Menuju KPK
Ideal
OC Kaligis ; Pengacara, Guru Besar Hukum
Pidana
|
SUARA
KARYA, 20 November 2012
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk sebagai wujud mosi tidak percaya atas kinerja
lembaga penegak hukum yang ada, sekaligus sebagai trigger mechanism untuk
memicu kinerja penegakan hukum. Lembaga itu diharapkan mampu memberantas
korupsi yang sudah akut di negeri ini. KPK merupakan lembaga negara permanen,
kuat, dan independen dengan tujuan khusus membebaskan Indonesia dari korupsi.
Banyak
ahli hukum menilai kewenangan KPK terlalu absolut, melebihi kewenangan
kepolisian dan kejaksaan. Pertama, KPK dapat melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sendiri. Kedua, KPK dapat melakukan supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Ketiga, KPK dapat mengambil alih perkara dari lembaga penegak hukum
lainnya terkait dengan perkara korupsi.
Dalam
UU KPK disebutkan, KPK adalah lembaga independen yang bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun. Namun, dalam Pasal 6 UU KPK dikatakan bahwa KPK harus
melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan penanganan
tindak pidana korupsi. Dengan demikian, mungkin terjadi penyimpangan-penyimpangan,
sehingga independensi KPK dipertanyakan. Inti dari independensi itu, KPK
harus berperilaku objektif dalam merumuskan kebijakan sendiri tanpa pengaruh
kepentingan luar, termasuk kepentingan politis penguasa.
Terkait
kewenangan KPK melakukan supervisi, hal itu perlu dilakukan secara hati-hati
agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian, kejaksaan,
dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Adanya
supervisi di KPK dapat menimbulkan kecemburuan di antara lembaga penegak
hukum lainnya, dan bisa terjadi kemungkinan Kejagung dan Polri tidak
melaporkan ke KPK, kasus-kasus korupsi yang tengah ditangani.
KPK
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara sendiri. Apakah KPK
sanggup melaksanakan semua fungsi itu dengan baik? KPK justru terkesan lambat
menangani kasus korupsi karena keterbatasan SDM. Di pihak lain, peran
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan merasa terkurangi sebab kewenangan itu
pada awalnya merupakan wewenang bersama.
Dengan
kekuasaan KPK yang begitu besar, timbul pertanyaan, apakah akan tercipta
suatu keadilan jika penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dijalankan oleh
satu lembaga saja, tanpa adanya lembaga pengawas? Tentu saja, dengan sistem
pemusatan kekuasaan pada satu lembaga, akan menimbulkan penyimpangan. Lord
Acton mengatakan bahwa power tends to
corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Pengawasan
terhadap KPK hanya dilakukan oleh intern KPK, melalui kelima pimpinan KPK.
Dengan kata lain, KPK telah menjadi lembaga superbody karena tidak adanya pengawasan yang bersifat check and balances. Demikian pula
tugas, wewenang, dan kewajiban KPK yang dilegitimasi oleh UU KPK, membuat
komisi itu terkesan menyerupai superbody.
Demi kepastian hukum
dan tegaknya asas-asas peradilan pidana yang memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan masyarakat dalam penegakan hukum di satu sisi dan hak
asasi manusia di sisi lain, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang dapat
mengakomodasi kepentingan itu. Jadi, dengan undang-undang tersebut, KPK benar-benar
mendapat pengawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar