Rabu, 21 November 2012

Dari Bali Menuju Doha


Dari Bali Menuju Doha
Dida Gardera ;  Alumnus London School of Economics and Political Science;
Pekerja Lingkungan Hidup
MEDIA INDONESIA, 20 November 2012


PERJALANAN dari Bali menuju Doha ialah mengenai drama pencapaian komitmen global untuk mengantisipasi perubahan iklim yang hingga saat ini diatur dalam Protokol Kyoto. Protokol yang disepakati pada 1997 dan yang akan berakhir pada 2012 itu berisi komitmen mengikat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menganut prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR), yang artinya kesamaan dalam menyikapi perubahan iklim, tetapi memiliki tanggung jawab berbeda.

Prinsip tersebut dipahami dengan pendekatan biner, yaitu negara maju dan berkembang. Negara maju wajib bertanggung jawab dalam mengatasi permasalahan dan membantu negara berkembang. Prinsip itu timbul karena negara maju sudah mengeksploitasi negara berkembang, terutama pada zaman penja jahan, sehingga sumber daya yang tercerabut tersebut harus dikompensasikan dengan bertanggung jawab terhadap permasalahan saat ini.

Perjalanan untuk menjaga kesinambungan Protokol Kyoto diawali pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Perubahan Iklim di Bali pada 2007 yang menghasilkan optimisme berupa Bali Road Map. Namun, itu mengalami antiklimaks pada konferensi di Kopenhagen, Denmark, pada 2009 yang dihadiri sekitar 125 kepala negara termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Perdana Menteri Republik Rakyat China (RRC) Wen Jiabao. 

Hampir 200 negara hadir dalam pertemuan itu, tetapi kesepakatan ditentukan kedua pemimpin tersebut dan hasilnya mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut dapat dianalisis dari perkembangan ekonomi negara kunci, terutama RRC dan AS, yang merupakan dua pengemisi terbesar GRK.

Berdasarkan data World Bank 1997, ekonomi (GDP curB rent) RRC sekitar US$0,9 triliun dan AS sekitar US$8,3 triliun. Adapun Jepang sebagai tuan rumah Protokol Kyoto sekitar US$4,3 triliun. Pada 2007, saat Bali Road Map dihasilkan, walaupun mengalami perubahan signifikan, konstelasinya tetap, yaitu AS (US$14 triliun) dan Jepang (US$4,4 triliun) masih unggul bila dibandingkan dengan RRC (US$3,5 triliun).

Konstelasi tersebut mengalami perubahan pada 2009, dengan China (US$5 triliun) sudah mendekati AS (US$13,8 triliun) dan menyamai Jepang (US$5 triliun). Kedigdayaan ekonomi AS yang 15 tahun lalu masih sembilan kali ekonomi RRC menjadi hanya kurang dari tiga kalinya. Obama yang baru setahun menjadi presiden AS, yang pada saat kampanyenya menjanjikan harapan bagi tercapainya komitmen global, ternyata tetap pada posisi AS yang tidak menyetujui Protokol Kyoto.

Hal itu disebabkan kondisi ekonomi yang lesu, di saat ekonomi AS minus 0,7% jika dibandingkan dengan 2007. Lain halnya dengan RRC yang meningkat 16,3% hanya dalam dua tahun. Lebih lanjut, AS tidak mau berkomitmen karena RRC tetap pada posisi mereka untuk tidak ada kewajiban dalam menurunkan emisi sebagai negara berkembang sebagaimana prinsip CBDR.

RRC tidak mau kehilangan momentum meroketnya ekonomi dan terbukti pada 2011, sudah lebih dari dua kalinya jika dibandingkan dengan 2007. AS dan beberapa negara maju lainnya berkukuh negara berkembang, terutama negara pengemisi terbesar, harus berkewajiban menurunkan emisi. Bisa ditebak, terjadilah kebuntuan.

Harapan Baru

Terpilihnya kembali Obama dan pemimpin baru RRC Xi Jinping seyogianya memberikan harapan baru lagi. Dalam pidato kemenangan saat terpilih lagi, Obama kembali menyatakan komitmennya terhadap perubahan iklim dan kepeduliannya akan masa depan. Demikian pula halnya Xi Jinping.

Dalam pidato pengumuman dirinya sebagai pemimpin baru RRC, ia menyatakan salah satu perhatian utamanya terhadap lingkungan hidup dan generasi mendatang. Walau secara resmi baru memerintah 2013, senyatanya Xi Jinping sudah berkuasa.

Obama diharapkan lebih berani dalam memperjuangkan keyakinannya untuk menahan laju dampak perubahan iklim. Ekonomi AS pada 2011 sudah meningkat 8% jika dibandingkan dengan 2007 atau sekitar US$15 triliun sehingga kondisi psiko-ekonomi mereka tidak tertekan sebagaimana 2009.
Adapun Xi Jinping diharapkan dapat membawa visinya ke dalam kebijakan ekonominya, yang tujuan akhirnya untuk kehidupan yang lebih nyaman serta lingkungan yang lebih indah dan lebih baik.

Ekonomi RRC terus meroket pada 2011, mencapai US$7,3 triliun. Kecepatan pertum buhan ekonomi yang mengorbankan kualitas lingkungan itu dapat menjadi modal untuk pertumbuhan yang lebih prolingkungan atau rendah karbon.

Momentum kondusif ini harus dioptimalkan, dengan titik krusialnya pada prinsip CBDR. Prinsip tersebut merupakan kewajaran saat tercapainya kesepakatan Protokol Kyoto (1997), dengan selisih ekonomi negara maju dan negara berkembang masih sangat lebar. Saat itu pula terjadi krisis ekonomi yang menimpa negara berkembang termasuk Indonesia. Prinsip CBDR masih bisa dipahami pada 2007, tetapi menjadi sangat diperdebatkan sejak 2009 saat selisih ekonomi negara maju dan negara berkembang semakin sempit.

Prinsip CBDR yang membelah antara wajib dan tidak, antara bertanggung jawab dan tidak, harus diubah menjadi semua bertanggung jawab tetapi berbeda atau common responsibilities but differentiate (CRBD). Di sini semua negara harus bertanggung jawab tetapi berbeda secara proporsional. Tuntutan mayoritas negara dengan prinsip CBDR ialah negara maju harus menurunkan emisi 25%-40% pada 2020, sedangkan negara berkembang bersifat sukarela. Walaupun negara berkembang termasuk Indonesia sudah banyak yang mengumumkan kebijakan politik untuk menurunkan emisi secara sukarela, mereka tetap enggan untuk terikat.

Usulan CRBD dapat dilakukan dengan proporsi negara maju menurunkan emisi 25%40% pada 2020, sedangkan negara berkembang 1%-5% pada 2030. Tentu proposal itu harus dikaji lebih mendalam lagi, mungkin juga tidak akan tercapai di Doha nanti. Namun sepertinya dengan prinsip proporsionalitas, itu akan lebih realistis. Terobosan seperti ini sangat perlu untuk mewujudkan momentum kondusif dari suasana psiko-ekonomi kedua pemimpin negara (AS dan RRC).
Apabila masih berpegang pada dikotomi antara wajib dan tidak, masih akan sulit untuk mengubah kepedulian menjadi keputusan. Untuk tidak terjebak dalam zero-sum game, perlu ada tawaran lain yang atraktif tapi tidak merusak tatanan antara yang masih ter tinggal dan sudah maju. Semoga para wakil negara-negara di Doha nanti dapat benar-benar mewakili umat manusia yang tinggal di bumi yang satu ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar