Sabtu, 17 November 2012

Menyambut Kurikulum Baru


Menyambut Kurikulum Baru
Darmaningtyas ;  Pengamat Pendidikan dari Tamansiswa Jakarta
KORAN TEMPO, 17 November 2012


Perubahan kurikulum menimbulkan resistansi, karena hal itu berarti biaya baru yang harus dikeluarkan oleh masyarakat dengan keharusan membeli buku-buku baru. 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang mempersiapkan kurikulum baru yang diharapkan dapat diberlakukan pada tahun ajaran baru 2013/2014. Menurut Menteri M. Nuh, dalam wawancaranya dengan majalah Tempo (18 November halaman 166), salah satu butir kontrak kerja sebagai menteri adalah penyempurnaan kurikulum. Ini artinya, penyempurnaan kurikulum merupakan keharusan yang dilakukan karena menjadi key performance indicator sebagai Menteri Pendidikan. Sedangkan tenggat itu permintaan Wakil Presiden Boediono pada saat Menteri M. Nuh mempresentasikan konsep kurikulum baru tersebut pada 13 November 2012.
Mengapa Kurikulum 2006, atau yang dikenal dengan sebutan KTSP, itu diganti? Jawaban yuridisnya adalah amanat dari RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan, serta Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional: penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing karakter bangsa.
Adapun jawaban akademisnya adalah seperti disampaikan oleh Menteri M. Nuh kepada Wakil Presiden Boediono: 1). Kurikulum 2006 terlalu padat, yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak; 2). Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; 3). Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi; 4). Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global, 5). Proses pembelajaran masih terpusat pada guru (teacher-centered). 5). Standar penilaian belum mengarah pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala. 6). Dengan KTSP, diperlukan dokumen kurikulum yang lebih terperinci agar tidak menimbulkan multitafsir.
Pemerintah ingin agar kurikulum di masa mendatang lebih sederhana, proses pembelajaran berpusat pada peserta didik (student-centered active learning), sifat pembelajarannya kontekstual, dan buku teks memuat materi serta proses pembelajaran, sistem penilaian, dan kompetensi yang diharapkan. Adapun strategi peningkatan efektivitas pembelajaran dilakukan melalui pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Elemen-elemen yang berubah adalah standar kompetensi kelulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian.
Namun apa yang disebut dengan "penyempurnaan" itu sesungguhnya adalah pergantian kurikulum, karena implikasinya akan terjadi pergantian buku pelajaran. Bagi masyarakat, pergantian buku pelajaran itulah bukti terjadinya perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum menimbulkan resistansi, karena hal itu berarti biaya baru yang harus dikeluarkan oleh masyarakat dengan keharusan membeli buku-buku baru. 
Menghapus IPA-IPS?
Isu aktual yang menyertai perubahan kurikulum ini adalah masalah penghapusan mata pelajaran IPA dan IPS untuk tingkat SD. Betulkah IPA dan IPS akan dihapuskan dari pelajaran di SD? Bila betul, apakah ini bukan suatu kemunduran? Penulis sering mendapat pertanyaan tersebut dari para jurnalis. 
Betul, sebagai wacana, sempat muncul gagasan penghapusan mata pelajaran IPA-IPS di SD. Tapi gagasan tersebut menimbulkan sikap pro dan kontra. Bagi yang setuju, materi pelajaran IPA-IPS diintegrasikan ke mata pelajaran lain, seperti agama, PPKN, bahasa Indonesia, dan matematika kelas I-VI, sehingga dapat mengurangi beban anak-anak SD, karena terjadi penyederhanaan mata pelajaran. Bagi mereka, anak SD yang penting dapat membaca, menulis, dan berhitung. Sedangkan bagi mereka yang tidak setuju, integrasi IPA/IPS kelas I-VI itu akan menciptakan pendangkalan pemahaman terhadap IPA/IPS. Padahal, untuk mengatasi ketertinggalan dari negara-negara maju, Indonesia justru harus menguasai IPA sejak dini. IPA itu mengajarkan berpikir rasional. Agar tercipta masyarakat yang rasional, anak harus mengenal IPA sejak dini. Selain itu, prestasi kita di TIMSS dan PISA selama ini masih rendah. Dengan pengintegrasian IPA dari kelas I hingga VI, prestasi di TIMSS dan PISA akan semakin menurun. Padahal perubahan kurikulum ini dimaksudkan mengejar prestasi di TIMSS dan PISA tersebut. 
Tawaran kompromi terhadap pro dan kontra itu adalah untuk kelas I-III IPA-IPS diintegrasikan ke mata pelajaran lain, sedangkan di kelas IV-VI IPA-IPS harus menjadi materi tersendiri. Para pihak yang tidak setuju penghapusan nama mata pelajaran IPA setuju dengan jalan tengah tersebut. Justru mereka yang menghendaki pengintegrasian penuh dari kelas I hingga VI masih menolak. Penulis mendukung jalan tengah tersebut. Sebab, jalan tengah tersebut mengakomodasi dua kepentingan yang berbeda: antara yang pro dan yang kontra. 
Hal lain yang mengagetkan tapi justru tidak memunculkan reaksi publik adalah rencana penambahan jam pelajaran per minggu untuk semua jenjang dengan alasan kecenderungan banyak negara menambah jam pelajaran. Padahal, menurut Dr Indra Jati Sidhi, mantan Dirjen Dikdasmen (1998-2005), rendahnya jumlah jam pelajaran per minggu pada kurikulum 2006 ini karena dulu, sebelum melakukan perubahan, mereka membandingkan jam pelajaran dengan negara-negara lain dan ternyata Indonesia memiliki jam pelajaran terbanyak tapi hasilnya bukan yang terbaik. Karena itu, lebih baik dikurangi, tapi prosesnya yang diubah. Pada Kurikulum 2013, jam pelajaran itu justru ditambah lagi. 
Berbasis Sains?
Wacana lain yang muncul ke publik setelah pertemuan Menteri M. Nuh dengan Wakil Presiden Boediono adalah bahwa Kurikulum 2013 ini berbasis sains. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah struktur kurikulum SD harus konsisten. Konsekuensinya adalah integrasi pelajaran IPA ke beberapa mata pelajaran lain dari kelas I hingga VI SD itu tidak bisa dipaksakan. Sebab, kalau dipaksakan akan menjadi tertawaan publik. Yang konsisten adalah IPA muncul sebagai mata pelajaran sejak SD, minimal sejak kelas IV. Jadi, ada legitimasi yang kuat bila kurikulum 2013 berbasis sains, karena IPA diperkenalkan sejak dini. Tapi yang paling penting dari konsep perubahan kurikulum ini adalah meninjau kembali fungsi ujian nasional. Bila ujian nasional (UN) tetap diperlakukan sebagai penentu kelulusan, perubahan kurikulum tersebut merupakan kesia-siaan saja karena kompetensi yang akan dimiliki murid adalah kompetensi mengerjakan soal UN dengan model soal obyektif. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar