Jumlah Parpol
dan Kesejahteraan
Sumaryoto ; Anggota DPR, Fraksi PDI Perjuangan
|
SUARA
MERDEKA, 06 November 2012
"Patut mempertimbangkan
untuk mengangkat semua perangkat desa menjadi pegawai negeri sipil
(PNS)"
KOMISI
Pemilihan Umum (KPU) menyatakan 16 partai politik lolos verifikasi
administrasi sebagai peserta Pemilu 2014; 9 di antaranya parpol pemilik kursi
di DPR, dan 18 partai lainnya tak lolos. Saat ini penyelenggara pemilu
tersebut sedang memverifikasi secara faktual, dan bila ada partai tidak lolos
maka peserta Pemilu 2014 kurang dari 16 parpol.
Pemilu 1999
diikuti oleh 48 parpol yang dimenangi PDI Perjuangan, Pemilu 2004 diikuti 24
parpol dimenangi Partai Golkar, dan Pemilu 2009 diikuti 38 parpol dimenangi
Partai Demokrat. Berapa sebenarnya jumlah ideal parpol peserta pemilu di
Indonesia?
Lembaga mana
pun tak ada yang berani menyebut jumlah ideal parpol peserta pemilu di negara
kita. Hanya bila kita berkaca dari negara-negara maju yang mempunyai sistem
demokrasi mapan, jumlah ideal parpol peserta pemilu adalah dua; satu the
ruling party atau partai pemerintah, satunya lagi oposisi.
Di Indonesia
yang sistem demokrasinya sedang mencari bentuk, meskipun konstitusi tidak
mengenal istilah oposisi, ada parpol memosisikan diri sebagai oposisi, yakni
PDI Perjuangan, dan mungkin juga Gerindra dan Hanura. Ada pula parpol yang
tergabung dalam Sekretariat Gabungan Parpol Pendukung Pemerintah, yakni
Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB.
Kendati
memosisikan diri sebagai pendukung pemerintah, parpol-parpol itu kerap
berseberangan dengan Partai Demokrat dalam menyikapi kebijakan pemerintah.
Inilah salah satu anomali sistem demokrasi di negara kita.
Anomali yang
lain adalah dominasi daya tarik figur ketimbang parpol. Sebut saja misalnya
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meskipun pada Pemilu 2004 Partai Demokrat
bukan pemenang, dalam Pilpres 2004 SBY terpilih menjadi Presiden.
Begitu pun dalam
sejumlah pilkada, termasuk Pilkada DKI Jakarta yang dimenangi Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang diusung PDI Perjuangan dan Gerindra. Dua
parpol ini bukan pemilik mayoritas kursi di DPRD DKI Jakarta hasil Pemilu
2009.
Entah
kebetulan atau tidak, hasil verifikasi administrasi KPU sejalan dengan
keinginan publik, yakni penyederhanaan jumlah parpol. Maklum, berdasarkan
hasil survei berbagai lembaga, publik sudah mulai jenuh, bahkan jengah,
terhadap keberadaan parpol-parpol, khususnya partai yang kadernya banyak
terjerat kasus korupsi.
Perangkat Desa
Banyak kader
parpol, termasuk kader muda, yang terjerat korupsi, mengindikasikan bahwa
parpol tersebut telah gagal melakukan perekrutan. Implikasinya, publik bisa
menganggap partai itu gagal melakukan kaderisasi. Sistem demokrasi yang
cenderung liberal dan meniscayakan kehadiran modal finansial menjadikan
parpol-parpol mencari kader comotan, yang penting bisa mengisi pundi-pundi
partai untuk menghadapi pemilu.
Sejengah apa
pun publik, parpol akan tetap ada karena merupakan salah satu instrumen
demokrasi. Parpol menjadi sarana melahirkan pemimpin, baik di legislatif
maupun eksekutif.
Berapa pun
jumlah parpol peserta pemilu, bermuara pada kelahiran pemimpin amanah yang
dapat menyejahterakan rakyat. Berapa pun jumlah parpol, yang penting rakyat
sejahtera.
Kita juga tak
bisa setback. Kita harus mengendalikan sistem demokrasi yang cenderung
liberal, yang meniscayakan kehadiran modal finansial. Perlu mengembalikan
sistem demokrasi ke khitah sebagaimana cita-cita gerakan reformasi. Artinya,
kita harus mengenyahkan praktik politik uang sehingga bisa meminimalisasi
high cost politics dalam pileg, pilpres, dan pilgub/pilbup/ pilwalkot. Untuk
itu, sangat diperlukan, bahkan strategis, peran perangkat desa sebagai ujung
tombak gerakan anti-money politics.
Mengapa
strategis? Pertama; karena perangkat desa independen, tidak terafiliasi ke
parpol mana pun. Kedua; perangkat desa adalah SDM dengan kemampuan cukup
lumayan, yang dapat berada di garda terdepan membimbing rakyat untuk memilih
pemimpin yang amanah, baik di legislatif maupun eksekutif, sesuai tingkatan,
dengan mengenyahkan praktik politik uang.
Dalam konteks
ini, dan demi menjamin kenetralitasan maka patut mempertimbangkan supaya
mengangkat semua perangkat desa menjadi pegawai negeri sipil (PNS)
sebagaimana pemerintah melakukan terhadap sekretaris desa atau sekdes. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar