Rabu, 21 November 2012

Menuju KPK Ideal


Menuju KPK Ideal
OC Kaligis ;  Pengacara, Guru Besar Hukum Pidana 
SUARA KARYA, 20 November 2012


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk sebagai wujud mosi tidak percaya atas kinerja lembaga penegak hukum yang ada, sekaligus sebagai trigger mechanism untuk memicu kinerja penegakan hukum. Lembaga itu diharapkan mampu memberantas korupsi yang sudah akut di negeri ini. KPK merupakan lembaga negara permanen, kuat, dan independen dengan tujuan khusus membebaskan Indonesia dari korupsi.
Banyak ahli hukum menilai kewenangan KPK terlalu absolut, melebihi kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Pertama, KPK dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri. Kedua, KPK dapat melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, KPK dapat mengambil alih perkara dari lembaga penegak hukum lainnya terkait dengan perkara korupsi.
Dalam UU KPK disebutkan, KPK adalah lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Namun, dalam Pasal 6 UU KPK dikatakan bahwa KPK harus melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan penanganan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, mungkin terjadi penyimpangan-penyimpangan, sehingga independensi KPK dipertanyakan. Inti dari independensi itu, KPK harus berperilaku objektif dalam merumuskan kebijakan sendiri tanpa pengaruh kepentingan luar, termasuk kepentingan politis penguasa.
Terkait kewenangan KPK melakukan supervisi, hal itu perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian, kejaksaan, dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Adanya supervisi di KPK dapat menimbulkan kecemburuan di antara lembaga penegak hukum lainnya, dan bisa terjadi kemungkinan Kejagung dan Polri tidak melaporkan ke KPK, kasus-kasus korupsi yang tengah ditangani.
KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara sendiri. Apakah KPK sanggup melaksanakan semua fungsi itu dengan baik? KPK justru terkesan lambat menangani kasus korupsi karena keterbatasan SDM. Di pihak lain, peran kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan merasa terkurangi sebab kewenangan itu pada awalnya merupakan wewenang bersama.
Dengan kekuasaan KPK yang begitu besar, timbul pertanyaan, apakah akan tercipta suatu keadilan jika penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dijalankan oleh satu lembaga saja, tanpa adanya lembaga pengawas? Tentu saja, dengan sistem pemusatan kekuasaan pada satu lembaga, akan menimbulkan penyimpangan. Lord Acton mengatakan bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Pengawasan terhadap KPK hanya dilakukan oleh intern KPK, melalui kelima pimpinan KPK. Dengan kata lain, KPK telah menjadi lembaga superbody karena tidak adanya pengawasan yang bersifat check and balances. Demikian pula tugas, wewenang, dan kewajiban KPK yang dilegitimasi oleh UU KPK, membuat komisi itu terkesan menyerupai superbody.
Demi kepastian hukum dan tegaknya asas-asas peradilan pidana yang memperhatikan keseimbangan antara kepentingan masyarakat dalam penegakan hukum di satu sisi dan hak asasi manusia di sisi lain, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang dapat mengakomodasi kepentingan itu. Jadi, dengan undang-undang tersebut, KPK benar-benar mendapat pengawasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar