Tantangan
Ketenagakerjaan
Fithra Faisal Hastiadi ; Staf
Pengajar FEUI
|
REPUBLIKA,
03 Oktober 2012
Di tengah gemuruh krisis global, Indonesia masih tampak kokoh
dengan pijakannya. Betapa ti dak, selama lima tahun terakhir (2007-2011),
ekonomi Indonesia mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,9 persen (yoy), lebih tinggi
jika dibandingkan lima tahun sebelumnya (2002-2006) yang tumbuh sebesar 5,1
persen (yoy).
Tekanan inflasi pun sudah mulai melunak sebagai konsekuensi dari
turunnya tren harga-harga komoditas di pasar internasional. Hal ini pada
gilirannya diprediksikan bisa menekan laju inflasi pada tahun 2012 hingga
mencapai kisaran 4,0 persen (yoy). Data pengangguran di Indonesia selama lima
tahun terakhir juga semakin menjustifikasi kinerja perekonomian Indonesia yang
tengah mengangkasa.
Data BPS menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan kerja
telah mengalami peningkatan dari 66,16 persen pada 2006 menjadi 69,96 persen
pada 2011. Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami
penurunan dari 10,45 persen pada 2006 menjadi 6,56 persen di tahun 2011.
Dengan kegemilangan Indonesia dalam memangkas angka pengangguran, apakah kini
perekonomian Indonesia sudah semakin inklusif?
Pertumbuhan Ekonomi
Secara terminologi, pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalah
pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dengan melibatkan sebanyak mungkin penduduk
di dalam aktivitas perekonomian. Apakah perekonomian Indonesia sudah inklusif?
Dari hasil kalkulasi penulis menggunakan data BPS, setiap satu
persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 513 ribu tenaga kerja pada 2010,
namun anjlok menjadi 209 ribu tenaga kerja pada 2011. Artinya, pertumbuhan ekonomi
Indonesia belum bisa dimasukkan dalam kategori inklusif.
Laporan ILO tahun 2010 menegaskan bahwa pasar tenaga kerja
Indonesia memiliki potensi-potensi yang belum tergali untuk menghasilkan
lapangan kerja yang produktif. Tingkat pengangguran telah menurun. Namun, indicator-indikator
pasar tenaga kerja lainnya memperlihatkan gambaran lain dari kinerja pasar
tenaga kerja Indonesia. Kualitas lapangan kerja masih tertinggal dari
pertumbuhan jumlah lapangan kerja.
Meski terjadi perluasan ekonomi dan kerja, kondisi lapangan kerja
informal, yang kerapkali dikenal sebagai pekerjaan dengan produktivitas dan
pendapatan yang rendah serta kegiatan kerja yang tidak aman, belum mengalami
perubahan. Kesempatan kerja bagi kaum muda belum berkembang.
Memang pengangguran di Indonesia telah men capai angka yang cukup
baik (6,56 persen pada 2011). Dibanding dengan negara maju seperti Jerman yang
masih memiliki pengangguran hingga delapan persen, Indonesia bahkan bisa
semakin bertepuk dada.
Tetapi, jika kita melihat kontribusi pekerja keluarga
yang tidak dibayar, data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah pekerja
keluarga yang cukup signifikan (17 persen dari total pekerja) dibanding dengan
Jerman (0,6 persen dari total pekerja) atau bahkan negara tetangga, seperti
Singapura (0,6 persen dari total pekerja), Malaysia (4,4 persen dari total
pekerja), dan Filipina (12 persen dari total pekerja). Hal ini menunjukkan
bahwa masih ba nyak pekerja di Indonesia yang belum dibayar secara layak.
Hasil analisis Bank Dunia dalam Laporan Ketenagakerjaan di
Indonesia (Bank Dunia, 2010) memberikan berbagai dimensi permasalahan
ketenagakerjaan di Indonesia, antara lain: (i) Indonesia belum menciptakan
pekerjaan yang baik dalam jumlah yang memadai, (ii) peraturan tenaga kerja yang
kaku telah menghambat penciptaan lapangan kerja dan gagal memberikan
perlindungan bagi pekerja yang paling rentan, (iii) upaya reformasi
ketenagakerjaan telah menemui kebuntuan.
Permasalahan ketenagakerjaan tersebut tentunya akan menyulitkan
Indonesia untuk mencapai tujuan bersama di tingkat internasional dan telah
disepakati dalam Deklarasi Millenium, yang dikenal sebagai Sasaran Pembangunan
Millenium (Millenium Development Goals
atau disingkat MDGs), yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
(BappenasUNDP, 2008). Kurang kondusifnya iklim bekerja di Indonesia dapat
dilihat dari jumlah migrasi neto dari Indonesia ke luar negeri yang terus
meningkat dari sebanyak 775.921 pada 2000 hingga mencapai 1.293.089 di tahun
2010.
Celakanya, jumlah penempatan tenaga kerja Indonesia di sektor
informal lebih besar dibandingkan dengan di sektor formal yakni 71 persen di
sektor informal dan 29 persen di sektor formal. Tentunya ini jadi masalah,
karena pekerja informal lebih rawan dilanggar haknya.
Permasalahan yang dihadapi TKI cukup beragam. Mulai dari gaji
tidak dibayar majikan, dipekerjakan tidak sesuai perjanjian kontrak kerja,
disakiti majikan, hingga pelecehan seksual. Berdasarkan BNP2TKI, dari 15 negara
penempatan terdapat 5 (lima) negara yang cukup besar jumlah TKI bermasalahnya.
Dari 1.410 TKI yang bermasalah selama lima bulan (JanuariMei 2012) diketahui
bahwa Arab Saudi sebagai negara yang memiliki jumlah TKI bermasalah paling
banyak, yaitu 776 orang kemudian disusul Malaysia sebanyak 252 orang, Suriah
196 orang, Yordania 84 orang, dan Uni Emirat Arab 70 orang. Hal ini tentunya
berkorelasi dengan banyaknya jumlah TKI informal di negara-negara tersebut.
Mengatasi Tantangan
Dalam studi terbaru dari Asian
Development Bank Institute (belum dipublikasikan), Indonesia digadanggadang
akan menjadi pemimpin informal ASEAN menuju 2030. Integrasi ekonomi di kawasan
ini membutuhkan peran dominan dari Indonesia, mengingat pelbagai potensi
ekonomi yang ada di Indonesia.
Hasil studi dari penulis pada 2011 menunjukkan populasi penduduk
Indonesia yang besar dapat menopang terjadinya integrasi ekonomi di ASEAN
karena penduduk yang besar berarti pasar yang besar bagi produk-produk ASEAN,
dan juga sebagai penyedia sumber daya manusia yang signifikan untuk ekspansi
produksi.
Menurut proyeksi Lembaga
Demografi Universitas Indonesia, rasio dependensi akan mencapai titik terendah
(45,5 persen) pada 2025. Artinya, beban ekonomi populasi usia produktif yang
menopang penduduk usia tidak produktif mencapai klimaksnya pada 2025. Sebuah
potensi besar bila bisa dimanfaatkan dan dipersiapkan dari sekarang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar