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
SUARA MERDEKA, 05 November 2012



"Perlu mendorong pemerintah untuk menolak segala bentuk modus yang menjadikan BUMN sebagai sapi perah"

MENTERI BUMN Dahlan Iskan mengatakan pemalakan oleh anggota DPR menjadi penyebab kegagalan sebagian besar BUMN strategis menjadi perusahaan berkelas. Data di kementerian itu (2012) menyebut 60% dari 49 BUMN strategis menjadi ATM secara sistemik bagi sejumlah politikus Senayan. Akibatnya, badan usaha yang semestinya bisa ikut menyejahterakan rakyat karena menjadi pundi-pundi pendapatan negara malah buntung alias selalu tekor.

Pakar ekonomi Didik J Rachbini juga memastikan bahwa kerugian finansial dan kredibilitas saat ini terus melanda BUMN. Konon tiap tahun ada dana segar senilai sekitar Rp 9 triliun  dari BUMN masuk ke kantong ’’genderuwo’’, termasuk politikus Senayan. Akibatnya, Pertamina, Bulog, PLN, Telkom, BUMN pertambangan, perkebunan, dan perbankan sebagai BUMN strategis pemerintah, tiap tahun terus merugi.

Di sisi lain, negara/ pemerintah terus bernyanyi tentang kepayahan mengurus subsidi untuk rakyat, seperti tarik ulur pemberian subsidi pupuk untuk petani, subsidi BBM untuk nelayan, subsidi ekonomi untuk UMKM, dan aneka subsidi berlanskap kerakyatan lainnya. Negara selalu berteriak tidak ada anggaran negara untuk menyubsidi rakyat kecil. Realitasnya pemerintah terus menggelontorkan dana segar untuk menyubsidi BUMN.

Kenapa BUMN kita justru terlihat lebih setia ’’melayani’’ sejumlah politikus Senayan? Bagaimana seharusnya pemerintah bertindak cepat menyetop perilaku buruk itu? Kisah BUMN menjadi sapi perah anggota DPR bukan cerita baru. Pernyataan Dahlan Iskan merupakan titik kulminasi atas kemerebakan praktik penggerogotan BUMN justru oleh wakil rakyat.

Mengapa seperti terjadi pembiaran? Tadaru Hamada, pakar ekonomi dari Kyoto University dalam Politician Beyond State Enterprises (2009) menyebutkan bahwa fenomena perusahaan negara menjadi mainan bisnis politikus juga terjadi di negara maju.

Dia menyebut Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman pernah mengalami hal serupa, apalagi setelah dunia politik menjadi salah satu hotbed baru percepatan kapitalisme sempit oleh politikus busuk.

Di Jepang tahun 1980-an, Nakamura Tadashi, politikus dari Partai Demokrat digosipkan memalak Shindai Inc sehingga BUMD di prefektur Shindai itu terus merugi. Padahal  data pasar menunjukkan perusahaan daerah yang memproduksi alat-alat mesin berat yang diekspor ke seluruh dunia membukukan keuntungan berlipat ganda.

Penyelidikan lanjutan memperoleh kesimpulan bahwa sebagian keuntungan dana BUMD itu mengalir ke politikus tersebut, untuk menyokong kas partai. Mencermati kejadian tersebut, pemerintah Jepang bergerak cepat dan dalam tempo 3 bulan, pemerintah menelurkan regulasi antisapi perah terhadap bisnis negara (BUMN/ BUMD).

Pemerintah Negeri Sakura juga melarang politikus atau anggota parlemen menjadi pejabat jajaran manajemen atau administratur di perusahaan negara/ prefektur. Pemerintah serius menangani hal itu, yang tercermin dengan pemantauan secara berkala, termasuk upaya investigatif, terhadap praktik busuk politikus terhadap BUMN/ BUMD.

Ketegasan Pemerintah

Belajar dari kasus tersebut, pemerintahan SBY-Boediono sebenarnya mudah mencegah politikus menjadikan BUMN/ BUMD sebagai sapi perah. Sedikitnya ada tiga langkah strategis yang mendesak dilakukan pemerintah, termasuk Kementerian BUMN.

Pertama; UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) selayaknya dikembangkan dalam lanskap wakil rakyat. Pasalnya, regulasi itu melarang tegas unsur penyelenggara negara (apalagi dari unsur legislatif) duduk dalam jajaran manajemen atau terlibat dalam BUMN.

Sayang, regulasi itu tak menyebut sanksi hukum bagi pelanggar, dan Kementerian BUMN pun hanya berani mengeluh ada gangguan dari politikus. Padahal sejatinya pemerintah melalui menteri BUMN, bisa berinisiasi segera merumuskan regulasi larangan dan sanksi tegas bagi anggota DPR untuk duduk atau terlibat dalam urusan BUMN, apalagi menjadikan badan usaha itu sebagai sapi perah. Kedua; mendorong keberanian manajemen dan administratur BUMN untuk menolak segala bentuk modus yang menjadikan BUMN sebagai sapi perah, termasuk oleh politikus. Kita menganggap aneh karena praktik itu sudah berlangsung sekian generasi tapi jajaran direksi, CEO, bahkan pemerintah selaku pemilik, justru membiarkan.

Ketiga; penegakan hukum. Meskipun regulasi BUMN tak menyebutkan sanksi bagi pelanggar,  pemerintah melalui kementerian terkait, bisa menerapkan hukuman politik bagi politikus yang selama ini menikmati kue empuk BUMN. Hampir semua keluhan dari elite negeri ini sering berakhir dengan antiklimaks. Jangan sampai teriakan penyelenggara negara sekelas Dahlan Iskan hanya menambah kegaduhan politik.

Supaya tak hanya menjadi pergunjingan elitis, pemerintah harus bertindak tegas dan cepat membuat regulasi untuk mencegah keberulangan praktik politikus busuk itu. Tanpa payung hukum yang jelas, keluhan sang menteri bakal bernasib sama dengan keluhan publik yang lain mengingat pemerintah jarang memberikan solusi. Sekarang, berpijak dari keluhan Dahlan Iskan, merupakan saat tepat untuk menunjukkan ketegasan itu. Kata kucinya; mau atau tidak untuk terus-menerus menjadi sapi perah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar