Kejahatan
Perang Israel
Fahmi
Salsabila ; Dosen dan Peneliti Utama pada The
Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
|
REPUBLIKA,
20 November 2012
Pagi-pagi buta
pada awal tahun baru Muharram 1434 H menjadi saksi bisu invasi Israel
terhadap wilayah padat penduduk Gaza yang terisolasi selama kurang lebih lima
tahun. Kondisi yang hampir sama seperti empat tahun lalu tatkala Israel juga
menginvasi wilayah yang dikuasai oleh pejuang Palestina, Hamas.
Israel
beralasan, penyerangan wilayah sempit Gaza yang terisolasi itu ialah untuk
membela diri dari serangan roket-roket yang diluncurkan oleh para pejuang
Palestina, di antaranya, Jihad Islam dan sayap militer Hamas, Brigade Izzedin
Qassam. Praktis, wilayah yang menderita selama lebih kurang lima tahun ini
mengalami kerusakan yang parah akibat bombardemen serangan jet-jet tempur
canggih Israel.
Masih segar
dalam ingatan kita, wilayah Gaza ini belum pulih karena invasi pada 2008 dan
menderita secara ekonomi akibat diisolasi oleh penjajah Israel. Korban jiwa
berjatuhan dari kedua belah pihak. Tapi, tentu saja korban sipil berjatuhan
paling banyak diderita oleh warga Gaza dan tidak sebanding dengan korban jiwa
dari Israel yang kebanyakan adalah tentara.
Invasi kali
ini diprediksi akan sengit karena pejuang Palestina di Gaza secara mengejutkan
mampu menembakkan roket yang menjangkau wilayah sekitar Tel Aviv dan
mengakibatkan kepanikan yang luar biasa. Peristiwa ini mengingatkan kembali
ketika rudal Irak pada 1991 menjangkau wilayah ini. Pemerintah Israel
merespons serangan roket ini dengan menggempurkan jet-jet tempurnya secara
membabi buta ke wilayah Gaza siang dan malam.
Israel juga terus meningkatkan kekuatan militernya dengan peralatan-peralatan canggih seperti rudal-rudal pertahanan yang disebut Iron Dome. Namun, fakta memperlihatkan hanya separuh dari 500-an rudal yang telah ditembakkan oleh pejuang Gaza mampu dihalau oleh sistem pertahanan Iron Dome ini. Invasi kali ini dapat menjadi lebih dahsyat karena Israel akan menyiapkan serangan darat dan laut selain udara untuk mengintensifkan serangan terhadap basis kekuatan pejuang-pe-juang Palestina di Gaza yang memiliki kekuatan persenjataan tidak sebanding dengan militer Israel.
Menurut para
pengamat, invasi Israel kali ini hampir serupa dengan invasi pada 2008 lalu
ketika Israel dalam waktu dekat akan menghadapi pemilu. Partai Likud pimpinan
Perdana Menteri Benyamin Netanyahu sedang mencari dukungan rakyat Israel
dalam pemilu mendatang agar dapat menang kembali. Selain itu, invasi kali ini
adalah juga upaya Israel untuk menghambat upa ya Palestina meningkatkan
statusnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kejadian ini tentu akan
menjadi hambatan bagi Palestina untuk peningkatan statusnya menjadi negara
non-anggota di PBB.
Reaksi Dunia
Dunia mengecam
aksi sepihak Israel atas wilayah Gaza. Dukungan masyarakat internasional,
baik negara atau masyarakat dilakukan melalui kecaman ataupun aksi turun ke
jalan hampir di semua negara yang melihat aksi Israel ini sebagai aksi
genosida atau pembantaian suatu etnis. Solidaritas masyarakat internasional
juga dilakukan melalui dunia maya lewat peretas situs-situs milik Israel.
Hampir 9.000 situs kepunyaan Israel mengalami down atau tidak bisa diakses saat ini.
Di Amerika,
Obama telah terpilih untuk kedua kalinya sebagai presiden. Invasi Israel atas
Gaza kali ini semakin menegaskan kebijakan Obama terhadap Timur Tengah yang
tidak akan berubah. Amerika yang menjadi sekutu abadi Israel menyatakan
dukungannya terhadap negara Yahudi untuk membela diri dari serangan
roket-roket pejuang Hamas. Pernyataan Amerika ini merupakan hal yang
sudah biasa dilakukan ketika Israel dengan kepongahannya menyerang untuk
kesekian kalinya wilayah Gaza yang padat penduduk dan miskin. Amerika juga
berulang kali menggunakan hak vetonya di DK PBB untuk membatalkan
resolusi-resolusi PBB yang mengutuk kejahatan Israel atas kemanusiaan di
wilayah Gaza.
Lain lagi
dengan reaksi dari dunia Arab. Saat ini, dunia Arab telah mengalami angin
perubahan demokrasi yang ditandai dengan terjadinya perubahan kepemimpinan
yang otoriter menjadi pemimpin yang dipilih melalui pemilu demokratis.
Sebagai contoh, Mesir sekarang berbeda dengan Mesir ketika dipimpin oleh
Husni Mubarak.
Mesir sekarang
dipimpin oleh Presiden Muhammad Mursi yang berasal dari gerakan populer Ikhwanul Muslimin yang mempunyai
pandangan politik hampir sama dengan gerakan Hamas di Gaza. Artinya, Mesir
sekarang akan berbuat sekuat tenaga, baik melalui diplomasi maupun kekuatan
lain untuk menekan Israel ataupun Amerika supaya menghentikan kebiadaban yang
terjadi atas warga Gaza. Bahkan, bukan tidak mungkin Mesir akan turun tangan
untuk membantu saudara-saudara mereka, para pejuang di Gaza.
Invasi kali
ini merupakan ujian dan tantangan untuk Mesir sebagai pemimpin baru regional
Timur Tengah di bawah kepemimpinan Presiden Mursi. Mursi dalam beberapa
kesempatan menyatakan tidak akan mengganggu perjanjian perdamaian yang telah
disepakati antara Israel dan Mesir pada 1979. Namun diperkirakan, kelompok
Ikhwanul Muslimin-basis pendukung Mursi-akan menekannya untuk lebih tegas
terhadap Israel. Bukan tidak mungkin perjanjian damai dengan Israel akan
dibatalkan.
Reaksi dari dunia Arab lain yang telah mengalami revolusi juga menyatakan dukungan terhadap Palestina, di antaranya, dari Tunisia dan Irak. Tunisia mengirimkan menteri luar negerinya untuk meninjau wilayah Gaza sebagai bentuk dukungan kepada pejuang Gaza. Dukungan dari Irak disampaikan tidak hanya kutukan terhadap invasi Israel atas Gaza, namun juga mengajak negara penghasil minyak untuk menghentikan ekspor minyak terhadap Israel.
Namun,
dukungan dari Liga Arab sebagai organisasi negara-negara Arab belum terlihat
jelas. Dapat dipastikan akan terjadi perbedaan di antara negara-negara
anggota Liga Arab dalam menyikapi invasi Israel atas Gaza kali ini karena
kepentingan dalam negeri masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar