Hambalang
Menjadi Beban Mental Atlet
Suryopratomo ; Anggota Dewan Redaksi
Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 17 November 2012
KASUS dugaan korupsi proyek pemba ngunan
kompleks olahraga Hambalang terus bergulir. Hasil audit forensik Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi penambah amunisi bagi Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk membongkar kasus korupsi senilai Rp243 miliar tersebut.
Kita mengikuti saja proses hukum yang akan
terjadi. Sampai sejauh mana proyek senilai Rp2,5 triliun itu akan menjerat
orang-orang yang mengambil keuntungan. Beberapa nama pejabat sudah disebut
dalam laporan audit forensik BPK.
Kasus Hambalang itu bukan hanya berpotensi
merugikan keuangan negara. Yang selama ini luput dari perhatian ialah
kerugian yang tidak kasatmata, kerugian immaterial, yaitu terganggunya proses
pembinaan generasi muda dan atlet-atlet berbakat.
Negara mempunyai tanggung jawab membina
generasi muda yang tangguh agar bisa menjadi pemenang dalam persaingan
global. Olahraga merupakan salah satu cara untuk menanamkan sikap disiplin,
hormat kepada pelatih, kerja keras, sikap tidak mudah menyerah, sportif, dan
memberikan kebanggaan kepada bangsa.
Semua bangsa di dunia berlomba untuk
menghasilkan generasi muda yang berkualitas. Bahkan pepatah Belanda
mengatakan, “Siapa yang memiliki generasi muda yang andal, merekalah yang
memiliki masa depan.“
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)
mempunyai tanggung jawab untuk itu. Semua program kerja yang dilakukan
seharusnya ditujukan untuk menciptakan generasi muda yang tangguh dan mampu
memberikan kebanggaan kepada bangsa.
Ternyata Kemenpora tidak menjalankan secara
penuh tugas tersebut. Kementerian itu terjerumus juga ke dalam semangat untuk
memanfaatkan institusi bagi kepentingan pribadi. Sebagian anggaran yang
dipersiapkan untuk membangun generasi muda yang bisa dibanggakan dipakai
untuk memperkaya diri sendiri.
Beban Moral
Ketika kasus sudah
bergulir seperti sekarang, jujur kita sangat kasihan kepada para atlet. Mereka
secara tidak langsung harus ikut menanggung beban atas dosa yang tidak pernah
mereka ketahui.
Hambalang akan selamanya menanggung
citra yang buruk. Segala sesuatu yang terkait dengan tempat itu pasti akan
mengacu kepada praktik korupsi yang merugikan keuangan negara.
Padahal, kita tahu bahwa tempat
itu sebenarnya diciptakan untuk melahirkan atlet-atlet kelas dunia. Seperti
ketika Ali Sadikin membangun Sekolah Ragunan, setiap kali ada atlet yang
mengharumkan nama bangsa, orang akan mengacu kepada sekolah atlet yang
dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pada zaman segala sesuatu bisa direncanakan
dengan baik, pembinaan atlet pun direkayasa secara cermat. Penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pembinaan atlet seperti menjadi sebuah
keharusan apabila kita ingin memenangi kompetisi tingkat dunia.
Kita lihat di Eropa bahkan sampai tingkat
klub, semuanya dilakukan dengan sangat terukur. Lihat saja apa yang dilakukan
klub sepak bola Jerman, Borussia Dortmund, yang membangun fasilitas lengkap
untuk pembinaan teknik pemain bahkan mulai tingkat dasar.
Prancis bisa berjaya di sepak bola dunia
karena keputusan untuk membangun sekolah sepak bola di Clairefontaine.
Di atas tanah seluas 56 hektare dibangun segala fasilitas bagi pembinaan sepak bola yang berkelanjutan.
Persyaratan bagi keberhasilan pembinaan atlet
ialah ketika semua dilakukan dengan niat baik. Termasuk dalam penggunaan
anggaran harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh ada korupsi di
dalamnya.
Mengapa? Karena yang dilakukan ialah investasi
manusia. Investasi yang dilakukan tidak pernah akan ada pengembalian dalam
bentuk keuntungan finansial. Yang ada setiap kali hanyalah biaya untuk
pembinaan.
Oleh karena itu, pembina harus selalu
menyadari bahwa yang harus diterapkan ialah prinsip `biaya sekecil-kecilnya'.
Efisiensi menjadi kunci utama dalam menjalankan pembinaan yang
sebaik-baiknya.
Ketika ada motif untuk mengambil keuntungan
pribadi, yang terjadi ialah biaya yang selalu menggelembung. Biaya yang
terlalu besar akan membuat investasi menjadi tidak feasible. Anggaran yang
disiapkan selalu hanya bisa membina jumlah atlet yang lebih sedikit. Dengan
semakin terbatasnya pilihan, semakin sedikit pulalah peluang untuk
mendapatkan atlet berkualitas.
Dengan terbatasnya jumlah atlet yang
berkualitas, semakin kecillah peluang kita untuk bisa meraih kejayaan.
Kegagalan dari pembinaan atlet akhirnya akan
mengait kepada ketidakefisienan dalam pembangunan kompleks pembinaan
olahraga. Para atlet pun akan semakin tertekan karena di mata masyarakat
menjadi bagian dari ketidakberesan dalam penggunaan anggaran.
Lingkaran setan yang tercipta sangat tidak
menguntungkan bagi pembinaan olahraga nasional. Sungguh ironis kita sedang
menghadapi kondisi itu dan Hambalang akan selamanya menjadi beban bagi atlet
dan olahraga Indonesia secara keseluruhan.
Entah bagaimana caranya menghilangkan stigma
yang mungkin akan melekat dalam diri atlet sepanjang hidupnya, seandainya ia
mendapat peluang menimba kemampuan di Hambalang. Apakah para atlet itu akan
bangga ataukah justru sebaliknya, sebagai sebuah pembenar atas kegagalan
pembinaan.
Tidakkah mereka memikirkan
dampak psikologis dari sisi atlet? Ironis. Padahal lagu kebangsaan hanya
dikumandangkan ketika atlet meraih kemenangan dan kunjungan resmi kepala
negara ke suatu negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar