Dari Bali
Menuju Doha
Dida Gardera ; Alumnus
London School of Economics and Political Science;
Pekerja Lingkungan Hidup
|
MEDIA
INDONESIA, 20 November 2012
PERJALANAN dari Bali menuju Doha ialah
mengenai drama pencapaian komitmen global untuk mengantisipasi perubahan
iklim yang hingga saat ini diatur dalam Protokol Kyoto. Protokol yang
disepakati pada 1997 dan yang akan berakhir pada 2012 itu berisi komitmen
mengikat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menganut prinsip
common but differentiated responsibilities (CBDR), yang artinya kesamaan
dalam menyikapi perubahan iklim, tetapi memiliki tanggung jawab berbeda.
Prinsip tersebut dipahami dengan pendekatan
biner, yaitu negara maju dan berkembang. Negara maju wajib bertanggung jawab
dalam mengatasi permasalahan dan membantu negara berkembang. Prinsip itu
timbul karena negara maju sudah mengeksploitasi negara berkembang, terutama
pada zaman penja jahan, sehingga sumber daya yang tercerabut tersebut harus
dikompensasikan dengan bertanggung jawab terhadap permasalahan saat ini.
Perjalanan untuk menjaga kesinambungan
Protokol Kyoto diawali pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk
Perubahan Iklim di Bali pada 2007 yang menghasilkan optimisme berupa Bali Road Map. Namun, itu mengalami
antiklimaks pada konferensi di Kopenhagen, Denmark, pada 2009 yang dihadiri
sekitar 125 kepala negara termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan
Perdana Menteri Republik Rakyat China (RRC) Wen Jiabao.
Hampir 200 negara
hadir dalam pertemuan itu, tetapi kesepakatan ditentukan kedua pemimpin
tersebut dan hasilnya mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut dapat
dianalisis dari perkembangan ekonomi negara kunci, terutama RRC dan AS, yang
merupakan dua pengemisi terbesar GRK.
Berdasarkan data World Bank 1997, ekonomi (GDP
curB rent) RRC sekitar US$0,9 triliun dan AS sekitar US$8,3 triliun. Adapun
Jepang sebagai tuan rumah Protokol Kyoto sekitar US$4,3 triliun. Pada 2007,
saat Bali Road Map dihasilkan,
walaupun mengalami perubahan signifikan, konstelasinya tetap, yaitu AS (US$14
triliun) dan Jepang (US$4,4 triliun) masih unggul bila dibandingkan dengan
RRC (US$3,5 triliun).
Konstelasi tersebut mengalami perubahan pada
2009, dengan China (US$5 triliun) sudah mendekati AS (US$13,8 triliun) dan
menyamai Jepang (US$5 triliun). Kedigdayaan ekonomi AS yang 15 tahun lalu
masih sembilan kali ekonomi RRC menjadi hanya kurang dari tiga kalinya. Obama
yang baru setahun menjadi presiden AS, yang pada saat kampanyenya menjanjikan
harapan bagi tercapainya komitmen global, ternyata tetap pada posisi AS yang
tidak menyetujui Protokol Kyoto.
Hal itu disebabkan kondisi ekonomi yang lesu,
di saat ekonomi AS minus 0,7% jika dibandingkan dengan 2007. Lain halnya dengan
RRC yang meningkat 16,3% hanya dalam dua tahun. Lebih lanjut, AS tidak mau
berkomitmen karena RRC tetap pada posisi mereka untuk tidak ada kewajiban
dalam menurunkan emisi sebagai negara berkembang sebagaimana prinsip CBDR.
RRC tidak mau kehilangan momentum meroketnya
ekonomi dan terbukti pada 2011, sudah lebih dari dua kalinya jika
dibandingkan dengan 2007. AS dan beberapa negara maju lainnya berkukuh negara
berkembang, terutama negara pengemisi terbesar, harus berkewajiban menurunkan
emisi. Bisa ditebak, terjadilah kebuntuan.
Harapan Baru
Terpilihnya kembali Obama dan pemimpin baru
RRC Xi Jinping seyogianya memberikan harapan baru lagi. Dalam pidato
kemenangan saat terpilih lagi, Obama kembali menyatakan komitmennya terhadap
perubahan iklim dan kepeduliannya akan masa depan. Demikian pula halnya Xi
Jinping.
Dalam pidato pengumuman dirinya sebagai
pemimpin baru RRC, ia menyatakan salah satu perhatian utamanya terhadap
lingkungan hidup dan generasi mendatang. Walau secara resmi baru memerintah
2013, senyatanya Xi Jinping sudah berkuasa.
Obama diharapkan lebih berani dalam
memperjuangkan keyakinannya untuk menahan laju dampak perubahan iklim. Ekonomi
AS pada 2011 sudah meningkat 8% jika dibandingkan dengan 2007 atau sekitar
US$15 triliun sehingga kondisi psiko-ekonomi mereka tidak tertekan
sebagaimana 2009.
Adapun Xi Jinping diharapkan dapat membawa visinya ke dalam kebijakan ekonominya, yang tujuan akhirnya untuk kehidupan yang lebih nyaman serta lingkungan yang lebih indah dan lebih baik.
Ekonomi RRC terus meroket pada 2011, mencapai
US$7,3 triliun. Kecepatan pertum buhan ekonomi yang mengorbankan kualitas
lingkungan itu dapat menjadi modal untuk pertumbuhan yang lebih prolingkungan
atau rendah karbon.
Momentum kondusif ini harus dioptimalkan,
dengan titik krusialnya pada prinsip CBDR. Prinsip tersebut merupakan
kewajaran saat tercapainya kesepakatan Protokol Kyoto (1997), dengan selisih
ekonomi negara maju dan negara berkembang masih sangat lebar. Saat itu pula
terjadi krisis ekonomi yang menimpa negara berkembang termasuk Indonesia.
Prinsip CBDR masih bisa dipahami pada 2007, tetapi menjadi sangat
diperdebatkan sejak 2009 saat selisih ekonomi negara maju dan negara
berkembang semakin sempit.
Prinsip CBDR yang membelah antara wajib dan
tidak, antara bertanggung jawab dan tidak, harus diubah menjadi semua
bertanggung jawab tetapi berbeda atau common responsibilities but
differentiate (CRBD). Di sini semua negara harus bertanggung jawab tetapi
berbeda secara proporsional. Tuntutan mayoritas negara dengan prinsip CBDR
ialah negara maju harus menurunkan emisi 25%-40% pada 2020, sedangkan negara
berkembang bersifat sukarela. Walaupun negara berkembang termasuk Indonesia
sudah banyak yang mengumumkan kebijakan politik untuk menurunkan emisi secara
sukarela, mereka tetap enggan untuk terikat.
Usulan CRBD dapat dilakukan dengan proporsi
negara maju menurunkan emisi 25%40% pada 2020, sedangkan negara berkembang
1%-5% pada 2030. Tentu proposal itu harus dikaji lebih mendalam lagi, mungkin
juga tidak akan tercapai di Doha nanti. Namun sepertinya dengan prinsip
proporsionalitas, itu akan lebih realistis. Terobosan seperti ini sangat
perlu untuk mewujudkan momentum kondusif dari suasana psiko-ekonomi kedua
pemimpin negara (AS dan RRC).
Apabila masih
berpegang pada dikotomi antara wajib dan tidak, masih akan sulit untuk
mengubah kepedulian menjadi keputusan. Untuk tidak terjebak dalam zero-sum
game, perlu ada tawaran lain yang atraktif tapi tidak merusak tatanan antara
yang masih ter tinggal dan sudah maju. Semoga para wakil negara-negara di Doha
nanti dapat benar-benar mewakili umat manusia yang tinggal di bumi yang satu
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar