Protokol
Antipenistaan
Moch Nurhasim ; Peneliti
pada Pusat Penelitian Politik LIPI-Jakarta
|
REPUBLIKA,
02 Oktober 2012
Sambutan Presiden SBY dalam Munas
PBNU pada 17 September 2012 lalu
memberi pesan khusus bahwa
penistaan agama adalah bentuk pelanggaran
hak asasi manusia (HAM).
Reaksi dan kecaman Presiden disampaikan pada
khalayak umat beragama
dengan seruan agar segera diberlakukan protokol internasional antipenistaan
agama.
Seruan itu ditindaklanjuti
oleh Presiden SBY dengan mengajak negara-negara
anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyusun satu aturan internasional antipenistaan
agama pada forum Sidang Majelis Umum PBB, Selasa (25/9) (Republika,
26/9/2012). Instrumen itu merupakan konsensus negara-negara yang akan menjadi
acuan bila timbul penistaan agama.
Pesan Presiden SBY untuk
kedamaian dalam hubungan antarkeyakinan tersebut
memang belum tentu direspons
secara terbuka, khususnya oleh Amerika Serikat. Sebab, negara-negara Barat
menganut prinsip kebebasan liberal, tetapi
justru itulah tantangan umat
Islam dan umat beragama serta PBB. Desakan
negara-negara anggota PBB
diharapkan dapat mendorong perubahan interpretasi tentang Universal Declaration of Human Rights bahwa kebebasan juga memiliki
batas, bukan tanpa batas.
Perjuangan Umat
Jika kita meyakini bahwa
agama adalah jalan keselamatan bagi umat
manusia, agama sebagai
sesuatu yang hakiki, dan hak dasar setiap orang, sesungguhnya setiap manusia
harus member tempat bagi penghormatan setiap hak orang. Dari dalil aqli itu,
sesungguhnya setiap orang memiliki hak dasar.
Dan, sudah sepantasnya hak dasar
itu dihormati oleh orang lain, bangsa lain, dan negara lain. Kebebasan yang dijamin
dalam Universal Declaration of Human
Rights (Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Sedunia) sebenarnya juga membatasi
penggunaan hak kebebasan karena tidak ada kebebasan yang absolut, yang
benar-benar bebas semaunya sendiri.
Inilah inti dari pemikiran
Presiden SBY saat menyampaikan sambutan dalam
Munas PBNU pada 17 September
2012 yang dibungkus dalam gagasan perlunya dunia mengakui protokol
antipenistaan agama. Inti dari tuntutan
protokol penistaan agama itu
sesungguhnya sederhana, yaitu agar PBB menyadari bahwa persoalan agama akan menjadi
pemicu paling mudah yang dapat menimbulkan konflik antarbangsa dan antarnegara.
Huntington sudah pernah
memprediksi akan terjadinya class civilization
sebagai bentuk ancaman baru,
ketegangan antara Barat dan Timur. Posisi Pemerintah Indonesia harus didukung
oleh umat Islam dan organisasi-organisasi
Islam lainnya agar ada jalan
damai untuk menyelesaikan ketegangan isu yang
bersumber dari agama. Sebab,
isu agama akan cepat menyebar dan menyentuh
dimensi emosional manusia
yang tanpa dapat dibatasi. Isu itu akan semakin ‘memuncak’ ketika negara-negara
di dunia, khususnya di Barat, yang menganggap pelecehan agama bukan pelanggaran,
melainkan sebagai bagian dari bentuk ekspresi kebebasan.
Jika kondisinya seperti itu,
ketegangan seperti disinyalir Huntington akan terus terulang dari waktu ke
waktu. Dan disadari atau tidak, isu agama sangat rawan dipolitisasi oleh
individu dan kelompok di mana pun mereka tinggal dan menetap.
Solusi Kedamaian
Sebagai orang Islam, kita
perlu memosisikan diri secara prudent (hati-hati) dalam menyikapi
bentuk-bentuk penistaan. Kita percaya bahwa agama tidak memberi ruang bagi
tumbuhnya jalan kekerasan. Agama pada hakikatnya adalah jalan keselamatan bagi
umat manusia.
Agama juga mengajarkan cinta
kasih dan kasih sayang. Dalam konsep Islam,
dikenal istilah iman, yang
secara mudah mengarah pada pengertian aman. Orang yang beriman aman bagi diri
dan lingkungan sekitarnya. Orang beriman akan aman dari kehidupan di dunia dan
selamat dalam kehidupan akhirat. Disebut beriman jika manusia dan lingkungan
sekitarnya juga merasa aman dan memperoleh keamanan.
Intisari ajaran agama yang
anti kekerasan, antipenistaan, jus tru menghendaki
agar setiap manusia
memuliakan manusia dan kemanusiaan. Dalam konteks
kehidupan sosial-keagamaan,
sikap itu idealnya diwujudkan dalam bentuk kehidupan yang damai dalam bingkai multikulturalisme.
Multikulturalisme
seperti yang diajarkan oleh
orang-orang Barat sesungguhnya adalah hidup
berdampingan dalam
warna-warna yang berbeda, tetapi saling menjaga dan
menghormati.
Dalam prinsip keagamaan,
Islam mengenal istilah ‘agamamu-agamamu,
dan agamaku-agamaku’.
Prinsip saling menghormati, bukan saling menodai.
Bahkan, dalam prinsip itu
juga tebersit saling menjaga atau mengayomi. Jika
usulan protokol
antipenistaan agama justru dilandasi oleh ajakan agar setiap
umat manusia tidak saling
menistakan, sesungguhnya usulan itu dapat dianggap
sebagai solusi cerdas. Bukan
saja untuk menghindari ketegangan Barat-Timur,
ketegangan yang muncul
karena isu agama, melainkan pada hakikatnya adalah memelihara pola hubungan
antarmanusia di planet ini untuk saling menghormati.
Protokol antipenistaan agama
paling tidak dapat menafsirkan bagaimana ekspresi seseorang terhadap suatu agama
diperbolehkan. Ekspresi dan ekspektasi kebebasan dan pemikiran seperti apa yang
dianggap wajar dan tidak melecehkan suatu agama. Termasuk dalam kategori itu
adalah perlunya penerjemahan apa yang disebut sebagai menodai kesucian dan
kemuliaan agama. Sebab, tafsir yang lebih jelas atas apa yang wajar dan tidak
diharapkan dapat meminimalisasi ketegangan dalam hubungan sosial antarbangsa dan
antaragama.
Sebaliknya, PBB perlu
menyadari posisi dan makna penting protokol ini
bagi keselamatan umat
manusia dan kemanusiaan. Menafikan kebutuhan akan
protokol antipenistaan
agama, sama saja dengan membuka celah bagi perluasan konflik budaya yang
dilandasi oleh fanatisme keagamaan pada masa depan yang tidak tertutup
kemungkinan akan terus melanda dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar