Infrastruktur
Pengadilan Tipikor
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
22 November 2012
Lawrence M Friedman dalam American Law in the 20th Century
menyatakan bahwa bekerjanya suatu sistem hukum sangat dipengaruhi tiga hal: legal substance, legal structure, dan legal culture.
Yang dimaksud dengan legal substance atau substansi hukum
adalah isi dari suatu aturan hukum, baik hukum materiil maupun hukum formil,
haruslah bersifat responsif. Artinya, senantiasa disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Legal structure
atau struktur hukum meliputi kelembagaan, termasuk di dalamnya
profesionalisme aparat penegak hukum serta sarana dan prasarana yang memadai.
Legal culture atau budaya hukum
adalah nilai-nilai atau pandangan masyarakat, termasuk perilaku aparat dalam
sistem hukum itu sendiri.
Saya tak akan mengulas substansi Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) dan budaya hukum, tetapi masalah struktur hukum yang
dalam hal ini adalah sarana dan prasarana pengadilan tipikor.
Pada Kamis, 4 Oktober
2012, saya dijadwalkan memberikan keterangan ahli di Pengadilan Tipikor
Jakarta dalam suatu kasus korupsi. Menurut jadwal, sidang akan dimulai pada
pukul 14.00. Saya hadir sekitar pukul 13.30. Kondisi ruang sidang pengadilan
cukup memadai, tetapi pengadilan tak dilengkapi dengan ruang tunggu jaksa
penuntut umum ataupun advokat. Demikian pula tak terdapat ruang tunggu khusus
untuk terdakwa.
Kondisi yang ada:
terdakwa, jaksa penuntut umum, advokat, dan para saksi, termasuk ahli, duduk
di ruang besar yang sedang direnovasi dengan perabot meja–kursi seadanya.
Jarang tersua meja-kursi yang layak digunakan. Ruang itu ibarat baru saja
dibombardir pascaperang.
Tanpa terasa waktu berlalu
begitu cepat. Sidang atas perkara di mana keterangan saya sebagai ahli akan
didengarkan baru dimulai pada pukul 21.30. Pada perkara itu, keterangan empat
saksi fakta dan tiga ahli akan didengarkan. Kebetulan saya mendapat giliran keenam.
Namun, apa mau dikata, sampai pada pemeriksaan saksi yang keempat, waktu
sudah menunjukkan pukul 23.55. Sidang pun ditunda ke Senin, 8 Oktober 2012.
Ternyata selesai sidang tersebut, masih ada lagi sidang perkara lain yang
memang sudah dijadwalkan hari itu meski telah terjadi pergantian hari.
Padat Sidang
Menurut teman-teman jaksa
penuntut umum dan advokat, suasana yang demikian dari hari ke hari selalu
mereka alami. Bahkan, banyak hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta yang harus
menunda jam makan karena padatnya persidangan.
Berdasarkan agenda pada
Kamis, 4 Oktober 2012, ada 14 perkara yang akan disidangkan. Kalaupun lamanya
persidangan masing-masing sekitar 2 jam, dibutuhkan 28 jam waktu untuk
bersidang dengan hanya dua ruang sidang. Artinya, jika sidang pertama dimulai
pada pukul 9 pagi, aktivitas persidangan baru akan selesai pada pukul 11
malam dengan catatan tanpa istirahat makan dan menunaikan ibadah. Pada hari
itu ada sidang perkara korupsi yang memakan waktu lebih dari enam jam.
Saya sempat melihat
persidangan dalam perkara di mana keterangan saya sebagai ahli akan
didengarkan. Pada pemeriksaan saksi fakta, banyak pertanyaan jaksa penuntut
umum ataupun advokat yang sudah tidak fokus. Mereka mengulang-ulang
pertanyaan sebelumnya oleh anggota tim yang lain. Hal ini mengakibatkan
teguran keras dari Ketua Majelis Hakim yang meminta para peserta sidang agar
konsentrasi sehingga tidak mengulang-ulang hal yang telah ditanyakan.
Cerita di atas
menggambarkan betapa buruk infrastruktur pengadilan tipikor di Jakarta yang
sudah tentu sangat memengaruhi profesionalisme aparat penegak hukum yang
terlibat dalam proses persidangan. Pengadilan demikian cenderung melanggar
hak asasi manusia. Tidak hanya melanggar hak-hak terdakwa, tetapi juga
melanggar hak-hak para hakim, jaksa penuntut umum, dan advokat untuk
menjalankan pekerjaan secara proporsional dan profesional.
Para hakim, jaksa, dan
advokat bukanlah superman yang
dapat berpikir jernih dalam situasi sidang yang sampai larut malam di tengah
kelelahan, kejenuhan, dan kepenatan berpikir terhadap sidang yang dilakukan
seharian.
Pada situasi demikian,
mungkinkah para hakim dapat menghasilkan putusan yang adil? Atau, putusan
yang dapat menimbulkan efek jera agar orang lain tidak lagi melakukan
korupsi? Jangankan sampai pada substansi putusan yang adil, untuk mengatur
jadwal persidangan saja, pengadilan tipikor tak mampu mela- kukannya dengan
baik.
Di sisi lain, yang
diinginkan masyarakat di luar sana agar terdakwa kasus korupsi cepat diadili
dan divonis bersalah dengan hukuman yang seberat-beratnya tanpa memperhatikan
situasi persidangan, apakah itu kondusif? Bagaimana mungkin dalam kelelahan,
kejenuhan, dan kepenatan dapat dihasilkan putusan yang adil dan jernih?
Kembali pada pendapat
Friedman bahwa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum tentu saling
terkait. Hukum yang baik tak akan dapat berjalan jika tak ditopang
profesionalisme aparat, termasuk sarana dan prasarana, serta persepsi
masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
Untuk menata infrastruktur
pengadilan tipikor dan pengadilan lain pada umumnya, kiranya penataan yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi kita dapat dijadikan rujukan, terutama
dalam hal ketepatan waktu bersidang, sarana dan prasarana, serta akses
terhadap putusan yang dapat diperoleh seketika saat putusan tersebut
dibacakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar