Wajah Retak
Masa Depan Kita
Lilik HS ; Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan
Ilmu Sosial (LPMIS)
|
SINAR
HARAPAN, 02 Oktober 2012
Senin (24/9), Alawy Yusianto Putra
baru beberapa bulan duduk di bangku SMAN 6, tewas terkapar di aspal Jalan
Bulungan, Jakarta Selatan. Ia baru menyelesaikan soal-soal ujian lantas makan
siang di warung dekat sekolah.
Nahas, serombongan pelajar dari SMAN 70
menyerang. Alawy mencoba lari menjauh, terjatuh dan sabetan celurit segera
merobek dadanya. Alawy, berusia 16 tahun, meninggal dalam perjalanan ke rumah
sakit.
Di televisi, dalam upacara pemakaman keesokan
harinya, sang ibu bersimbah air mata sambil mendekap foto putra bungsunya.
Tauri Yusianto, ayahnya, jatuh pingsan sesaat sebelum jenazah dikuburkan.
Selang dua hari, Rabu (26/9), Suyanti
histeris menangisi putra semata wayangnya, Deni Januar, siswa SMA Yayasan Karya
66, Jakarta Timur yang tewas saat terlibat tawuran di Manggarai, Jakarta
Selatan. Deni, masih 17 tahun, lagi-lagi nyawanya meregang dengan sabetan senjata
tajam mengoyak dadanya.
Penghujung Agustus 2012, seorang kakek
bernama Rahiman berniat menghindari tawuran pelajar SMA yang pecah di daerah
Klender, Jakarta Timur. Lintang pukang ia berlari menyeberangi rel kereta api.
Nahas, tak dilihatnya kereta commuter line yang tengah melaju kencang
dari arah belakang. Seketika tubuhnya tersambar kereta. Mati. Rahiman baru
datang dari kampungnya di Karawang, hendak mengais rezeki sebagai tukang cukur
keliling di Pasar Klender.
Beringas
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
mencatat, di wilayah Jabodetabek saja jumlah kasus tawuran pada 2012 mencapai
103 kasus, dengan jumlah korban meninggal 17 anak. Angka tersebut naik dari
angka pada tahun sebelumnya yang sebesar 96 kasus, dengan jumlah yang meninggal
sebanyak 12 anak.
Ada anak-anak belasan tahun meregang nyawa.
Ada anak-anak belasan tahun lainnya dengan sadar dan bangga meringkus nyawa
teman sebayanya. Tawuran, selalu menyisakan sesak sekaligus pertanyaan yang
terus berulang: apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang salah?
Berbagai komentar pejabat, politikus,
akademikus, orang tua hingga sesama anak muda segera meluncur acap merebak
berita tawuran. Sistem pendidikan yang keliru, hanya mengedepankan kemampuan
akademis, tak diimbangi dengan pendidikan budi pekerti.
Sistem politik yang beringas, rebutan kursi
dengan cara-cara korup dan manipulatif. Ekonomi berbiaya tinggi dan lapangan
kerja yang semakin sulit. Budaya instan dan konsumtif yang terus diguyurkan
dari kotak televisi yang menerjemahkan “hiburan” melulu dengan tontonan serba
gemerlap, wangi, dan menggantang mimpi.
Baiklah. Tak ada yang keliru dengan bermacam
pendapat di atas. Tapi, apa yang salah ketika dari bulan ke bulan frekuensi
tawuran tak juga berkurang, bahkan kini nyaris selalu disertai nyawa meregang
di aspal jalan?
Kita masyarakat yang tengah dirundung gelisah
dan nyaris putus asa terhadap berbagai kenyataan hidup. Sekolah yang mendidik
anak-anak kita adalah subordinasi dari sistem sosial politik yang begitu
kusutnya.
Negara sebesar ini, nyaris lumpuh ketika
berhadapan dengan persoalan yang berulang, tawuran pelajar atau parade
kekerasan sejumlah ormas dengan dalih menertibkan kemaksiatan. Wajah
keberingasan adalah wajah yang kita tonton sehari-hari.
Di jalan raya, orang yang baru beranjak dari
rumah selepas sembahyang subuh, selepas mencium kening anaknya, di jalanan bisa
seberingas serigala hanya lantaran mobilnya serempetan dengan motor.
Di televisi, mulai sinetron hingga tayangan
berita, adegan mata melotot dan timpuk-timpukan adalah kelaziman dunia layar
kaca.
Belum lagi baku pukul dan drama caci maki di
sejumlah talkshow yang disaksikan
jutaan pasang mata. Semua berlangsung begitu saja. Tanpa ada rasa jengah dan
rasa bersalah. Itulah yang ditonton anak-anak kita. Terekam dalam ingatan mereka
sejak belia.
Paradoks
Kita memang hidup di negara yang
serba-paradoks. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dipuji-puji sebagai pahlawan
devisa, tapi pada saat yang sama mereka ditelantarkan hak-haknya. Perempuan,
dijunjung tinggi sebagai “tiang negara”, tapi pada saat yang sama disahkan
perda-perda (peraturan daerah) yang justru mendiskriminasi dan menikam hak-hak
privatnya.
Anak-anak muda disanjung sebagai generasi
penerus bangsa dan pada saat yang sama, negara tak menyediakan ruang bagi para
penerus ini bertumbuh secara sehat sesuai perkembangan jiwa dan raganya.
Pemimpin negeri, seperti biasanya, lebih
gemar sibuk sendiri. Tak ada solusi konkret, komprehensif dan visi jauh ke
depan. Toh, jabatan hanya lima tahunan. Mereka lupa bahwa pembawa tampuk estafet
kelak adalah anak-anak kita ini.
Anak muda, fisiknya tengah mekar-mekarnya,
tentu butuh lapangan bola dan lapangan futsal, bukan mal. Anak muda, jiwanya
tengah dibuai berjuta imajinasi, tentu butuh panggung-panggung ekspresi untuk
berkarya: drama, tari, musik, film, olahraga, tapi negara lebih suka menambah
deretan apartemen di tengah kota.
Wajah beringas anak-anak kita
adalah wajah retak sistem pendidikan kita, sistem politik kita, sistem sosial
ekonomi kita. Wajah retak diri kita sendiri. Jika mau melihat wajah negeri ini
di masa depan, lihatlah wajah anak-anak kita sekarang ini. Masihkah menganggap
tawuran ini masalah sepele? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar